Jakarta - Rencana Malaysia meregistrasi tari Tor-tor dan alat musik Gordang Sambilan ke dalam Akta Warisan Kebangsaan Malaysia menuai polemik. Masyarakat Indonesia keberatan karena tarian ini merupakan budaya Mandailing yang berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara.
Menteri Informasi, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia, Datuk Seri Rais Yatim, menyatakan, syarat masuk ke dalam akta itu adalah "Pertunjukan periodik harus diadakan. Artinya, tarian harus disajikan sementara irama gendang harus dimainkan di depan publik," sebagaimana dilansir Kantor Berita Malaysia, Bernama.
Menurut Rais, mempromosikan kebudayaan dan seni Mandailing sangat penting, sebab bisa mengungkap asal-usulnya. Selain itu bisa mempererat persatuan dan kesatuan dengan masyarakat lainnya.
Juru Bicara Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, Suryana Sastradipraja, menyatakan, komunitas Mandailing di Malaysia diperkirakan mencapai 500 ribu orang. Warga Mandailing sudah turun-temurun berada di Negeri Jiran. "Mereka sudah berada di Malaysia sejak 100 tahun lalu," kata Suryana dalam perbincangan dengan VIVAnews, Senin 18 Juni 2012.
"Secara umum begini, sekitar 60-70 persen warga Malaysia itu adalah keturunan Indonesia. Mereka datang ke Malaysia membawa budayanya masing-masing dan dipraktikkan di sini. Dan akhirnya, menjadi tradisi di Malaysia. Lalu ada persepsi, kebudayaan Indonesia dicuri," kata Suryana lagi.
Bagian dari Diaspora Mandailing
Abdur-Razzaq Lubis, seorang cendekiawan Mandailing di Malaysia, menceritakan kebudayaan Tor-tor dan Gordang Sambilan dibawa ke Malaysia oleh perantau dari Mandailing. Lubis menceritakan, dalam makalah berjudul "Mandailing-Batak-Malay: A People Defined and Divided" yang dipresentasikan dalam Konvensi Internasional Cendekiawan Asia di Kuala Lumpur, Agustus 2007, orang-orang Mandailing eksodus di masa Perang Paderi, abad 19 lalu. Sebagai pengikut Paderi, mereka direpresi kolonial Belanda sehingga terpaksa bermigrasi ke luar dari kampungnya menuju Malaysia.
Di Malaysia, orang-orang Mandailing ini dikenal sebagai pembuat masalah dengan kolonialisme Inggris. Perang Pahang yang terjadi pada 1857-1863 pecah karena aksi orang-orang Mandailing ini. Bahkan, setelah Perang Selangor, Sultan Abdul Samad yang berkuasa di Selangor mengeluarkan keputusan menyatakan orang Mandailing sebagai tukang onar yang harus dienyahkan sehingga mereka diusir keluar dari negeri itu.
Awalnya, di bawah administrasi kolonial Inggris, Mandailing dikategorikan sebagai "Melayu Asing" lalu menjadi "Melayu Sumatera" dan kemudian "Melayu Mandeling" dan lama-lama menjadi "Melayu" saja. Tahun 1921, istilah Mandailing benar-benar hilang, dilebur ke "Melayu" namun istilah "Orang Aceh", "Orang Batak" dan "Orang Jawa" tetap ada. Kondisi berbeda terjadi di Indonesia, administrasi kolonial justru memasukkan "Mandailing" sebagai bagian dari Batak.
"Sejarah imperialis dan proses pembangunan bangsa telah berdampak pada orang Mandailing dan penyebaran mereka sehingga terbagi atas dua etnis dan identitas budaya; di Indonesia, Mandailing adalah Batak-Mandailing dan di Malaysia, mereka Melayu," kata Lubis.
Dalam artikel Lubis yang lain, "Mandailing-Islam Across Borders" pada tahun 2004, jumlah orang Mandailing di Malaysia lebih dari 30 ribu orang. Mereka tersebar di sejumlah negara bagian seperti Perak, Selangor, Negeri Sembilan, dan juga Kuala Lumpur, Ibukota Malaysia.
Di Selangor, orang-orang Mandailing ini berhasil melobi kerajaan untuk menjadikan Gordang Sambilan sebagai alat musik resmi kerajaan. Tahun 2001, Pesta Pulang Pinang di Penang, secara resmi dibuka dengan Gordang Sambilan dan puncaknya, Gordang Sambilan dimainkan di peringatan puncak Hari Kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus 2002.
Agar Mandailing Setara
Meski telah dimainkan di perayaan puncak Hari Kemerdekaan Malaysia pada tahun 2002, rupanya itu belum cukup bagi warga keturunan Mandailing di Malaysia. Ramli Abdul Karim Hasibuan, Presiden Persatuan Halak Mandailing Malaysia, menyatakan pengukuhan sebagai warisan budaya nasional diperlukan untuk membuat kebudayaan Mandailing setara dengan kebudayaan Jawa, Minang, Banjar dan Bugis yang juga hidup dan berkembang di Malaysia.
"Kamis lalu, pada acara perhimpunan anak-anak Mandailing, saya memohon kepada Menteri Rais Yatim agar meletakkan kebudayaan Mandailing setara dengan kebudayaan Indonesia lainnya di Malaysia. Kami ingin diakui bahwa kami eksis di Malaysia," kata Ramli, saat dihubungi VIVAnews, Senin 18 Juni 2012.
Rais Yatim kala itu, ujar Ramli, menyanggupi dan mengatakan akan meneliti lebih dulu kebudayaan Mandailing dengan bersandar pada Akta Warisan Kebangsaan Malaysia tahun 2005 ayat 67. Dalam akta atau undang-undang tersebut dikatakan bahwa sebuah budaya dapat masuk ke dalam Warisan Kebangsaan Malaysia ditilik dari berbagai segi, di antaranya sejarah, bentuk, estetika, hubungan sosial dan potensi pendidikan.
Ramli mengatakan, tarian Tor-tor dan Gordang Sembilan telah mendarah daging di antara rakyat Malaysia. Tarian ini sering dimainkan saat perkawinan atau acara-acara perayaan lainnya.
Dimasukkannya Tor-tor ke dalam Warisan Kebangsaan bukan untuk klaim negara, melainkan pelestarian agar tidak hilang. "Saya jelaskan perlakuan di dalam akta ini. Apabila tarian Tor-tor sudah terdaftar, maka kami akan mendapatkan anggaran dari kementerian untuk melestarikan budaya ini. Atau bahkan kementerian akan membuat satu perkumpulan tari Tor-tor dan Gordang Sembilan," kata Ramli.
"Warisan itu bukan berarti klaim pemerintah. Dalam Akta tahun 2005 tersebut, dikatakan bahwa kebudayaan yang terdaftar dipelihara atau dipertahankan, tetapi kepemilikannya tetap kepada asal-usul negara, yaitu Indonesia. Tidak dimiliki pemerintah Malaysia," katanya lagi.
"Kami tidak mengatakan bahwa Tor-tor itu punya kami. Tor-tor itu punya rakyat Mandailing, Sumatra Utara. Di mana pun anda berada, Jerman, atau negara manapun, semua orang tahu, jika bicara Tor-tor, maka itu milik orang Mandailing, Sumatera Utara," katanya.
Dan persis, seperti itu pula tokoh nasional asal Mandailing, Akbar Tandjung, berbicara. "Mungkin saja ada orang Tapanuli di daerah Malaysia lalu kemudian mereka masih pertahankan sosial budaya mereka. Tapi semua orang juga tahu tari Tor-tor dari Tapanuli, Batak."
Sumber: us.fokus.news.viva.co.id