Mafia Peradilan dan Revolusi Sosial

Oleh: Roby Arya Brata

KASUS kriminalisasi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui rekayasa hukum sungguh telah membuat kita terhenyak untuk menyaksikan bahwa mafia peradilan kini telah mencapai tahap paling kronis dan sistemik. Mafia peradilan tidak hanya mencengkeram para penegak hukum di tingkat operasional (bottom level), namun juga telah menyandera para elite penegak hukum di level puncak pembuat kebijakan.

Akibatnya, tujuan negara hukum untuk menegakkan keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum terpenjara oleh kepentingan korup dan jahat (evil intent) dari para anggota mafia peradilan. Dalam literatur antikorupsi, keadaan ini merupakan indikasi terjadinya “penyanderaan negara” atau state capture, ketika negara disandera dan dijadikan alat untuk melindungi kepentingan dan mencapai tujuan jahat para elite penguasa dan mafia.

Apabila hal ini terus dibiarkan, kita sangat khawatir masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan kepada institusi penegak hukum, bahkan kepada pemerintahan dan negara. Karena itu, peradilan jalanan tempat rakyat menjadi penuntut umum sekaligus hakimnya tidaklah dapat dihindarkan.

Dalam konstruksi kontrak sosial John Locke, peradilan jalanan demikian boleh jadi dapat dibenarkan secara sosiologis, meski tidak secara etis dan moral karena negara telah gagal menjalankan kontrak sosial untuk melindungi warga negaranya. Keadaan ini berbahaya karena dapat mendorong timbulnya negara anarki.

Dalam teori pertentangan kelas (class struggle) Karl Max, negara anarki demikian merupakan ladang subur bagi munculnya revolusi sosial untuk merebut kekuasaan dan “membebaskan” negara dari tangan para elite kelas kapitalis, penguasa, dan mafia. Karena itulah sangatlah penting dan mendesak agar kita segera memberantas mafia peradilan atau mafia hukum dalam pengertian yang lebih luas.

Modus Operandi

Mafia peradilan pada dasarnya hanyalah gejala dari masalah yang lebih mendasar dan kompleks, yaitu patologi institusional, struktural, dan moral dalam proses penegakan hukum. Karena itu, kita perlu memahami lebih mendalam tentang karakter dan operasi atau modus operandi dari mafia peradilan tersebut. Penangkapan dan penghukuman terhadap anggota mafia peradilan tanpa mengatasi akar penyebabnya yang sistemik, karenanya tidak akan menyelesaikan masalah.

Pada dasarnya akar penyebab mafia peradilan adalah terbukanya peluang untuk melakukan korupsi dalam proses penegakan hukum. Secara umum, Robert Klitgaard (1988) menyatakan bahwa korupsi terjadi karena adanya monopoli dan diskresi serta kurangnya akuntabilitas dalam proses pembuatan keputusan atau kebijakan. Argumen ini lebih dikenal dengan formula Klitgaard, Corruption = Monopoly + Discretion - Accountability atau C = M + D - A.

Dengan kata lain, korupsi dalam proses pemerintahan atau penegakan hukum akan terjadi bila seorang pejabat atau institusi memonopoli dan memiliki diskresi yang luas dalam pembuatan kebijakan atau keputusan. Di lain pihak, pengawasan dan akuntabilitas dalam penggunaan kewenangan pejabat tersebut sangatlah lemah.

Inilah yang terjadi dalam proses penegakan hukum kita. Salah satu penyebab utama masalah ini adalah lemahnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai rule of the game dalam menciptakan kerangka institusional yang kuat bagi proses penegakan hukum itu. KUHAP telah menciptakan peluang korupsi dengan memperkuat faktor M dan D, sementara di pihak lain ia justru memperlemah faktor A.

KUHAP telah menciptakan corruption market sejak awal hingga akhir proses penegakan hukum. Dengan memberikan diskresi yang luas kepada penegak hukum, pasar korupsi itu sudah mulai bekerja sejak adanya laporan tindak kejahatan, penetapan tersangka dan saksi, penahanan, penerbitan SP-3 dan SKP-2, pemilihan pasal dan pelemahan dakwaan, pemilihan jenis dan eksekusi hukuman, pembebasan, sampai pemilihan fasilitas dan keringanan yang diberikan kepada terpidana di lembaga pemasyarakatan.

Di pihak lain, KUHAP gagal dalam mendesain mekanisme akuntabilitas bagi penggunaan monopoli dan diskresi kewenangan penegak hukum. Lembaga praperadilan mandul. Pengawasan internal dan eksternal disfungsional. Kasus suap jaksa Urip dan penahanan pimpinan KPK adalah contoh mutakhir kelemahan KUHAP itu.

Strategi

Pembentukan satuan tugas pemberantasan mafia hukum di bawah koordinasi UKP4 harus dilihat sebagai langkah awal dalam mengatasi mafia peradilan. Dengan kewenangan yang terbatas pada koordinasi, evaluasi, dan koreksi tanpa kewenangan yang kuat dan memaksa, sudah pasti satuan tugas tersebut tidak akan mampu mengatasi mafia peradilan secara komprehensif.

Selain itu, UKP4 belum memiliki tenaga ahli yang menguasai masalah antikorupsi dan mafia peradilan. Pelaksanaan kewenangan koordinasi, evaluasi, dan koreksi yang dilakukan oleh bukan ahlinya akan kontraproduktif. Ibarat penyakit, patologi mafia peradilan harus ditangani oleh seorang “dokter” yang ahli dan profesional agar diagnosis dan preskripsi yang diberikan efektif. Karena itu, anggota satuan tugas tersebut haruslah orang yang ahli dalam masalah antikorupsi, mafia peradilan, dan criminal justice system serta tentunya bukan anggota atau yang memiliki kepentingan untuk melindungi mafia peradilan itu.

Strategi yang perlu dilakukan adalah dengan menerapkan formula Klitgaard yang dimodifikasi, yaitu C = M + D - A + PW (political will). Untuk mengawasi penggunaan monopoli dan diskresi kewenangan, misalnya, perlu dibentuk badan independen yang memiliki kewenangan yang kuat untuk melakukan investigasi dan penuntutan terhadap penyalahgunaan kewenangan oleh penegak hukum. Selain itu, ia dapat “memaksakan” dilakukannya reformasi di dalam institusi penegak hukum.

Namun, Klitgaard lupa bahwa tanpa political will yang kuat, pengurangan atau pembatasan faktor M dan D serta penguatan faktor A tidak akan mampu memberantas korupsi dan mafia peradilan dengan efektif. Karena itu, sangatlah penting Presiden, pimpinan politik, dan penegak hukum memiliki komitmen yang kuat untuk memberantas korupsi dan mafia peradilan.

Bila tidak, saya khawatir revolusi sosial ala Karl Max akan digunakan oleh rakyat atau kelompok tertentu untuk merebut kekuasaan sebagai cara pamungkas arus bawah (bottom up anticorruption strategy) untuk menciptakan rezim pemerintahan antikorupsi yang mampu menegakkan keadilan dan melindungi kepentingan rakyatnya.

Roby Arya Brata, peneliti senior pada The Public Policy Institute, Universitas Paramadina

Sumber : Koran Tempo, Jumat, 8 Januari 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts