Oleh: Liek Wilardjo
JUMAT 8/1/2010 pagi, Prof Dr Satjipto Rahardjo, SH, MA wafat di Jakarta. Sabtu pagi, jenazah almarhum dibawa dari rumah duka untuk disemayamkan sebentar di auditorium kampus Pleburan, Undip, sebelum dimakamkan pagi itu juga. Kita telah kehilangan seorang pakar Sosiologi Hukum, pemerhati penegakan hukum, dan pembelajar Telaah Kepolisian.
Kita tidak akan lagi membaca artikel-artikelnya yang ringkas-bernas dan mengungkapkan opini yang berani tentang penegakan hukum di Indonesia. Syukurlah bahwa redaksi Kompas dalam edisi 9/1/2010 telah dan berjanji akan masih memuat artikel-artikel Prof Satjipto Rahardjo secara pascamerta.
Tanggal 30/12/2009, Prof Dr Bambang Hidayat mengirimi saya komentarnya atas buku yang baru dibacanya. Buku itu ditulis Marieke Bloembergen, seorang dosen muda di Universitas Amsterdam, dan berisi perkembangan polisi di Hindia Belanda dulu dan Indonesia sampai sekarang. Buku Marieke terbit pada tahun 2009 ketika—dalam kata-kata Bambang Hidayat—”citra polisi kita ... memburam karena ketiadaan etika (dan) pengayoman hukum, suatu hal yang selalu disinggung Pak Satjipto Rahardjo, Pak Bismar Siregar, dan Pak Sahetapy.”
Komentar Bambang Hidayat atas buku Marieke itu memang ditulisnya terutama untuk Prof Tjip (sebutan kolega dan mahasiswa Prof Satjipto Rahardjo kepada beliau di Undip). Mungkin Bambang Hidayat tidak tahu bahwa waktu itu Prof Tjip baru berulang tahun, genap berusia 79 tahun, dan sedang dirawat di rumah sakit di Jakarta. Barangkali Prof Tjip tidak sempat membaca ulasan Bambang Hidayat.
Tepat sekali bahwa komentar Bambang Hidayat itu dimaksudkan untuk Prof Tjip. Tahun lalu, saya bersama psikolog, Prof Dr Sarlito W Sarwono, dan kriminolog, Prof Dr Adrianus Meliala, menjadi satu panel dalam diskusi di PTIK. Apa yang saya kemukakan dalam diskusi panel itu saya berikan kepada Prof Tjip. Sore harinya beliau menelepon saya dan mengatakan bahwa pandangan saya tentang Telaah Kepolisian sejalan dengan pikiran beliau.
Rasa Keadilan Publik
Prof Tjip mendambakan bahwa, mulai suatu waktu kelak, kita di Indonesia berhukum dengan hukum yang hidup. Hukum yang ditafsirkan secara kaku dan harfiah, dipatok dengan pasal dan ayat kitab undang-undang yang dilaksanakan secara yuridis formal dan positivistik-legalistik, adalah “hukum yang mati”. Hukum yang hidup ialah hukum yang selaras dengan detak jantung dan denyut nadi kehidupan masyarakat tempat hukum itu berlaku. Dengan kata lain, di-enforce secara kontekstual, dengan mempertimbangkan latar sosio-kultural masyarakat, dan mengedepankan rasa keadilan publik.
Paradigma Kuhn ialah kerangka keyakinan penata (ordering belief framework). Rumusan ini tidak memuaskan. Paradigma memang dapat dipahami, tetapi sulit dirumuskan secara ringkas dan apik. Paradigma bersifat metateoretis dan tak-terartikulasikan. Prof Tjip mengatakan bahwa paradigma itu kalau dicoba digenggam akan keluar melalui sela-sela jari-jemari. “Mrojol selaning driji”, kata beliau ketika memasuki masa emiritusnya, sembilan tahun yang lalu.
Prof Tjip jugalah yang mengatakan bahwa Indonesia adalah laboratorium yang paling baik di seluruh dunia untuk melakukan penelitian di bidang hukum. Segala macam kasus dan anomali serta penyelewengan hukum ada di Indonesia. Ada mafia peradilan, ada markus (makelar kasus) dan bahkan pernah ada petrus (penembak misterius).
Boleh Salah
Di Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Undip kelihatannya ada dua jalur (streams), yakni “jalur praktis” yang berujung pada sebutan “juris doctor” dan jalur “ilmiah” yang sebutan kelulusannya ialah “doktor filosofi dalam hukum” (PhD in Law). Bersangkutan dengan “ilmu” dan “ilmiah”, Prof Tjip mengatakan bahwa “ilmuwan boleh salah, tetapi tidak boleh berbohong, sedangkan politisi boleh berbohong, tetapi tidak boleh salah.”
Penggal pertama ucapan Prof Tjip itu kita amini. Salah itu biasa bagi ilmuwan. Ilmuwan justru banyak belajar dari kesalahannya. Einstein saja melakukan kesalahan-kesalahan. Dari 180 makalah ilmiah asli yang dipublikasikannya, 40 di antaranya mengandung kesalahan-kesalahan. Uraian kesalahan Einstein ditulis Hans C. Ohanian dalam buku setebal 394 halaman. Namun, ilmuwan tidak boleh berbohong. Ilmuwan harus jujur sebab kejujuran ialah satu di antara sejumlah nilai konstitutif yang tak-boleh-tidak harus diugemi oleh ilmuwan. Tanpa nilai-nilai konstitutif, ilmu tak dapat berkembang.
Penggal kedua dari ucapan Prof Tjip, bahwa “politisi boleh berbohong, tetapi tidak boleh salah”, rasanya tidak sepenuhnya benar. Seharusnya politisi tak boleh berbohong, apalagi melakukan kebohongan publik, tetapi kenyataannya ada yang berbohong. Baru-baru ini Kwik Kian Gie mengatakan bahwa ada petinggi pemangku jabatan politik kita yang berbohong.
Politisi tak boleh salah sebab, kalau sampai salah langkah, bisa tamatlah karier politiknya. Ingat saja Wapres Spiro T Agnew yang tamat riwayatnya setelah mengatakan “Nolo contendere” atas tuduhan suap. Walaupun (kata Prof Tjip) boleh, Spiro Agnew tidak berbohong sebab di pengadilan ia tidak melawan dakwaan jaksa penuntut. Kesalahannya ialah ia doyan makan sogokan. Juga kita teringat kepada Presiden Richard M Nixon, yang salah (kebablasan) melangkah dalam skandal Watergate. Tamatlah ia dalam pemakzulan, cuma untungnya ia langsung diampuni penggantinya, yakni Presiden Gerald Ford.
Ajaran Prof Tjip akan selalu dikenang (dan semoga juga ditiru dan dikembangkan) oleh koleganya, mahasiswanya, dan kita semua. Beristirahatlah dalam kedamaian, profesor!
Liek Wilardjo, Guru Besar Fisika Universitas Kristen Satya Wacana
Sumber : Kompas, Rabu, 12 Januari 2010