Topeng Monyet

Cerpen Tandi Skober
Dimuat di Pikiran Rakyat

SUDILAH kiranya pembaca maklumi bahwa saya ini memiliki profesi sebagai dalang topeng monyet. Berkat profesi ini, hidupku penuh berkah. Saya jadi terkenal, disebut The Real King, dan luar biasa. "Tandi, hebat!"

Kenapa saya disebut sebagai sosok yang hebat? Pertama, diriku ini selalu memainkan topeng monyet di sepanjang tahun, bertahun-tahun, terus-menerus, tak putus-putusnya. Kedua, lokasi plus sektor atraksi topeng monyetku bertebaran di semua ruang, di segala waktu, menclok dari abad-abad yang berlari liar. Sekali tempo, misalnya, di ruang-ruang peradilan, tetapi pada detik lain di ruang gedung parlemen, di kantor-kantor, mal, siskamling, lapangan terbang, terminal kereta api, hutan hantu, ladang cengkih, pabrik tebu, pabrik tepung terigu, rumah sakit, monumen-monumen dan lain-lain. Dan kapan saja di mana saja, saya ini selalu berteriak, "Hole, hole, hole...aku ini dalang topeng monyet."

Dapat ditambahkan bahwa monyetku ini ternyata mirip saya.

Aneh? Nggak juga, tuh. Lagi pula saya tidak malu melihat kunyukku serupa dan sama dengan diriku. Biarin, wong lagi in yang namanya manusia mirip binatang. Bangsat dan Bank Ciantury kan lagi top! Meski begitu, ada juga bedanya antara saya dan monyetku ini. Bila monyet punya ekor, maka saya suka mengekor di belakang petinggi negeri sembari sembah sungkem dan berkata, "Hal ini kepatutan yang layak dipedomani."

Itulah sebabnya saya dan monyetku sering saling pandang seraya saling-silang tanya, "Siapa sih yang sebenarnya layak disebut monyet?" Tak ada jawaban. Yang pasti, ujung dari tukar pandang itu, biasanya kami saling bertukar senyum, tepuk tangan "pok ame-ame belalang kupu-kupu", dan melepas tawa berkepanjangan.

Pada suatu malam, misalnya, saya telanjang bulat menjadi seekor monyet. Akan halnya di sudut kamar, kulihat monyetku menjadi diri saya. Ah, ternyata asyik juga jadi monyet. Leherku diberi tali komando dan monyetku memerintah begini dan begitu. Bahkan monyetku mengajak aku berdialog.

"Hak-huk, hak-huk, hak-huk," ucap monyet.

"Ham, ham, ham," balasku.

"Hum pim pah, wala jahum, ham-ham," ucap kami. Seusai itu, aku dan kunyuk tertawa terbahak-bahak. Sambil tertawa, monyetku itu kembali berhak-huk, hak-huk, yang artinya,"Tandi pergi ke pasar. Di pasar, beli segala aking. Hidup Indramayu! Hole, hole, hole..hole, hole. Tandi pergi ke Jakarta... "

Itu saya turuti. Saya nikmati dengan sepenuh hati. Juga amat membahagiakan saat kunyukku kembali memerintah, "Tandi pergi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Antasari divonis 18 tahun! Hole, hole, hole...hole, hole."

Maka beruntunglah diri hamba yang layak disebut sang topeng monyet, topeng manusia, topeng dari segala wajah-wajah bopeng. Saya tertawa riang setiap jerat-jerat nasib melingkari leherku, setiap kali saya telanjang bulat ditelanjangi realitas muram, setiap kali Caligula jadi gula-gula politik, setiap kali saya sadari bahwa saya dan monyet adalah realitas humanisme universial.

Disebabkan hal ini, kiranya pembaca memaklumi manakala dalam gempita girangku, saya panjat piramida republik dan berteriak, "Hidup topeng monyet!" Tak cuma itu. Juga selalu aku ciumi telapak kaki monyet hingga dari ujung jemarinya ada darah yang mengalir yang kelak menjadi anggur penyubur pembangunan.

Tentu saja alih eksitensi itu terjadi bila malam hari. Bila siang hari, di sektor-sektor atraksi, mustahil pula saya bugil menjadi topeng monyet. Bisa-bisa ini disebut gila bugil amenanging zaman yang tak nyaman. Lagi pula monyetku mengerti apa yang disebut fenomena posisional yang kondusif. Artinya, malam tak akan melampui siang dan kewarasan tak akan melibas kesintingan.

Sebenarnya soal topeng monyet ini tidak akan saya jadikan cerita pendek, tetapi masalahnya jadi lain ketika monyetku ini pada suatu malam ajukan rencana mogok atraksi.

"Tidak, Kang Tandi," ucapnya," Aku tak ingin jadi Topeng Monyet. Aku ingin jadi lurah, camat, bupati, gubernur, menteri bahkan presiden!"

"Ngaco kamu, Nyet. Ini mustahil!" ucap saya, "Kerbau lebih mutualistis simbolis ketimbang monyet."

"Mengapa tidak?" kilahnya," Inti dari demokratisasi adalah kerakyatan. Artinya seorang pemimpin berjiwa demokrat itu kudu memiliki komitmen kerakyatan. Yang bisa merakyat tentu saja sang kera alias monyet. Lagi pula orang tak pernah bilang kemanusiaan yang dipimpin oleh hikmah `kebijaksanaan`, tapi `kerakyatan` yang memimpin hikmah `kebijaksanaan`. Dus, kerakyatan bisa disebut kondusif substansional signifikan apabila semua pemimpin negeri berasal dari etnis monyet!"

Edan! Analisis monyetku ini jelas nyeleneh. "Kata dasar kerakyatan itu adalah rakyat! Bila diberi awalan /ke/ dan akhiran /an/ maka jadilah kerakyatan," ucapku.

"Salah itu!" teriak Monyet, "Kerakyatan adalah kera ya, Tan?"

"Ha,ha,ha."Aku tertawa, "Endasmu, Nyuk. Panjenengan itu gimana sih. Yang pasti, kau adalah topeng monyet dan aku adalah sang dalang. Ini realitas sosial. Saya tak bisa menerima hak-hakmu bahwa seorang elite negeri kudu berjiwa kera. Ini sulit aku mengerti."

"Tapi bisa kau rasakan," potong monyetku," Elite negeri bahkan juga pemimpin dan pengetua negeri, lihatlah mirip topeng monyet. Leher mereka dilingkari network, internet, sistem, ideologi, mimpi-mimpi, proyeksi projek, ikatan-ikatan sektarian. Apa artinya? Inilah jerat-jerat nasib primordial. Tali buhul yang melingkar-lingkar involutif di arena hiruk-pikuk global."

Saya diam. Saya tidak meyakini bahwa sebuah sistem budaya sistem politik bahkan juga ideologi adalah tali kendali antara sang dalang dan sang topeng monyet. Adalah tali komando yang membuat manusia membungkuk-bungkuk penuh hormat atawa cengar-cengir mirip topeng monyet.
**
GEDUNG parlemen suatu hari. Orang-orang tepuk tangan. Manusia memadati ruang, sementara matahari seperti mata waktu yang menyelinap di antara sorak-sorak histeria Indonesia yang cemas. Di sini, saya dan monyetku akan bikin atraksi. Akan tetapi, atraksi kali ini tidak seperti biasanya. Monyetku meminta agar diriku yang menjadi topeng monyet, sementara monyetku menjadi dalang pemegang tali komando alias juru perintah.

Pinta monyet itu saya setuju. Saya bugil. Saya pasrah ketika leherku dilingkari tali takdir. Sementara monyet tolak pinggang seraya sesekali menabuh gendang kecil, "Bandung bampak, Bandung bampak, plak, plak, plak." Suara ini ditimpali suara hentakan kaki di atas kecrek tua, "Crek, crek, crek." Tak pelak bebunyian pun jadi penuh nuansa kreatif, "Bandung bampak, crek, crek, crek. Bandung bampak, crek, crek, crek."

Orang-orang girang. "Hole,hole,hole." Monyetku sumringah, bugilku menggeliat-geliat. Gendang pun ditabuh bertalu-talu, kecrek dihentak berkecrek-kecrek. Dan ada suara senggak alias koor di antara desah resah rakyat, kecrek, dan gendang, "U lili wa lili wa u waing."

Monyetku kini memerintah, "Hak-huk, hak-huk, ham, ham, ham."

"Saya turuti perintahnya. Kuambil bedil, kutembak langit. Dor, dor,dor! Orang-orang girang, "Hole, hole, hole...hole, hole."

Monyetku berkata, "Hak-huk, hak-huk, ham, ham, ham."

Saya setubuhi sejarah hingga berdarah dan lahirlah anak-anak haram jadah berbau harum. Orang-orang garang, "Hole, hole, hole."

Monyetku terus unjuk perintah, begini dan begitu. Dan histeria massa kian berkeringat. Suara gendang tetap bertalu-talu, dibarengi genderang, terompet, petasan, dan ingar-bingar tangis yang diakses menjadi suara tawa terbahak-bahak.

Atraksi topeng monyet ini kian beringas. Hingga di puncak ekstase atraksi, saya sempoyongan. Bugilku menggigil. Saya tertatih-tatih di antara perintah monyet dan kecemasan purba yang gagap. Akan tetapi, saya berusaha agar tetap mengorbit pada komitmen nasionalisme mensturasi. Saya satukan integritas jagad gede dan jagad cilik. Celakanya, saya gagal. Kekalahan kian melelahkan. Letihku tertatih-tatih. Hingga saya ambruk di tengah hiruk-pikuk pesta emas itu.

Kini monyetku mendekat dan berbisik, "Hak-huk, hak-huk, ham, ham." Suara ini mengingatkan suara yang rapuh di lorong pembingungan-pembingungan. Entah suara siapa. Bisa jadi suara saya dari ruang awang-uwung, atau suara dari pengembaraan asketisme. Itu tak penting. Yang pasti ada dealektika tentang substansi kemanusiaan bersifat otonom eksistensional. Adalah manusia layak disebut manusia saat ia memiliki otoritas humanisme universal yang tidak terkotak-kotak panggung sektarian maupun geografi nasionalisme. Sebab, manusia bukan sejenis monyet yang jati dirinya dijerat tali komando. Sebab, manusia bukan seekor kunyuk yang menari, menyanyi, memobilisasi atas perintah sang dalang.

Suara itu mungkin benar. Akan tetapi, kadang rakyat tak lebih baik dari sekumpulan topeng monyet. Lihatlah tak cuma jasadi yang dilingkari tali komando, juga ruang pikir pun kudu diparkir pada otoritas pemikiran penguasa. Maka apa sih bedanya antara kera dengan kerakyatan yang dikomandoi depolitisasi?

Sumber: http://www.sriti.com
-

Arsip Blog

Recent Posts