Pelacur ABG Rajai Pasaran

Jakarta - Fenomena meningkatnya jumlah pelacur di bawah umur semakin memprihatinkan. Mereka sudah menyebar merata ke seluruh lapisan kelas masyarakat. Pelacur \\\"bau kencur\\\" atau anak baru gede alias ABG itu tak hanya dikuasai kalangan berkantong tebal. Potret buram itu antara lain dapat disaksikan hampir setiap malam di kawasan Cipinang, Jakarta Timur.

Keberadaan penjaja berahi kelas bawah di lokasi ini juga membuat risih sebagian besar warga. Lebih dari sekadar risih, tapi juga ada perasaan ngilu karena pelacur yang mejeng masih di bawah umur. “Kasihan gue lihat yang muda-muda. Bagaimana itu orang tua yang ngelahirin,” ujar Rangga Utomo, 33, seorang warga Kelurahan Cipinang ketika dimintai komentarnya oleh detikcom tadi malam.

Ironisnya, tutur pria yang bekerja sebagai karyawan swasta ini, kalau dicermati jumlah pelacur yang di bawah umur bukannya berkurang tapi malah bertambah. “Iya lihat aja,\\\" kata Rangga seraya jarinya menunjuk ke arah beberapa pelacur belia yang berdandan agak mencolok.

Pun dari pengamatan mendalam kalangan akademis juga demikian. Guru Besar Sosiologi Universitas Brawijaya Malang Darsono Wisadirana mengatakan melonjaknya angka pekerja seks komersial di bawah umur bukan semata karena faktor himpitan ekonomi. Namun, juga tingginya permintaan yang menginginkan selera peminat pelacur belia atau di bawah umur.

Darsono mengungkapkan sebagian pelacur di bawah usia memang dari kalangan ekonomi bawah. Keinginan mendapatkan uang dengan cara mudah tertanam di pikiran mereka yang sebenarnya masih labil dalam menjalani hidup. Selain itu, faktor bimbingan agama keluarga asal pelacur juga minim. Meski demikian, pengaruh perceraian rumah tangga juga menjadi persoalan tumbuhnya angka pelacuran. “Ekonomi yang kurang bagus dan permintaan fungsional. Itu terus berputar dalam fenomena PSK,” kata Darsono dalam perbincangan dengan detikcom pagi tadi.

Untuk solusi, dia menekankan agar Kementerian Sosial punya peranan mendorong setiap pemerintah daerah untuk mengurangi angka prostitusi. Ia melihat sebenarnya Pemda bisa menyediakan alokasi dana untuk mewujudkan ekonomi mandiri kepada para pelacur pasca di rehabilitasi. Hal ini tentunya belum berhasil kalau tidak dikombinasikan dengan cara pendekatan agama dan penyuluhan kesehatan. “Dua aspek ini paling berperan dan harusnya membuat PSK takut, sadar terhadap profesinya,” ujar Darsono menjelaskan.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Samsudi mengatakan persoalan pekerja seks komersial belum bisa dihilangkan dari kota-kota besar seperti Jakarta. Peliknya persoalan kebutuhan hidup membuat sebagian perempuan nekat terjerumus sebagai profesi penjaja cinta.

Samsudi mengkalkulasi bahwa hampir setiap tahun jumlah perempuan yang masuk ke prostitusi di Jakarta meningkat. Angka jumlah pelacur di Jakarta sendiri masih di bawah Jawa Timur. Namun, ia mengaku tidak mengetahui angka pastinya. Hanya saja peningkatan itu sekitar 10 persen setiap tahun dengan sebagian besar pelaku yang terjerumus adalah perempuan di bawah usia 18 tahun.

Makanya, kata dia, tidak mengherankan kalau Indonesia termasuk salah satu negara pemasok pelacur di bawah 18 tahun. “Yang saya tahu kisarannya itu ada sekitar 40 ribuan PSK. Nah, sebagian besar masih di bawah 18 tahun termasuk yang di Jakarta ini,” ujar Samsudi kepada detikcom kemarin.

Dia menambahkan selama ini daerah potensial pemasok pelacur di bawah umur antara lain Indramayu, Banyuwangi, dan Manado. Ia tidak menampik bahwa untuk mengatasi masalah pelacuran ini diperlukan kesabaran. Persoalan penanganan memerlukan aspek moralitas dan manusiawi.(brn/brn)

-

Arsip Blog

Recent Posts