Festival Matrilineal, 76 Rumah Gadang Jadi Pusat Perhatian

Padang, Sumbar - Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang menggelar Festival Matrilineal pada 25 Oktober -1 November 2015. Festival ini digelar di perkampungan adat Padang Ranah dan Tanah Bato, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Di kawasan ini, terdapat 76 rumah gadang. Masyarakat setempat menyambut hangat agenda festival.

Pentas terbuka berlangsung di salah satu rumah gadang setiap malam. Acara digelar di Padang Ranah dan kesenian yang ditampilkan bermacam-macam, seperti Mukomuko, Bengkulu; Muara Enim , Sumatera Selatan; Singkil, Aceh; Kampar, Riau; dan Malaysia.

"Festival matrilineal ini sengaja kami adakan di Padang Ranah untuk mendukung perkampungan adat Padang Ranah dan Tanah Bato sebagai warisan budaya dunia ke Unescot,” kata Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang Nurmatias pada Kamis, 29 Oktober 2015.

Penonton membeludak. Kursi-kursi untuk pemuka adat terisi penuh. Sebagian penonton duduk, sebagian lainnya berdiri. Masyarakat terhibur dengan acara yang pertama kali digelar di kawasan ini. "Di sini, adat sangat kuat. Pertunjukan organ tunggal untuk pernikahan kami larang, tapi pertunjukan tradisi boleh,” kata Datuk Penghulu Bosau, pemimpin adat suku Panai di Padang Ranah.

Tim kesenian dari Sanggar Palito di Mukomuko tampil atraktif membawakan tari Gandai Palito yang diiringi musik tradisi Mukomuko dengan menggunakan kecapi dan serunai. Lima orang penari perempuan menari dengan menjunjung palito--lampu yang terbuat dari bambu dengan sumbu kulit kayu yang menyala di atas kepala.

Sebagian pertunjukan hanya diterangi palito karena tarian yang diciptakan pada 1930 ini bercerita tentang peran besar perempuan dalam keluarga. Gerakan tari ini sangat dinamis, membuat seorang penari pingsan kelelahan di akhir pertunjukan. Penari itu langsung dilarikan ke Puskesmas di Sijunjung.

Pertunjukan pada malam ketiga ditampilkan tim kesenian dari Akademi Seni Budaya dan Warisan Kebangsaan Kuala Lumpur, Malaysia, serta Komunitas Seni Nan Tumpah dari Padang. Komunitas Seni Nan Tumpah mementaskan teater Nilam Binti Malin. Para pemain mampu berdialog dengan penonton sepanjang pertunjukan, yang penuh humor.

Pada malam keempat, ditampilkan tim kesenian dari Sanggar Tari Melati Lae Gentuyung, Aceh Singkil. Sanggar ini menampilkan kolaborasi tari tradisional adat pesisir dan hulu Singkil, yaitu tari Alas dan Ambe-ambekan.

Tari Alas biasanya ditampilkan pada saat pemasangan perlengkapan pesta adat dan pesta perkawinan, sedangkan tari Menatar Hinai atau membuang inai ditampilkan pada waktu subuh. Penari membawa pengantin ke sungai atau ke sumur untuk membuang inai yang ada di jari tangan dan kaki, lalu menyambut pengantin pria.

Tarian ini menggambarkan kehidupan masyarakat Aceh Singkil yang terdiri atas 10 etnis dan 14 bahasa. Tari diiringi gendang rebana dan genderang dari kulit kambing serta canang. Pemimpin sanggar tari Melati Lae, Anharudin, menyebutkan tari tradisi di Aceh Singkil cukup banyak. Di pesisir saja terdapat 30 jenis tari. Tapi, pemerintah setempat tak menaruh perhatian untuk mengembangkan.

Kelompok tari ini datang ke Ranah Padang dengan semangat, meski tak ada bantuan biaya dari pemerintah. “Kami saja ke sini naik mobil dua malam dengan biaya sendiri, bahkan perbekalan makanan juga dibawa dari rumah. Kami tetap semangat datang agar seni Singkil itu tetap hidup,” ucap Anharuddin .

Pada Ahad malam, ditampilkan pertunjukan Sanggar Klasik Gong dari Kampar, Riau; tim kesenian dari Muara Enim; dan tim Kesenian dari Saandiko, Bukittinggi.

-

Arsip Blog

Recent Posts