Sisi Lain Eksotisme Pulau Dewata

Judul Buku : Bali Yang Hilang, Pendatang, Islam dan Etnisitas Bali
Penulis : Yudhis. M. Burhanudiin
Penerbit : Impulse Kanisius,Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 213 halaman
Peresensi : Eny Maidah*)

Tidak diragukan lagi, Bali merupakan kota pariwisata yang sarat eksotik. Selain dikenal sebagai pulau dewata (The Paradise Islands) dengan arsitektur rumah ibadah hindu (Pura) yang menakjubkan, pulau seribu pura (Island Of Thousands Temples) dengan bentangan alam yang elok, juga dikenal sebagai pulau sejuta simbol(Islands Of Thousands Symbols) dengan budaya dan adat istiadat masyarakat setempat yang melimpah ruah sekaligus menawan dan memikat hati wisatawan. Tidak salah bila Bali kerap dijadikan sebagai tempat tujuan utama(Primary Destination) oleh para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Ibarat pepatah, ada gula ada semut. Perlahan, namun pasti, Bali yang menyimpan banyak peluang dan daya tarik akhirnya dilirik berbagai pendatang dengan latarbelakang suku, agama, ras dan aliran yang beraneka ragam. Sebagian dari kalangan pekerja yang ingin mengundi nasib dengan menjadi buruh pabrik, pelayan hotel, pekerja bangunan, dan seterusnya. Sebagian juga dari para Pedagang Kaki Lima(PKL) yang sekedar memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan, sebagian lagi dari kalangan pengusaha yang ingin “mengeruk” keuntungan sebesar-besarnya seperti para investor bermodal tinggi yang datang dari Jawa, Madura maupun mancanegara seperti Australia, Amerika, Jerman dan lain sebagainya.

Fenomena demikian ternyata menimbulkan beragam persoalan. Lahan-lahan yang sebelumnya dikuasai penduduk lokal beralih ke tangan para pengusaha. Hotel, artshop, minimarket dan semisalnya dikuasai para pengusaha. Pedagang Kaki Lima juga menguasai jalan-jalan perkampungan. Sementara masyarakat Bali kian tersisihkan bak mengungsi di pulau sendiri. Identitas budaya bali yang terkenal dengan Pancayadnya (lima pengorbanan) semakin tergusur dan “terkubur” akibat gempuran budaya kapitalis yang datang dari luar. Pertanyaanya, mengapa fenomena ini bisa terjadi?.

Buku “Bali yang Hilang, pendatang, islam dan etnisitas di Bali yang ditulis oleh Yudhis M Burhanuddin berusaha membahas secara luas ihwal pergulatan identitas antara masyarakat Bali dengan pendatang dalam konteks pariwisata. Bagi penulis, masyarakat Bali sebenarnya terbuka terhadap semua etnis. Selama tidak mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat setempat, Bali senantiasa menghargai dan menghormati para tamu yang datang dari luar. Namun, permasalahan muncul ketika para pendatang berkembang pesat bahkan menguasai tempat-tempat strategis seperti wilayah Legian dan Kuta yang dikenal sebagai sentral pariwisata Bali .

Berdasarkan penelitian penulis dengan menggunakan metode partisipasi-observasi melalui wawancara langsung kepada sejumlah responden di lapangan disimpulkan bahwa masyarakat Bali terbukti semakin kehilangan akar tradisi setelah para pendatang dan investor membangun gedung-gedung modern berorientasi bisnis yang tidak mengindahkan nilai-nilai budaya setempat.

Fenomena ini bisa dijumpai dengan mudah, khususnya di wilayah Legian dan Kuta yang marak dibangun Artshhop (toko seni), hotel, restoran, kafe, dan penginapan yang berkembang sedemikian pesat. Menurut pengakuan Made Suartha, warga Legian tengah bahwa pembangunan fisik di Bali telah menghilangkan identitas lokal khususnya dalam hal seni arsitektur. “Bali Sudah Hilang, Bali Sekarang Sudah Tidak Ada”. Kata Made Suartha bernada protes ketika ditanya penulis tentang dampak pembangunan fisik di Legian, Bali.

Dunia pariwisata memang tidak pernah lepas dari sisi lain. Dengan banyaknya pendatang yang hijrah ke Bali telah menimbulkan gejolak sosial ekonomi. Menurut pendapat I Gede Winasa, Bupati Jembrana yang pada Pilkada 2008 ini menjadi Cagub berpasangan dengan IB Ali Putra, seorang purnawirawan tentara-mengatakan, “ Dengan banyaknya pendatang jelas membawa dampak sosial dan ekonomi. Sebagai contoh, perambahan hutan, gelandangan dan pengemis dan masalah pelacuran”.(Balipost, 2004:201). Pernyataan I Gede Winasa ini merupakan buah kesadaran pribadi beliau sebagai bentuk kritik konstruktif bagi para pendatang agar senantiasa menjaga tata-etika dalam pariwisata di Bali khususnya.

Kekhawatiran terhadap para pendatang menurut penulis sebenarnya bukan tanpa sebab. Momeri kolektif masyarakat Bali masih trauma dengan berbagai kasus yang mengguncang wilayah mereka. Salah satunya adalah peristiwa peledakan Bom Bali pada 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005. Aksi yang didalangi Amrozy CS yang nota bene pendatang islam dari Jawa itu telah menimbulkan fobia luar biasa ditengah masyarakat Bali, karena bukan hanya telah merenggut ratusan nyawa manusia yang tidak berdosa, namun juga menyebabkan kemerosotan luar biasa terhadap perekonomian masyarakat Bali. Wajar bila Nyoman Wijaya, Guru Agama Hindu sekolah dasar yang menetap di Sanur sangat antipati terhadap aksi Amrozy CS yang dinilai sebagai kelompok islam garis keras dan berharap Amrozy CS mendapat hukuman yang setimpal.(hal 154-157) .

Ketegangan antara pendatang dan masyarakat bali semakin menguat setelah Kasus pembunuhan warga Australia, Heidy Murphy, di Banjar Tegal Gundul, canggu Utara, Kuta Yang dilakukan oleh Nuryanto, laki-laki asal Banyuwangi dan Ahmad Safrullah Roji, laki-laki asal Jember, Jawa Timur, pada Februari 2008 (RADAR BALI, 23 Februari 2008). Pembunuhan sadis ini bagi penulis semakin menambah deretan panjang kasus kekerasan yang terjadi di Bali yang umumnya dilakukan pendatang, khususnya dari Jawa. Tidak salah bila pascatragedi itu sebagian masyarakat Bali merasa skeptis dengan kehadiran para pendatang di Bali yang dinilai pengacau keamanan. Seperti yang diakui Tut Ajus pengelola studio Tato berlokasi di Gang Benesari Legian, Klod sejak tahun 1999. “menurut saya, yang bikin apa-apa tuh, merusak di Bali itu, ya pendatang”. Gerutunya.

Itulah sebabnya, bagi penulis diperlukan semacam dialog dan kerjasama antara masyarakat Bali dengan para pendatang. Dialog ini-lanjut penulis-amat penting dalam rangka menjalin rasa saling memahami dan menghargai antara satu dengan yang lain sehingga tidak menimbulkan rasa fanatisme dan etnosentrisme yang mengarah pada ekstrimisme yang akan merugikan kedua belah pihak.. Dalam konteks ini, menarik sebuah pepatah yang mengatakan, “Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”. Artinya, dimanapun kita berada kita hendaknya menghormati siapapun juga. Dengan kata lain, Sikap Tepo Seliro atau tenggang rasa bagi penulis akan senantiasa memperkaya rasa kasih sayang terhadap sesama.

Buku ini bukan sekedar –meminjam istilah Jurgen Habermas-memberikan penjelasan(Eklaren) tentang pergulatan identitas lokal masyarakat Bali dengan pendatang luar, namun juga memberikan pemahaman(Verstehen) yang lebih rinci untuk mencari titik temu dalam rangka merajut solidaritas sosial universal. Sebuah buku yang berusaha memberikan kritik sekaligus otokritik terhadap penduduk Bali sekaligus para pendatang dalam konteks dunia pariwisata secara berimbang.

*)Peresensi adalah Pustakawan dan Peneliti pada Central For Studies Of Religion And Culture(CSRC) Yogyakarta.

Sumber: http://oase.kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts