KETIKA komitmen penguasa terhadap pemberantasan korupsi diragukan, harapan yang tersisa kini hanya berada di pundak masyarakat sipil yang kritis dan memiliki integritas.
Guru besar kebijakan publik John F Kennedy School of Government Harvard University, Robert Klitgaard, mengatakan, tanpa dukungan masyarakat sipil dan integritas, jangan pernah bermimpi bisa menyelesaikan korupsi.
Klitgaard datang ke Jakarta sebagai pembicara dalam Workshop Koordinasi Nasional Jaringan Pendidikan Integritas Masyarakat atas kerja sama Universitas Paramadina dengan TIRI-Making Integrity Work.
Menurut Klitgaard, korupsi lebih banyak terjadi di tempat yang tidak demokratis dan tidak menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang baik. Selain itu, korupsi biasanya marak di negara yang tak memiliki kebebasan pers, peran pemerintah dalam ekonomi demikian luas, di tempat perang dan kondisi gawat darurat di mana pegawai sipil yang berkualitas rendah dibayar murah, sektor swasta kurang berperan dan terjadi monopoli, serta aturan-aturan perekonomian tidak jelas.
Menurut Klitgaard, korupsi memiliki korelasi sistemik dengan pemusatan dan monopoli kewenangan. Rumusnya adalah C > M+D-A. Huruf “C” untuk korupsi, “M” untuk monopoli, “D” kewenangan, dan “A” untuk akuntabilitas.
Berikut petikan wawancara dengan Klitgaard:
Bagaimana Anda menjelaskan upaya pelemahan lembaga pemberantas korupsi di Indonesia?
Saya tidak bisa memberikan penilaian khusus mengenai kasus ini. Tapi, saya bisa memberikan gambaran secara umum bahwa di banyak negara komisi pemberantasan korupsi bisa saja dilemahkan sebagaimana polisi dan kejaksaan bisa dilemahkan.
Demikian sebaliknya, lembaga penegak hukum dan pemberantas korupsi juga bisa korup atau melakukan kesalahan. Contohnya di Afganistan, di mana kepala pemberantasan korupsi ditangkap terkait kasus obat terlarang.
Saya pernah bekerja di Bolivia untuk mereformasi polisi di sana. Pada pertemuan pertama, saya bertemu dengan 25 petinggi polisi. Tiba-tiba seorang perwira menengah berkata, “Jenderal, saya menolak jika Profesor ini mengatakan lembaga kita korup.” Namun, pimpinan polisi itu mengatakan, “Kita memang korup, jadi duduklah.”
Kunci untuk menyelesaikan korupsi di institusi penegak hukum adalah kita mesti beranjak dari sikap menolak dan membela diri dan terbuka menata sistem yang lebih baik. Kunci berikutnya, membuka akses pengawasan oleh publik dan mendengarkan kritik dari masyarakat luar.
Bagaimana berharap lembaga yang korup itu mau menata diri?
Memang mengejutkan, di banyak negara, institusi yang paling korup adalah kepolisian. Ini bisa diatasi jika kita berhenti berpikir siapa pejabat yang korup. Tapi, kita harus berpikir bagaimana memperbaiki sistemnya.
Bagaimana caranya agar institusi itu mau menata diri?
Pertanyaan ini sama dengan kenapa negara yang semula diktator dan korup beranjak menjadi negara yang demokratis. Semua ini terjadi karena munculnya kesadaran kritis dan besarnya tekanan publik. Ada gerakan zaman untuk mengarah ke sana.
Dan, Indonesia beruntung karena besarnya kekuatan publik untuk melawan korupsi, misalnya pada 1998 yang mampu menumbangkan rezim yang KKN. Indonesia memiliki gerakan sipil sangat kuat. Ini potensi besar karena banyak negara yang tidak memiliki kekuatan ini. Dalam 10 tahun terakhir ini, gerakan sosial sepertinya semakin besar.
Apa yang bisa dilakukan jika korupsi terjadi di puncak kekuasaan?
Saya tidak bisa bicara khusus tentang Indonesia. Tapi, di banyak negara pemimpin bisa saja penyebab terjadinya korupsi, terutama jika kekuasaan berlangsung terlalu lama, gaji sangat redah, para penguasa tak punya integritas dan kesempatan untuk melakukan itu terbuka. (AIK)
Sumber : Kompas, Selasa, 24 November 2009