NAMA Mochammad Jasin disebut-sebut dalam rekaman percakapan antara Antasari Azhar dan Anggoro Widjojo. Dalam rekaman sekitar 17 menit itu, Anggoro mengaku telah memberikan uang Rp 6 miliar kepada sejumlah pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan ini mengaku terkejut ketika mendengar namanya disebut dalam percakapan itu. Jasin menyatakan bidangnya tidak berhubungan dengan penanganan kasus. ”Silakan saja kalau ada buktinya,” kata pria kelahiran Blitar 51 tahun lalu ini.
Kamis pekan lalu, Jasin menerima wartawan Tempo, Anne L. Handayani dan Rini Kustiani, yang meminta komentarnya tentang ”keterlibatannya” dalam kasus Anggoro ini.
Nama Anda disebut dalam rekaman percakapan antara Antasari Azhar dan Anggoro Widjojo. Komentar Anda?
Siapa pun bisa menyebut nama saya….
Kapan Anda dan pemimpin KPK lain mengetahui adanya rekaman itu?
Kami baru tahu sewaktu polisi ke sini untuk mengambil rekaman itu. Jadi, rekaman itu disimpan di komputer jinjing Pak Antasari. Tapi waktu itu tidak diperdengarkan. Padahal mestinya diperdengarkan.
Kalau tidak ada kaitan dengan kasus pembunuhan, apa alasan Antasari mengambil rekaman itu?
Itu kan barang pribadinya.
Lalu bagaimana para pemimpin KPK mengetahui isi rekaman itu?
Kebetulan rekaman yang di dalam recorder belum dihapus. Coba, apa sih isinya. Kemudian ketahuanlah ini suara Anggoro.
Apa yang terlintas ketika nama Anda disebut dalam rekaman itu?
Saya kaget.
Kapan kira-kira percakapan itu dilakukan?
Sekitar 10 Oktober 2008. Jadi, dua hari sebelumnya, Pak Antasari meminjam tape recorder digital milik KPK. Berdasarkan temuan pengawasan internal, dia berangkat ke Singapura pada 9 Oktober 2008. Sekembali dari Singapura, dia meminta salah satu anggota staf memindahkan rekaman itu ke laptopnya.
Apa tujuan Antasari ke Singapura?
Tidak ada yang tahu. Kami tidak tahu untuk apa dia pakai recorder itu.
Bukankah kalau pemimpin mau pergi, pemimpin yang lain juga harus tahu?
Ya, harus tahu. Ada surat tugas, misalnya menemui seseorang atau ada acara apa. Bahkan ada yang mendampingi.
Sekembali dari Singapura, apakah Antasari pernah menceritakan isi rekaman itu kepada pemimpin KPK lain?
Tidak pernah. Rekaman itu hanya ditaruh di dalam laptopnya, baru dikeluarkan delapan bulan kemudian. Ini menurut pandangan KPK tidak betul.
Pengawasan internal sudah sejauh mana menindaklanjuti rekaman ini?
Sedang mengumpulkan data. Itu masih dalam proses.
Selain soal pelanggaran kode etik, apakah pengawasan internal juga mengidentifikasi dugaan keterlibatan Antasari dalam suap itu?
Belum sampai ke situ. Ini masih dalam proses dan sedang berjalan.
Kenapa KPK tidak segera melaporkan ini ke polisi?
Nanti kami akan lapor. KPK tidak akan gegabah.
Kabarnya, Anda sempat menerima 10 ribu dolar Singapura (sekitar Rp 70 juta) dari Antasari?
Itu diberikan di Rumah Sakit Panti Nirmala, Malang, Jawa Timur, pada 13 Oktober 2008. Saya sedang menunggu istri saya yang sedang menghadapi sakaratul maut. Ketika itu, saya mengatakan, ”Ini gratifikasi, Pak.” Tapi dia menjawab, ”Ini saya pribadi, kok.” Kemudian dia pergi. Setelah saya kembali dari Malang, langsung saya laporkan dan kembalikan uang itu ke Direktorat Gratifikasi KPK.
Menurut Anda, bagaimana sampai nama Anda disebut telah menerima Rp 6 miliar?
Saya tidak tahu. Itu kan kata orang. Saya di bidang pencegahan, tidak ada hubungannya dengan penanganan kasus. Yang fokus menangani bidang penindakan itu Pak Bibit Samad Riyanto dan Pak Chandra M. Hamzah.
Saya dan Pak Haryono Umar membahas laporan harta kekayaan pejabat negara, gratifikasi, pemetaan korupsi, kajian sistem, dan reformasi birokrasi. Saya ini ikut dengan KPK sejak awal. Saya ingin menjadikan KPK lembaga yang kredibel dan memiliki integritas tinggi. Jadi tidak mungkin panas setahun dihapus dengan hujan sehari. Kan sayang.
Apa komentar Anda terhadap tudingan menerima suap?
Harus disertai pembuktian. Silakan saja kalau ada buktinya. Itu semua kan katanya-katanya. Jadi testimoni dan rekaman itu keterangan yang diperoleh dari orang lain. Masyarakat akan menilai. Saya di sini untuk jihad. Yang kami pikir bukan kekayaan. Saya bukan bermotivasi untuk mengumpulkan kekayaan. Kalau pekerjaan saya makelar kasus, saya sudah kaya sejak dulu. Rumah saya itu tipe 27 di Pondok Aren, Tangerang. Apakah saya ini tipikal orang penerima suap? Telusuri saja kalau sampai ada gandul-gandul miliaran dalam daftar kekayaan saya. Naudzubillah minzalik. Saya juga tidak tertarik. Saya sudah biasa melarat.
Anda pernah menjenguk Antasari?
Pernah bertiga dengan Pak Bibit dan Pak Haryono sekitar Mei lalu. Ketika itu, Pak Chandra tidak dapat ikut karena sedang ada acara dan tidak memungkinkan menyusul.
Sumber : Majalah Tempo, Senin, 10 Agustus 2009