Jakarta― Kasus korupsi Bupati Kepulauan Riau (Kepri) Huzrin Hood sebesar Rp 87,2 miliar memiliki keterkaitan antara politik lokal dengan politik yang dimainkan pada tingkat nasio-nal. Sehingga, kasus ini tidak mudah untuk diselesaikan secara hukum.
Demikian disimpulkan dari pernyataan Sosiolog UI Kastorius Sinaga dan anggota Sub-Komisi Yudikatif Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Chairul Imam dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (11/05).
”Sampai sekarang dia tetap jadi Bupati, padahal SK pengangkatannya sudah dibatalkan. Kita tentu tahu dia dekat dengan siapa. Dalam sistem politik patron-client, tentu Huzrin memiliki backing. Jadi kalau dia setor tentu dia juga akan dapat konsesi,” ujar Kastorius, yang enggan menyebutkan lebih jauh siapa backing tersebut dalam diskusi bertajuk Penegakan Hukum vs Raja Kecil di Daerah, di Hotel Kartika Chandra, Jakarta.
Menurut Sinaga, pengajar pasca sarjana Universitas Indonesia, ada berbagai kepentingan yang saling terkait dalam kasus Huzrin Hood, meskipun posisi Huzrin sendiri saat ini sangat lemah. Kelemahan tersebut menurut Kastorius, terletak pada Surat Keputusan (SK) pengangkatan bupati tersebut yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Kedua, Huzrin sendiri sudah tidak diakui oleh DPRD-nya dan terakhir statusnya dalam masalah korupsi ini.
Ihawal adanya muatan politis dalam kasus dugaan korupsi terhadap Bupati Kepri itu juga dibenarkan oleh anggota DPR dari daerah asal pemilihan Riau, Djahar Harahap. ”Kesalahan yang bersangkutan sangat dicar-cari dan penuh nuansa politis,” ujar anggota F-PDIP itu.
Ia mengungkapkan sejak awal, mulai proses pemilihan sampai pelantikan, Gubernur Riau Saleh Djasid dan jajaran DPRD Riau telah berupaya menggagalkan terpilihnya Huzrin Hood sebagai Bupati Kepri. ”Sekarang setelah Huzrin jadi Bupati masih saja diganggu dengan isu korupsi dan pembatalan SK pengangkatannya,” tandas Djahar.
Penjegalan terhadap Huzrein Hood, menurut Jahar terkait dengan peran sentral tokoh kepulauan Riau itu dalam memperjuangkan Kepulauan Riau menjadi provinsi tersendiri, terpisah dari provinsi Riau.
Pembuktian Hukum
Kastor Sinaga berpandangan kasus Huzrin harus diselesaikan secara hukum. Jika masalah Huzrin tersebut tidak diselesaikan secara hukum, hal itu menurutnya akan berakibat tidak hanya pada tingkat lokal, tetapi juga pada tingkat nasional. Karena akan menjadi preseden buruk pada penanganan korupsi di daerah-daerah lain.
Kelemahan tersebut juga diakui oleh mantan anggota KPKPN Chaerul Imam. Benar tidak dugaan adanya permainan politik dalam kasus Huzrin Hood, hanya bisa dibuktikan di pengadilan. Ia mengatakan bahwa dalam setiap proses hukum, pada tahap manapun memiliki kemungkinan pihak luar mencampuri proses hukum.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dikatakannya harus memiliki kepekaan hukum yang lebih dalam menyusun dakwaan dan melakukan penuntutan dalam proses persidangan Huzrin Hood sebagai tersangka korupsi APBD Kepri sebesar Rp 3,9 miliar. ”Kalau pada tahap penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan intervensi dari luar sudah tidak mempan, biasanya intervensi kekuasaan akan dilakukan melalui majelis hakim. Nanti tentunya semua pihak bisa menilai, jadi kita tunggu saja proses peradilannya. Jika untuk pencurian ringan saja jaksa bisa menuntut lima tahun, maka untuk kasus korupsi yang jumlahnya hingga miliaran dan memiliki nilai strategis, tentunya jaksa tidak hanya sekadar menuntut hukuman ringan,” ujarnya. (emy/rik/hel)
Sumber : Sinar Harapan 12 Mei 2003