Oleh: Evin H Bakara
Katakan saja Bali! Dunia sangat mengenal pulau di timur Pulau Jawa itu sebagai satu tempat wisata eksotis. Sebuah provinsi seluas 5.561 km persegi berjuluk "Pulau Dewata" yang paling berhasil membangun sektor pariwisatanya di Indonesia.
Lalu coba lihat Sumatera Utara (Sumut). Provinsi seluas 72.981 km persegi ini dikenal dengan Danau Toba-nya yang menjadi salah satu danau air tawar terbesar di dunia. Namun Sumut sangat kalah jauh ketimbang Bali sebagai satu daerah tujuan wisata. Mengapa?
Bali, berhasil menata, menjaga dan melestarikan semua aset alam dan budaya. Ada kesadaran yang tinggi dari masyarakat Bali bahwa budaya dan alam adalah sesuatu yang harus lestari. Pemerintah Provinsi Bali paham betul bahwa kondisi geografis pulau itu sangat potensial untuk mendukung sektor pariwisata dengan pemandangan pantai yang yahud, pegunungan yang memukau, desa-desa yang bersahaja dan citra sosial budaya lokal yang menarik perhatian para turis. Inilah yang terus dijaga dan dilestarikan hingga akhirnya berkembang sebagai satu destinasi wisata utama di Indonesia dan alternatif eksotis bagi turis mancanegara. Intinya, harmonisasi alam, lingkungan geografis dan aspek adat budaya.
Sementara Sumatera Utara, walau punya semua aspek itu dalam dimensi wisata yang berbeda, belum tertata, terjaga, apa lagi lestari. Inilah pembeda utama sekaligus faktor yang membuat pariwisata Sumut belum bisa "menandingi" Bali. Faktor yang juga paling menentukan adalah belum munculnya kesadaran yang kuat akan semua aspek potensi daerah ini yang bisa "dijual" sebagai satu daerah yang kaya akan panorama alam, budaya lokal, dan kelestarian lingkungannya.
Padahal coba bayangkan betapa potensi alam dan budaya Sumut begitu kaya jika dibandingkan sejumlah daerah lain di Indonesia, termasuk Bali sendiri. Sumut punya deretan pegunungan dan perbukitan memukau di jalur Bukit Barisan, punya hutan hujan tropis yang khas, punya Orangutan sebagai satwa endemik yang hanya terdapat di Indonesia dan Malaysia, markisa yang terkenal sebagai buah tropis khas Berastagi, juga punya Pulau Nias yang eksotis, Danau Toba sebagai sisa aktivitas super vulkano di masa purba, tanah yang subur, ragam adat budaya (terutama Batak, Nias dan Melayu), potensi pantai Timur (ke Selat Malaka) dan barat (ke Samudra Hindia), sungai-sungai dan jeram-jeram menantang, air terjun, bahkan punya setidaknya 419 pulau-pulau besar dan kecil.
Semua potensi ini semestinya menjadi aset yang sangat penting untuk pengembangan ragam sektor wisata. Dari wisata sejarah dan budaya, agrowisata, wisata alam, wisata bahari, sampai ekoturisme… Namun sayangnya kesadaran akan semua potensi, aspek, dan manfaat ini belum tergali seutuhnya. Masih banyak hal yang terabaikan seperti penataan yang sembrono, ketidakadaan perawatan berkelanjutan, ketidakpedulian pada potensi yang sudah tergali, pembiaran, dan tindakan setengah hati untuk pengembangan, pemeliharaan, dan membangkitkan semua aset potensial tersebut.
Lihat saja wisata di sekitar Danau Toba, penataannya sangat sembrono dan tidak mencerminkan kesadaran masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian alam dan budayanya. Masalah sampah dan kebersihan masih sangat mengganggu, perusakan alam asri dengan beton-beton buatan berlebihan, aspek transportasi yang mengecewakan, perilaku masyarakat lokal yang masih terkesan agresif oportunis dengan menaikkan harga jual yang tinggi dan desakan pemaksaan bagi pendatang untuk membeli kerajinan lokal, ini akan membuat turis jera dan berpikir ulang untuk kembali berkunjung ke sana.
Padahal jika pemeritah provinsi dan jajaran pemerintah daerah kabupaten mau lebih mencurahkan perhatian pada sektor wisata daerah di Sumut, bukan tidak mungkin Sumut akan menjadi destinasi khusus wisatawan mancanegara.
Jika saja kita mau, tak sulit untuk mengubah perilaku masyarakat lokal terhadap para wisatawan. Hanya perlu penjelasan dan sosialisasi serta ajakan peran serta aktif yang terbina rapi, sistem standardisasi harga terkendali yang wajar, pembinaan kerajinan daerah lokal, pengembangan budaya lokal, bantuan bagi pemeliharaan fasilitas publik (wisata) dari pemerintah yang dikelola bersama penduduk setempat, perawatan lestari berkesimbambungan, dan membangun kesadaran bersama akan fungsi peruntukan lokasi wisata di daerahnya masing-masing.
Untuk mendongkrak devisa dari sektor pariwisata di Sumut memang perlu kerja keras. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dan dibenahi secepat dan seefektif mungkin. Amat disayangkan jika aset yang ada dan belum tergali sempurna itu tidak diiringi tindakan nyata untuk menggali, memperbaiki, menata ulang, dan rawatan lestari atas semua potensi yang ada. Padahal ia bisa menjadi sumber devisa dan meningkatkan pendapatan asli daerah selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Walaupun wisatawan yang mampir ke Sumut mungkin lebih banyak kaum backpaker (saat ini) dengan tingkat kemampuan belanja yang rendah, itu bukan berarti kita pesimis. Bukan tidak mungkin potensi dari wisatawan golongan ini justru menjadi suatu promosi yang baik di satu sisi. Tinggal bagaimana manajemen wisata Sumut bisa menjaring semua level wisatawan dan meningkatkan kepuasan level tertentu yang sudah "suka" ke Sumut.
Keaslian, eksotisme, kenyamanan dan kemanan di daerah wisata justru menjadi hal yang perlu diperhatikan dengan seksama. Mengingat potensi Sumut, masih ada peluang provinsi ini menjadi menjadi satu destinasi wisata dunia setara Safari Afrika atau Cruising Karibia misalnya. Dibutuhkan sebuah komitmen, tekad, dan tindakan nyata! Kita bisa jika kita mau!*
Penulis adalah pemerhati sosial, geografi dan lingkungan
Sumber: http://www.harian-global.com
Katakan saja Bali! Dunia sangat mengenal pulau di timur Pulau Jawa itu sebagai satu tempat wisata eksotis. Sebuah provinsi seluas 5.561 km persegi berjuluk "Pulau Dewata" yang paling berhasil membangun sektor pariwisatanya di Indonesia.
Lalu coba lihat Sumatera Utara (Sumut). Provinsi seluas 72.981 km persegi ini dikenal dengan Danau Toba-nya yang menjadi salah satu danau air tawar terbesar di dunia. Namun Sumut sangat kalah jauh ketimbang Bali sebagai satu daerah tujuan wisata. Mengapa?
Bali, berhasil menata, menjaga dan melestarikan semua aset alam dan budaya. Ada kesadaran yang tinggi dari masyarakat Bali bahwa budaya dan alam adalah sesuatu yang harus lestari. Pemerintah Provinsi Bali paham betul bahwa kondisi geografis pulau itu sangat potensial untuk mendukung sektor pariwisata dengan pemandangan pantai yang yahud, pegunungan yang memukau, desa-desa yang bersahaja dan citra sosial budaya lokal yang menarik perhatian para turis. Inilah yang terus dijaga dan dilestarikan hingga akhirnya berkembang sebagai satu destinasi wisata utama di Indonesia dan alternatif eksotis bagi turis mancanegara. Intinya, harmonisasi alam, lingkungan geografis dan aspek adat budaya.
Sementara Sumatera Utara, walau punya semua aspek itu dalam dimensi wisata yang berbeda, belum tertata, terjaga, apa lagi lestari. Inilah pembeda utama sekaligus faktor yang membuat pariwisata Sumut belum bisa "menandingi" Bali. Faktor yang juga paling menentukan adalah belum munculnya kesadaran yang kuat akan semua aspek potensi daerah ini yang bisa "dijual" sebagai satu daerah yang kaya akan panorama alam, budaya lokal, dan kelestarian lingkungannya.
Padahal coba bayangkan betapa potensi alam dan budaya Sumut begitu kaya jika dibandingkan sejumlah daerah lain di Indonesia, termasuk Bali sendiri. Sumut punya deretan pegunungan dan perbukitan memukau di jalur Bukit Barisan, punya hutan hujan tropis yang khas, punya Orangutan sebagai satwa endemik yang hanya terdapat di Indonesia dan Malaysia, markisa yang terkenal sebagai buah tropis khas Berastagi, juga punya Pulau Nias yang eksotis, Danau Toba sebagai sisa aktivitas super vulkano di masa purba, tanah yang subur, ragam adat budaya (terutama Batak, Nias dan Melayu), potensi pantai Timur (ke Selat Malaka) dan barat (ke Samudra Hindia), sungai-sungai dan jeram-jeram menantang, air terjun, bahkan punya setidaknya 419 pulau-pulau besar dan kecil.
Semua potensi ini semestinya menjadi aset yang sangat penting untuk pengembangan ragam sektor wisata. Dari wisata sejarah dan budaya, agrowisata, wisata alam, wisata bahari, sampai ekoturisme… Namun sayangnya kesadaran akan semua potensi, aspek, dan manfaat ini belum tergali seutuhnya. Masih banyak hal yang terabaikan seperti penataan yang sembrono, ketidakadaan perawatan berkelanjutan, ketidakpedulian pada potensi yang sudah tergali, pembiaran, dan tindakan setengah hati untuk pengembangan, pemeliharaan, dan membangkitkan semua aset potensial tersebut.
Lihat saja wisata di sekitar Danau Toba, penataannya sangat sembrono dan tidak mencerminkan kesadaran masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian alam dan budayanya. Masalah sampah dan kebersihan masih sangat mengganggu, perusakan alam asri dengan beton-beton buatan berlebihan, aspek transportasi yang mengecewakan, perilaku masyarakat lokal yang masih terkesan agresif oportunis dengan menaikkan harga jual yang tinggi dan desakan pemaksaan bagi pendatang untuk membeli kerajinan lokal, ini akan membuat turis jera dan berpikir ulang untuk kembali berkunjung ke sana.
Padahal jika pemeritah provinsi dan jajaran pemerintah daerah kabupaten mau lebih mencurahkan perhatian pada sektor wisata daerah di Sumut, bukan tidak mungkin Sumut akan menjadi destinasi khusus wisatawan mancanegara.
Jika saja kita mau, tak sulit untuk mengubah perilaku masyarakat lokal terhadap para wisatawan. Hanya perlu penjelasan dan sosialisasi serta ajakan peran serta aktif yang terbina rapi, sistem standardisasi harga terkendali yang wajar, pembinaan kerajinan daerah lokal, pengembangan budaya lokal, bantuan bagi pemeliharaan fasilitas publik (wisata) dari pemerintah yang dikelola bersama penduduk setempat, perawatan lestari berkesimbambungan, dan membangun kesadaran bersama akan fungsi peruntukan lokasi wisata di daerahnya masing-masing.
Untuk mendongkrak devisa dari sektor pariwisata di Sumut memang perlu kerja keras. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dan dibenahi secepat dan seefektif mungkin. Amat disayangkan jika aset yang ada dan belum tergali sempurna itu tidak diiringi tindakan nyata untuk menggali, memperbaiki, menata ulang, dan rawatan lestari atas semua potensi yang ada. Padahal ia bisa menjadi sumber devisa dan meningkatkan pendapatan asli daerah selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Walaupun wisatawan yang mampir ke Sumut mungkin lebih banyak kaum backpaker (saat ini) dengan tingkat kemampuan belanja yang rendah, itu bukan berarti kita pesimis. Bukan tidak mungkin potensi dari wisatawan golongan ini justru menjadi suatu promosi yang baik di satu sisi. Tinggal bagaimana manajemen wisata Sumut bisa menjaring semua level wisatawan dan meningkatkan kepuasan level tertentu yang sudah "suka" ke Sumut.
Keaslian, eksotisme, kenyamanan dan kemanan di daerah wisata justru menjadi hal yang perlu diperhatikan dengan seksama. Mengingat potensi Sumut, masih ada peluang provinsi ini menjadi menjadi satu destinasi wisata dunia setara Safari Afrika atau Cruising Karibia misalnya. Dibutuhkan sebuah komitmen, tekad, dan tindakan nyata! Kita bisa jika kita mau!*
Penulis adalah pemerhati sosial, geografi dan lingkungan
Sumber: http://www.harian-global.com