Oleh: Andi Suruji
SEJAK terbentuknya Panitia Khusus Angket DPR untuk menyelidiki kasus penyelamatan Bank Century, kata sistemik semakin populer di masyarakat. Tindakan penyelamatan bank kecil tersebut menurut pejabat otoritas moneter dan fiskal karena dikhawatirkan berdampak sistemik. Artinya, kalau tidak diselamatkan pada saat itu, akan membahayakan perbankan secara keseluruhan, membahayakan sistem pembayaran, dan membahayakan pula perekonomian.
Pendeknya, mendengar kata sistemik pada saat-saat pengambilan keputusan penyelamatan Bank Century waktu itu kira-kira sama mengerikannya ketika orang mendengar kata-kata ”bahaya laten” di era Orde Baru. Betapa susah hidupnya jika seseorang dicap sebagai anasir-anasir organisasi yang selalu disebut-sebut mengandung bahaya laten.
Pada tingkat akar rumput, kehidupan nyata rakyat banyak, sebenarnya masih sangat banyak bahaya sistemik dan bahaya laten. Jumlah penganggur ogah turun secara drastis angkanya, juga menyimpan bahaya sistemik. Bahaya laten kemiskinan juga tak kalah mengerikannya.
Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat juga sangat berbahaya. Ketidakadilan di muka hukum, perlakuan dan pelayanan, kesempatan memperoleh akses pendidikan dan kesehatan, dalam hal memperoleh kredit yang disediakan pemerintah, bantuan langsung tunai, semua itu hanyalah deretan pendek persoalan di masyarakat.
Beberapa waktu lalu seorang pedagang kakao di Sulawesi Selatan bercerita betapa petani kakao di sana juga menghadapi bahaya laten, bahaya sistemik. Apa pula petani ini bicara bahaya laten, sistemik segala...!
Petani kakao itu dirundung malang. Mereka menghadapi masalah kronis penyakit yang menyerang tanaman kakao sehingga menurunkan produksi dan mutu biji kakao. Penyakit itu benar-benar memangkas harapan petani di sana.
Di Sulawesi, luas areal kakao mencapai 932.762 hektar atau 63,3 persen dari luas areal nasional. Produksinya mencapai 508.135 ton (65,2 persen) dari produksi nasional. Petani yang terlibat mencapai 765.910 keluarga.
Dari total areal tersebut, terdapat sekitar 450.000 hektar tanaman yang bermasalah, diserang penyakit penggerek buah dan penyakit lainnya, sehingga menurunkan produktivitas tanaman dan mutu biji kakao yang dihasilkan.
Bukan main. Dari seluas 450.000 hektar tanaman kakao yang bermasalah tersebut, sekitar 70.000 hektar tanaman harus diremajakan alias diganti total. Terpaksa harus diganti karena tanaman tersebut tidak bisa lagi diandalkan sebagai sandaran hidup petani.
Potensi kerugian yang semakin besar menganga lebar-lebar di hadapan petani manakala tidak ada tindakan drastis. Areal tanaman seluas 70.000 hektar itu tersebar pada 42 kabupaten pada enam provinsi di Sulawesi. Selain 70.000 hektar yang terserang berat, 235.000 hektar lainnya kategori sedang dan 145.000 hektar terkena serangan ringan dan kurang terpelihara.
Akibat penyakit itu, potensi kehilangan hasil mencapai 269,698 ton per tahun dengan nilai Rp 5,4 triliun per tahun. Penurunan pendapatan petani dari hasil kebun kakao mencapai Rp 6,5 juta per hektar per tahun. Sistemik juga, bukan!
Penyebab penurunan produksi dari tahun ke tahun itu terkait dengan serangan hama penggerek buah kakao, penyakit vascular streak dieback (VSD). Di samping itu, banyak pohon kakao yang memang sudah tua, 15 sampai 20 tahun, sehingga produktivitasnya juga sudah menurun.
Kombinasi tiga persoalan itulah yang membuat produktivitas tanaman semakin memprihatinkan. Idealnya, tingkat produksi tanaman kakao usia produktif adalah 2 ton sampai 2,5 ton per hektar per tahun. Sekarang ini rata-rata 0,5 ton saja.
Hama penggerek buah kakao sudah lama terdeteksi. Sepintas pohon kakao terlihat sehat, tetapi hama menyerang saat buah sudah keluar sehingga buah tidak memiliki biji atau ada biji tetapi rusak. Ada juga penyakit VSB. Di cabang pohon terdapat jamur yang melengket dan merembet sampai daun yang menjadi kekuning-kuningan, tidak sehat untuk produksi buah. Ini sistemik juga bukan...!
Sudah lama pula petani berteriak meminta pertolongan kepada pemerintah, tetapi suara mereka tidak terdengar karena jauh dari pusat kekuasaan.
Ironi
Indonesia yang memiliki 1,5 juta hektar tanaman dan merupakan negara produsen kakao terbesar ketiga di dunia justru tidak direken sebagai produsen cokelat. Sebaliknya, Swiss yang tidak punya lahan pertanian untuk kakao amat masyhur sebagai penghasil cokelat terbaik di dunia.
Di berbagai belahan benua Eropa dan Amerika, biji kakao hasil keringat petani dari perkebunan di pelosok-pelosok Indonesia dipabrik menjadi produk akhir. Ekspor biji kakao petani Indonesia itu pun memberikan lapangan kerja bagi ribuan buruh pabrik cokelat, memberikan nilai tambah berlipat-lipat kali bagi negara dan produsen cokelat.
Inilah ironi yang memilukan petani kakao di negara agraris Indonesia. Tanpa tindakan radikal, tidak lama lagi Indonesia pasti akan tenggelam lalu terhapus dari daftar penghasil kakao yang diperhitungkan pasar internasional. Sistemik juga, bahaya laten pula, sistematis memiskinkan petani.
Konon, mulai tahun ini pemerintah sudah mengalokasikan dana Rp 3 triliun untuk membantu petani meningkatkan produksi dan mutu kakao, tetapi dana tersebut ternyata untuk tiga tahun dan untuk sembilan provinsi pula.
Bandingkan dengan talangan Bank Century...!
Andi Suruji, wartawan Kompas
Sumber : Kompas, Sabtu, 26 Desember 2009