Oleh: Satjipto Rahardjo
KITA sering terjebak dogmatisme dan berpikir sederhana. Seolah jika sudah berbicara tentang penegakan hukum, urusan beres, hukum sudah dijalankan, undang-undang sudah diterapkan, dan utang sebagai negara hukum sudah dilunasi.
Sikap ini dapat berakibat luas, yaitu membangkitkan harapan keliru terhadap hukum, apalagi saat kita dihadapkan keadaan luar biasa seperti saat ini. Sebaiknya kita mengajak publik untuk lebih cerdas dengan mengatakan, menegakkan hukum tidak sama dengan menerapkan undang- undang dan prosedur. Penegakan hukum adalah lebih daripada itu. Kualitas dan intensitas penegakan hukum dapat berbeda-beda.
Dalam khazanah spiritual Timur (Jawa) dikenal kata mesu budi, yaitu pengerahan seluruh potensi kejiwaan dalam diri. Karena Timur lebih menitikberatkan dimensi spiritual, mesu budi lebih banyak dibicarakan dalam ranah spiritual, seperti puasa (tapa brata) atau nyepi (Bali).
Dua tahun lalu di Gereja Stasi Santo Petrus, Semarang, digelar pertunjukan monolog reflektif menyambut tahun 2008 bertajuk ”Mati Sajroning Urip” (mati dalam hidup, Kompas Jawa Tengah, 2/1/ 2008). Pertunjukan itu berisi ajakan untuk mematikan ego yang hanya merugikan diri dan sesama. Inilah contoh aktivitas mesu budi seperti banyak dipahami dan diterapkan di Timur.
Pada abad ke-21 yang kian marak dan dipadati teknologi, sains, dan berpikir rasional, mesu budi masih relevan. Kendati dalam suasana demikian, sikap mesu budi tetap bernilai tinggi karena kita dapat melakukan mesu budi secara rasional. Tanpa sikap itu, sains dan teknologi hanya akan membawa malapetaka.
Hukum Model Pejuang
Dalam dunia hukum, cara berhukum dapat dilakukan menurut bunyi teks undang-undang dan prosedur (black-letter law). Cara itu masih dominan dalam hukum di Indonesia kini. Ini adalah cara menjalankan hukum paling mudah dan sederhana. Konon, di antara penegak hukum, cara ini juga dianggap paling aman untuk dijalankan seraya menunggui datangnya hari pensiun. Karena itu, amat sedikit jumlah mereka yang mau menjadi vigilante (pejuang) dalam penegakan hukum, seperti dilakukan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto saat ingin membongkar kolusi di Mahkamah Agung (MA), tahun 1993.
Penegakan hukum model pejuang ini memang berisiko tinggi. Itu terjadi pada hakim Adi Andojo yang, demi kecintaannya kepada MA, tergerak untuk memperbaiki citra badan pengadilan tertinggi itu. Sang pejuang malah terpental. Itulah risikonya.
Hakim Agung Adi Andojo adalah satu contoh penegak hukum yang melakukan mesu budi . Hakim-hakim yang tidak mesu budi, yang tidak ”berbuat macam-macam”, yang mengikuti petunjuk dari buku-buku dengan baik (book-rule model), selamat dalam meniti karier. Namun, hakim macam manakah yang lebih berjasa untuk bangsa? Yang melakukan mesu budi atau tidak?
Saya sependapat dengan Paul Scholten, seorang raksasa pemikir hukum Belanda, bahwa hukum itu menyimpan kekuatan pendobrak (expansiekracht) untuk keluar dari kemandekan. Namun, pada hemat saya, kekuatan itu hanya akan muncul (manifest) di tangan penegak hukum yang menjalankan tugasnya dengan mesu budi.
Dalam kurikulum fakultas hukum di Indonesia memang tidak ada mata kuliah mesu budi. Hukum diajarkan secara formal dan datar-datar saja. Ini merupakan kekurangan besar, terutama ketika dari fakultas-fakultas itu diharapkan muncul para vigilante hukum yang mampu melawan kekuatan hitam yang ingin menghancurkan Indonesia, seperti korupsi, narkoba, dan perusakan lingkungan.
Jika ada istilah menjalankan pekerjaan dengan cara beyond the call of duty, yaitu bertindak lebih daripada yang diwajibkan, mesu budi dalam penegakan hukum adalah menjalankan hukum dengan kualitas beyond the call of rule.
Mengapa Hakim Agung Adi Andojo tidak duduk manis saja selama menjabat hakim agung? Jawabannya, karena ia termasuk kategori hakim yang menjalankan pekerjaannya beyond the call of rule. Kalau Adi Andojo gelisah dengan rendahnya citra MA, yang lain duduk manis saja karena berpikir ”tugas saya hanya memeriksa dan mengadili.”
Untuk menghadapi keadaan luar biasa saat ini, kita lebih membutuhkan mereka yang bersemangat beyond the call of duty itu daripada mereka yang mengikuti model book-rule. Menjalankan penegakan hukum di luar tugas yang rutin dan biasa, tidak lain yang dimaksud adalah penegakan hukum dengan cara mesu budi itu (”Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual”, Kompas, 30/12/2002).
Hukum itu bukan sesuatu yang statis, steril, tetapi institut yang secara dinamis bekerja untuk memberi keadilan kepada bangsanya. Maka, terjadilah interaksi dinamis antara hukum dan keadaan sosial di sekitar hukum itu dan tantangan situasi luar biasa pun dijawab dengan cara luar biasa pula.
Pengadilan, kejaksaan, dan lainnya adalah institut yang menonjol di tengah masyarakat yang mendambakan keadilan itu. Namun, pengadilan (dan lainnya) hanya dapat meraih gelar yang mulia sebagai ”istana keadilan” (hall of justice) jika diisi orang-orang yang selalu memahami dan menjalankan tugasnya dengan cara mesu budi.
Satjipto Rahardjo, Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
Sumber : Kompas, Sabtu, 9 Januari 2010