Banda Aceh — Setelah sekian lama berbagai upaya dilakukan warga untuk membenahi korupsi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tak ditanggapi, akhirnya rapat terbatas bidang Politik dan Keamanan (Polkam) di Jakarta, baru-baru ini, mengumumkan rencana pemerintah untuk mengevaluasi secara khusus penggunaan dana anggaran Pemda NAD dan Papua.
Evaluasi tersebut dipandang perlu karena banyak masukan kepada pemerintah tentang penyelewengan dana di dua wilayah tersebut. Berdasarkan informasi formal dan nonformal, banyak dana di NAD yang digunakan tidak sebagaimana mestinya.
”Masukan itu cukup beragam, tetapi masih perlu pemeriksaan. Yang jelas, penyimpangan itu tidak boleh terjadi apalagi digunakan untuk membantu separatisme dan korupsi di daerah konflik,” kata Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono (SH, Jumat, 28/3).
Menko Polkam tidak menyebutkan secara terperinci pelanggaran apa saja yang telah dilakukan, namun koresponden SH di Banda Aceh mencatat data-data yang berkaitan dengan dugaan korupsi di Pemda dan Anggota DPRD Aceh. Di antaranya adalah mobil dinas gubernur Rp 1,83 miliar atau setara tiga mobil menteri kabinet yang harganya antara Rp 400–Rp 600 juta.
Oleh karena itu, aliansi NGO dan Rakyat Anti Korupsi (Anarki) pernah meminta kepada Gubernur Aceh Abdullah Puteh dan DPRD Aceh agar membatalkan pembelian mobil tersebut beserta mobil wakil gubernur yang senilai Rp 837 juta, serta mobil sekretaris daerah Rp 378 juta. Alasannya, waktu itu (tahun 2001) mobil lama masih bisa digunakan dan jangan sampai mengabaikan penderitaan rakyat.
Akibat sorotan yang sangat gencar, Abdullah Puteh akhirnya berjanji akan mengembalikan dan menggantinya dengan mobil dinas yang lebih murah. Namun janji tinggal janji, karena mobil tersebut hingga kini masih digunakannya. Jumlah penduduk miskin di Aceh padahal bertambah dari 886.809 orang pada tahun 1999 menjadi 1,1 juta jiwa tahun 2000 dan 1,3 juta jiwa tahun 2001.
Sementara itu, survei Pusat Studi dan Pendidikan Kebanksentralan (PSPK) Bank Indonesia bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran (FE Unpad) tahun 2001 menyatakan Aceh merupakan daerah terkorup di Indonesia. Hasil survei itu tidak mungkin diragukan tingkat validitas dan akurasinya karena kedua institusi tersebut bonafit dan para penelitinya ahli.
Hasil penelitian itu tidak jauh berbeda dengan temuan Solidaritas Rakyat Anti Korupsi (SoRAK) Aceh saat melakukan review terhadap laporan pertanggungjawaban (LPJ) gubernur Aceh.
Ternyata tahun 2001 ada indikasi kuat terjadi penyimpangan dana pembangunan sebesar Rp 98,799 miliar atau setara dengan 43,64 persen dari realisasi belanja pembangunan tahun 2001, penyimpangan belanja pegawai Rp 15 miliar, serta penggunaan belanja tak terduga dengan melanggar disiplin anggaran mencapai Rp 1,9 miliar.
Sementara itu, data sementara yang berhasil dihimpun Solidaritas Masyarakat Antikorupsi (Samak) di Banda Aceh dari berbagai sumber (laporan media massa, pengaduan dan investigasi), menunjukkan kasus korupsi di Aceh tanpa proses hukum tahun 2001 mencapai 374 kasus. Kemudian tahun 2002 ada 29 kasus korupsi berskala besar yang hingga kini belum ditangani.
Rakyat Kian Miskin
Kucuran untuk dana kemanusiaan sebesar Rp 1,118 triliun juga tidak berpengaruh terhadap menurunnya angka kemiskinan, bahkan sebaliknya, jumlah penduduk miskin bertambah. Ini sangat ironi. Hal itu terjadi karena selain mekanisme pengelolaan yang tidak jelas dan tidak akuntabel, juga tidak ada mekanisme pengawasan dan tidak transparannya pertanggungjawaban dana kepada publik.
Sementara di masyarakat terjadi kesenjangan sosial yang parah, angka pengangguran meningkat secara signifikan, dengan jumlah pengangguran terbuka mencapai lebih 28 persen dari total penduduk Aceh. Angka kemiskinan naik secara tajam, dengan jumlah penduduk miskin yang lebih 50 persen dari total penduduk Aceh 4,2 juta jiwa.
Angka ini merupakan angka teratas dari angka rata-rata nasional, padahal setahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin di Aceh hanya 1.101.368 orang. Sementara itu, tahun 1999 hanya 886.809 orang. Pada 2002 Aceh berada pada peringkat ke-1 sebagai daerah termiskin di Sumatera.
Gubernur Abdullah Puteh sendiri mengaku pernah menangis mendengar rumor yang menuduh dirinya berusaha menghidupkan kembali budaya kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) di Aceh. ”Saya benar-benar sedih, kadang kala menangis mendengar tuduhan seakan-akan saya kembali ke Aceh hanya untuk menyusun kekuatan bagi kepentingan politik kelompok saya,” kata Puteh kepada pers waktu itu di Banda Aceh.
”Yang perlu diketahui, saya kembali ke Aceh bukan untuk mencari kekayaan,” tuturnya dengan nada sedih. Puteh juga menjelaskan, sebelum kembali ke Aceh, ia dan istrinya bersama-sama memiliki pekerjaan dengan penghasilan lumayan, sedangkan kembali ke daerah asal hanya sebagai salah satu bentuk pengorbanan untuk membangun daerah.
(SH/murizal hamzah)
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id