Randai Kuantan Bertahan di Tengah Gempuran

Malam semakin larut ketika sayatan dawai biola memecah keheningan malam, disusul tabuhan gendang bertalu-talu, dan tiupan serunai. Gabungan tiga alat musik tersebut menghasilkan irama khas Melayu daratan.

Dua puluh lelaki yang pada mulanya duduk melingkar, beranjak berdiri dan mulai menghentakkan kaki ke bumi. Mereka berjoget bersama. Raut muka ceria dan gelak tawa menghiasi wajah mereka. Tak lama kemudian, satu per satu penonton memasuki panggung dan turut berjoget bersama.

Yah, itu merupakan salah satu bagian pembuka dari Randai Kuantan yang berasal dari Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, yang dipertontonkan di Taman Budaya Riau, Sabtu malam (27/3).

Selama ini Randai identik dengan seni tradisional Sumatra Barat, namun hal tersebut dipatahkan dengan adanya Randai Kuantan yang berasal dari Riau.

Randai tersebut sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, yang dipertontonkan pada acara pesta perkawinan, sunatan, kenduri kampung dan acara lainnya.

Berbeda dengan Randai Sumatra Barat yang lebih kompleks dalam penyampaian pesan dengan airmata, kebencian, kekerasan, maupun suka cita, randai Kuantan lebih komunikatif dan penuh dengan gelak tawa.

Pelakonnya pun mayoritas generasi muda sehingga kadang dikenal dengan randai "Bujang Gadi" atau lelaki dan perempuan muda. Sedangkan Randai Sumatera Barat umumnya dilakonkan oleh sesepuh atau tokoh masyarakat.

Menurut Hamsirman MS, pembina dari kelompok Randai Kuantan Pitunang Grup, Randai Kuantan membawakan cerita rakyat yang sudah disusun dengan dialog dan pantun logat Melayu Kuantan, disertai lagu-lagu Melayu Kuantan sebagai paningkah babak-babak cerita.

Biasanya pertunjukan ini dimulai pukul 20.00 WIB hingga menjelang subuh, dan dimainkan 40 orang. "Uniknya, dalam pertunjukan Randai Kuantan ini, tokoh wanita atau "gadi" dilakonkan oleh laki-laki yang berpakaian perempuan. Hal ini disebabkan keluar malam bagi perempuan Melayu adalah sesuatu yang tabu atau dilarang," ujar Hamsir.

Dikatakannya, selama pementasan, pelakon atau yang dikenal dengan sebutan ’Anak Randai’ membentuk lingkaran dan menari sambil mengelilingi lingkaran.

Hamsir mengatakan bahwa hal tersebut mempunyai makna yakni simbol persatuan dan kesatuan pemuda setempat. "Menonton pertunjukan randai ini sama seperti menyaksikan kehidupan kampung di Kuantan Singingi, seperti bermain di antara rimbunan kebun karet, gurauan dan sorak sorai," ujarnya.

Hamsir menambahkan, walaupun saat ini gempuran budaya asing tak henti-hentinya masuk ke Kuantan Singingi, namun Randai Kuantan tetap berada di hati masyarakat.

Hal itu antara lain terbukti dengan keberadaan 25 grup randai di kabupaten hasil pemekaran tersebut. Begitu juga dengan generasi muda yang merupakan generasi "Facebook", tetap mencintai randai. "Randai sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat, sampai kapan pun randai tidak akan pernah lepas dari tiap sendi kehidupan masyarakat Kuantan Singingi," kata Hamsir yang juga Kepala Seksi Pengembangan dan Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kuantan Singingi.

Kepala Taman Budaya Riau, OK Pulsiahmitra, mengakui Randai Kuantan memang tak sepopuler Randai Sumatra Barat, maupun Lenong dalam kesenian khas Betawi. Padahal, inti dari randai ini memberikan petuah pada masyarakat dengan cara yang lebih komunikatif.

Menurut dia, hal ini wajar mengingat gaungnya hanya ada di wilayah Riau. "Itu akan menjadi tugas kita ke depan untuk memperkenalkan budaya-budaya Melayu Riau ke pentas nasional. Tak hanya randai, tetapi juga masih ada budaya lainnya seperti Joget Pesisir maupun Zapin. Ke depan kita harapkan untuk dapat berkembang," kata OK Pulsiahmitra yang akrab disapa Ipul ini.

Fahrul Hidayat (30), salah seorang penonton yang ditemui Antara, mengatakan dirinya tetap mencintai randai.

Menonton randai, katanya, mengingatkan dirinya pada masa kecilnya di sebuah kampung di Kabupaten Singingi. "Saya jadi terkenang dengan masa kecil saya," katanya.
Menurut dia, walaupun dirinya merantau ke Pekanbaru, yang notabene masih berbudaya Melayu, namun ia tetap merindukan randai Kuantan, seni tradisional setempat yang tak lekang digempur budaya asing. (Indriani)

Sumber: http://oase.kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts