Tidore - Sultan Tidore ke-36, Djafar Sjah, mulai tinggal di kadaton—di Jawa disebut keraton—setelah bangunan itu tuntas dibangun pada Maret 2010 di Kota Tidore, Maluku Utara. Ini sejarah baru bagi Kesultanan Tidore karena hampir seabad lamanya Tidore tidak memiliki kadaton.
Sultan Tidore Djafar Sjah, Minggu (28/3), mengatakan, pembangunan kadaton baru mulai dilakukan tahun 1997 oleh pemerintah. Karena alokasi dana setiap tahun terbatas, pembangunannya bertahap dan baru selesai pertengahan Maret 2010.
”Bangunan kadaton dibuat mirip dengan bangunan kadaton yang asli dengan melihat foto yang pernah dibuat Belanda saat masih menjajah dan bukti-bukti sejarah lain,” katanya.
Setelah kadaton tuntas dibangun, Sultan dan pemangku adat Kesultanan Tidore, 17 Maret lalu, menggelar ritual sodoro mahkota, yaitu memindahkan mahkota sultan ke kadaton. Sebelumnya, mahkota disimpan di museum di Tidore.
”Sultan dan mahkotanya adalah dua kekuatan yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu, keduanya harus berada di tempat yang sebenarnya, yaitu di kadaton,” kata pemerhati sejarah Kesultanan Tidore, Lahman Saleh.
Bangunan kadaton sebelumnya adalah bangunan yang mulai dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muttahiddin Muhammad (1811-1831) tahun 1812. Dibutuhkan waktu sekitar 50 tahun untuk menuntaskan pembangunan kadaton yang kemudian diberi nama Kadato Kie ini, atau sekitar tahun 1861.
Pasca-Sultan Muttahiddin, pembangunan dilanjutkan dua sultan penerusnya, yaitu Sultan Ahmadul Mansyur Chalifahtullah al Mansyur Sirajuddin (1831-1856) dan Sultan Ahmad Syaifuddin (1856-1865).
Adapun sultan terakhir yang menempati kadaton adalah Sultan Ahmad Qawiuddin Syahdjuan (1894-1905). Pasca-Sultan Syahdjuan terjadi perebutan kekuasaan antar-anak keturunan Sultan selama tujuh tahun. Kondisi ini dimanfaatkan penjajah Belanda dengan mengangkat langsung seorang sultan.
Perdana Menteri Kesultanan Tidore Nau Tjenge yang memegang pemerintahan pada waktu itu langsung menghancurkan kadaton sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan penjajah Belanda.
Bayar petugas kadaton
Dalam ritual sodoro mahkota, sultan tidak diperkenankan meninggalkan kadaton selama 44 hari. Setiap Minggu malam dan Rabu malam, sultan harus berzikir di kamar puji, tempat mahkota disimpan di kadaton.
Lahman Saleh menambahkan, adanya kadaton serta kembalinya sultan dan mahkota ke kadaton menjadi momentum kebangkitan Kesultanan Tidore. ”Upacara adat dan tradisi lain yang sudah lama tidak ada harus diupayakan untuk dimunculkan lagi agar warga mengenal warisan leluhur mereka dan nilai-nilai positif dari setiap tradisi,” ujarnya.
Djafar Sjah mengatakan, hal itu bisa terlaksana bila ada dukungan dana dari pemerintah. ”Saat ini saja kami masih bingung bagaimana mempekerjakan petugas-petugas di kadaton karena belum ada dana yang dialokasikan,” katanya. (APA)
Sumber: http://cetak.kompas.com
Sultan Tidore Djafar Sjah, Minggu (28/3), mengatakan, pembangunan kadaton baru mulai dilakukan tahun 1997 oleh pemerintah. Karena alokasi dana setiap tahun terbatas, pembangunannya bertahap dan baru selesai pertengahan Maret 2010.
”Bangunan kadaton dibuat mirip dengan bangunan kadaton yang asli dengan melihat foto yang pernah dibuat Belanda saat masih menjajah dan bukti-bukti sejarah lain,” katanya.
Setelah kadaton tuntas dibangun, Sultan dan pemangku adat Kesultanan Tidore, 17 Maret lalu, menggelar ritual sodoro mahkota, yaitu memindahkan mahkota sultan ke kadaton. Sebelumnya, mahkota disimpan di museum di Tidore.
”Sultan dan mahkotanya adalah dua kekuatan yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu, keduanya harus berada di tempat yang sebenarnya, yaitu di kadaton,” kata pemerhati sejarah Kesultanan Tidore, Lahman Saleh.
Bangunan kadaton sebelumnya adalah bangunan yang mulai dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muttahiddin Muhammad (1811-1831) tahun 1812. Dibutuhkan waktu sekitar 50 tahun untuk menuntaskan pembangunan kadaton yang kemudian diberi nama Kadato Kie ini, atau sekitar tahun 1861.
Pasca-Sultan Muttahiddin, pembangunan dilanjutkan dua sultan penerusnya, yaitu Sultan Ahmadul Mansyur Chalifahtullah al Mansyur Sirajuddin (1831-1856) dan Sultan Ahmad Syaifuddin (1856-1865).
Adapun sultan terakhir yang menempati kadaton adalah Sultan Ahmad Qawiuddin Syahdjuan (1894-1905). Pasca-Sultan Syahdjuan terjadi perebutan kekuasaan antar-anak keturunan Sultan selama tujuh tahun. Kondisi ini dimanfaatkan penjajah Belanda dengan mengangkat langsung seorang sultan.
Perdana Menteri Kesultanan Tidore Nau Tjenge yang memegang pemerintahan pada waktu itu langsung menghancurkan kadaton sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan penjajah Belanda.
Bayar petugas kadaton
Dalam ritual sodoro mahkota, sultan tidak diperkenankan meninggalkan kadaton selama 44 hari. Setiap Minggu malam dan Rabu malam, sultan harus berzikir di kamar puji, tempat mahkota disimpan di kadaton.
Lahman Saleh menambahkan, adanya kadaton serta kembalinya sultan dan mahkota ke kadaton menjadi momentum kebangkitan Kesultanan Tidore. ”Upacara adat dan tradisi lain yang sudah lama tidak ada harus diupayakan untuk dimunculkan lagi agar warga mengenal warisan leluhur mereka dan nilai-nilai positif dari setiap tradisi,” ujarnya.
Djafar Sjah mengatakan, hal itu bisa terlaksana bila ada dukungan dana dari pemerintah. ”Saat ini saja kami masih bingung bagaimana mempekerjakan petugas-petugas di kadaton karena belum ada dana yang dialokasikan,” katanya. (APA)
Sumber: http://cetak.kompas.com