Lamporan, Festival Budaya yang Sempat Redup

Pati, Jateng - Ada yang berbeda dari Dukuh Sumber Desa Soneyan, Kecamatan Margoyoso, Kamis (5/11) malam. Hampir semua warga setempat keluar rumah. Keceriaan tampak terpancar dari raut wajah mereka, mulai anakanak, remaja, hingga orang tua. Malam itu memang berasa spesial bagi mereka.

Sejumlah warga menyebut, keramaian di bulan Sura dalam penanggalan Jawa yang akrab disebut lamporan ini mirip perayaan malam takbiran Hari Raya Idul Fitri. Warga berjejer di pinggir jalan untuk menyambut kirab yang dipimpin tetua desa setempat. Pimpinan wilayah diiring berbagai kelompok dengan kostum dan performa beragam.

Mereka merupakan representasi dari masing-masing rukun tetangga (RT). Rombongan arak-arakan yang menyusuri jalan kampung sepanjang empat kilometer diiringi pula dengan replika aneka hewan. Ada pula yang berwujud tokoh animasi dan fiksi. Sebagai festival budaya yang rutin digelar setiap tahun, setiap kontingen RT tampak berupaya menyuguhkan penampilan unik. Sebagian mengenakan pakaian khas Jawa seperti kebaya, beskap, dan baju berciri petani.

Bahkan ada satu kontingen yang melengkapi timnya dengan mainan tradisional othok-othok. Tampak pula kontingan yang menampilkan kesenian reog dan barongsai. Pada bagian lain, warga disuguhi kontingen berkostum di luar adat Jawa.

Di antaranya, berkostum layaknya masyarakat Dayak, badut, hingga dandanan nyentrik dan bertelanjang dada. “Kostum, dandanan, dan penampilan setiap RT sesuai kreativitas mereka, tidak ada pembatasan. Intinya kami mengajak semua warga Sumber untuk mangayubagyo,” ujar ketua panitia Lamporan Agus Sugiarto.

Menurutnya, lamporan merupakan tradisi tasyakuran dan doa bersama atas hasil dari aneka peternakan hewan. Mayoritas warga setempat merupakan peternak sapi dan kambing. Hampir setiap rumah memiliki hewan peliharaan tersebut sebagai usaha utama maupun sampingan.

Kemasan Berbeda

Tradisi lamporan telah berlangsung sejak lama. Namun sempat mandek beberapa tahun sebelum akhirnya kembali diadakan lagi pada 1997. Lamporan selalu digelar pada bulan Syuro. Malam Jumat Wage dipilih sebagai waktu penyelenggaraan. “Ini bukan semacam ritual tolak balak.

Tetapi sebagai media doa bersama dan tasyakuran warga serta melestarikan budaya. Tentang waktunya di bulan Syuro karena memang sudah tradisi sejak lama,” tandasnya. Hanya, menurut Agus kemasan dari waktu ke waktu agak berbeda.

Tetapi simbol tradisi lamporan, yang diambil dari kata lampu (penerang) masih terjaga. “Untuk arak-arakan oncor masih dipertahankan, meskipun banyak yang telah menggantikannya dengan lampu warna warni yang dihiaskan pada replika binatang. Termasuk berdoa bersama dan bancaan di tengah perempatan,” lanjutnya.

-

Arsip Blog

Recent Posts