Involusi Perppu (Bank Century)

Oleh: Mohammad Fajrul Falaakh

SEBUAH peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu diterbitkan hanya untuk menalangi Bank Century. Inilah kesan yang ditimbulkan Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan.

Perppu termasuk rezim regulasi mendesak (Belanda: noodverordeningsrecht) dan dimaksudkan untuk mengatasi keselamatan negara (eks-Penjelasan Pasal 22 UUD 1945). Namun, perppu menjadi bentuk decretismo (governing by decree), bahkan sekadar instrumentalisasi hukum dan kekuasaan oleh kepentingan tertentu kalau kegentingan yang memaksa penerbitannya tak sesuai kondisi sosiologis.

Perppu Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) ditolak DPR (18/12/2008). Presiden kemudian mengirim RUU JPSK untuk sekaligus membatalkan Perppu JPSK, tetapi ditolak DPR (30/9/2009). Perppu JPSK menjadi salah satu unsur dalam audit investigasi BPK terhadap penalangan Bank Century (BC) sehingga memastikan pembentukan Panitia Angket BC di DPR. Melalui surat bernomor R-61/Pres/12/2009 kepada Pimpinan DPR (11/12/2009), Presiden Yudhoyono menyampaikan kembali RUU JPSK. Legislasi terkait perppu menampakkan involusi.

Kegentingan Berkepanjangan

Sebetulnya pengaturan perppu mengandung ketidakpastian yang tinggi, ditundukkan kepada semangat birokrasi, dan rentan ditafsirkan hanya menurut kepentingan pemerintah tanpa persetujuan DPR. Pertama, cakupan perppu begitu luas (”hal ihwal”) dan makna kegentingan yang memaksa pemberlakuannya ditundukkan kepada subyektivitas presiden.

Kedua, meski tak ditegaskan dalam konstitusi, perppu serta-merta berlaku pascapenerbitannya. Kenyamanan memerintah melalui perppu sering dicukupkan dengan menerbitkannya saat DPR tak bersidang. Memerintah dengan perppu yang efektif tanpa persetujuan DPR disebut decretismo. Sebaiknya perppu seperti ini hanya dimungkinkan jika memenuhi persyaratan ketat yang diatur UU dan presiden-eksekutif bukan legislator.

Presiden Yudhoyono memberlakukan Perppu JPSK 2008 (15/10/2008) tanpa persetujuan DPR. Perppu JPSK menjadi dasar pembentukan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang kemudian memutuskan penalangan BC. Namun, sifat kegentingan yang memaksa penerbitan perppu itu belum diuji silang dengan penilaian banyak pihak di DPR. Pembiaran DPR melegitimasi dana talangan BC hingga Perppu JPSK ditolak DPR (18/12/ 2008).

Ketiga, seharusnya presiden mencabut perppu setelah DPR menolaknya. Ternyata kegentingan diperpanjang karena DPR diminta menyetujui ”akal-akalan” bahwa Perppu JPSK akan tidak berlaku setelah RUU JPSK 2009 disetujui DPR bersama presiden (Kompas, 30/9/2009, hlm 17). Ini juga mengabaikan hak parlemen di bidang anggaran. Padahal, sudah ditegaskan: presiden harus mencabut perppu jika DPR tak menyetujuinya (Pasal 22 UUD 1945). DPR akhirnya menolak RUU JPSK 2009 (30/9/ 2009) setelah dana talangan BC membengkak Rp 6,7 triliun meski menyetujui belasan lainnya selama tahun 2004-2009.

Involusi Legislasi

Mungkin kekhawatiran dituding melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) telah mendorong ”akal-akalan” dalam RUU JPSK tersebut. Salah satu unsur tipikor adalah tindakan melawan hukum. Pencairan dana talangan kepada BC pascapenolakan Perppu JPSK (18/12/2008) terancam masuk kategori ini. Maka, pemerintah menyelipkan klausul bahwa Perppu JPSK 2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada saat UU JPSK berlaku. Karena penolakan DPR terhadap Perppu JPSK dimentahkan, DPR pun menolak RUU JPSK (30/9/2009).

Namun, Menteri Keuangan menyatakan, penalangan BC berdasarkan Pasal 39 dan Pasal 41-42 UU No 24/2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan. Pemerintah tidak menggunakan Perppu JPSK yang dipermasalahkan DPR. Untuk apa Perppu JPSK 2008 diterbitkan? Apa pun, Menkeu/Ketua KSSK bertanggung jawab, secara administratif ataupun pidana, atas pengelolaan keuangan negara yang digunakan dalam penalangan BC (meski bukan tindakan reguler otoritas keuangan).

RUU JPSK terbaru kembali mementahkan penolakan DPR terhadap Perppu JPSK 2008. Pasal 2 Ayat 2 RUU ini menyatakan, ”Kebijakan yang telah ditetapkan KSSK tentang penanganan krisis berdasarkan Perppu JPSK 2008 tetap sah dan mengikat” (penjelasan ayat ini menyebut penetapan BC sebagai bank gagal sistemik). Untuk kejernihan masalah, pemerintah dan DPR sebaiknya membedakan antara RUU untuk mengatur krisis ekonomi finansial dan RUU pencabutan Perppu JPSK 2008.

Birokrasi dan aturan administrasi negara mengatur bahwa perppu dimajukan kepada DPR sebagai RUU penetapan perppu. Kalau RUU ini ditolak DPR, maka perppu dicabut dengan UU berdasarkan RUU dari presiden-eksekutif. Aturan birokratik ini dituangkan di Pasal 25 UU No 10/2004 dan menyebabkan pencabutan perppu berkepanjangan. Aturan ini mengecoh karena mempersamakan perppu dengan UU. Meski berfungsi dapat menggantikan UU, perppu adalah peraturan pemerintah (PP). Kalau DPR menolak PP, presiden pun mencabut PP itu. Kegentingan berakhir.

Meminta UU sebagai bentuk persetujuan ataupun penolakan DPR terhadap perppu termasuk kiat hukum yang secara teknis memamerkan kontradiksi dan involusi. DPR tersandera kalau harus membuat keputusan baru tentang substansi perppu (dalam RUU) yang sudah ditolaknya. Penggunaan UU untuk membatalkan perppu pascapenolakan DPR tidak boleh mengalahkan norma konstitusi kepada tuntutan administratif-birokratik. Kalau tuntutan penggunaan UU ini mementahkan wewenang DPR dalam menolak perppu, maka harus dinilai antidemokrasi dan dinyatakan batal.

Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM

Sumber : Kompas, Rabu, 6 Januari 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts