Ketika Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dipancangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan program dan prioritas utamanya adalah penegakan supremasi hukum dan HAM, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), banyak harapan baru yang ditumpuhkan masyarakat Indonesia kepada pemerintahan SBY kala itu. Mereka yang optimis maupun pesimis saling menanti harap, akankah bangsa ini berubah dan merubah diri kearah yang jauh lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Keterpurukan bangsa ini dimata dunia oleh berbagai persoalan hukum dan HAM yang terjadi selama ini, disamping banyaknya kasus-kasus korupsi yang tidak pernah tuntas terselesaikan, bahkan banyak kasus korupsi yang tak bertuan, artinya ada kasus, tapi pelakunya tidak pernah tersentuh oleh hukum. Kasus-kasus inilah yang membuat orang tidak percaya akan hukum di Indonesia, yang akhirnya menjerat dan membenamkan bangsa ini kedalam lembah keterpurukan yang dalam, bahkan memaksa bangsa ini untuk menyandang predikat salah satu negara terkorup didunia.
Pemberitaan Media massa yang terangkum pada kajian kali ini adalah menyoroti permasalahan pelanggaran hukum yang santer diberitakan belakangan ini, yakni kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh guru besar Fakultas Hukum Unhas, serta para pejabat tinggi didaerah ini yang juga tersandung oleh kasus korupsi.
Seperti diketahui, Anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) RI – Timur Leste ini didudukkan sebagai terdakwa bersama Alimuddin Karim, terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada program Pasca Sarjana (S2) Non Reguler Fakultas Hukum Unhas periode 1999 sampai 2001, serta penyalahgunaan dana penerimaan uang muka kerja (UMK) yang bersumber dari program S1 reguler, S1 Ekstensi dan S2 Reguler yang digunakan untuk biaya perjalanan dinas (SPPD) sebesar Rp 336.395.600.
Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Sulsel, Abdul Taufieq membeberkan modus operandi kasus ini, dimana pada bulan Januari hingga 16 Agustus 1999, tersangka mengeluarkan Uanag Muka Kerja (UMK) dengan cara membuat Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif, membuat Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) untuk pembiayaan rangkap diluar peruntukannya dan SPPD yang telah dibiayai tapi tidak dipertanggung jawabkan senilai Rp 39.395.600. Modus operandi yang sama masih terjadi pada anggaran perjalanan dinas tahun 1999-2002 dari UMK S1 reguler dan program ekstensi FH Unhas (17 Agustus 1999 hingga 31 Januari 2002) dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 224.329.160. Dugaan korupsi juga terjadi pada anggaran perjalanan dinas, belanja barang, belanja inventaris dan belanja lain-lain dari UMK pada S2 Hukum Kepolisian Tahun Ajaran 2001, dimana tersangka diduga menyalahgunakan UMK tersebut yang dinilai bukan merupakan kewenangannya, dan membuat pertanggungjawaban UMK fiktif sebesar Rp 72.064.600. Dengan temuan-temuan ini, total kerugian negara diduga mencapai sekitar Rp 336.395.600, ujar Taufieq. Namun penasehat hukum Achmad Ali membantah kerugian tersebut dan mengatakan bahwa dugaan korupsi dalam kasus ini hanya sekitar Rp 39 juta.
Kasus ini menjadi perhatian publik dikarenakan Prof. Dr. Achmad Ali SH. MH, selain Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, beliau juga adalah pencetus istilah `Sapu Kotor` yang digunakan dalam memberantas korupsi, dimana beliau sangat memperhatikan dan menyoroti masalah korupsi yang semakin menjamur dimasyarakat.
Berdasarkan hasil analisis isi seputar Dugaan Korupsi Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Program Pasca Sarjana (S2) Non Reguler Fakultas Hukum Unhas, yang melibatkan Prof. Dr. Achmad Ali SH. MH, serta banyaknya kasus-kasus korupsi di Sulawesi Selatan yang sedang dan akan diproses oleh Pengadilan Negeri, dapat diketahui bahwa pers telah menjalankan fungsinya sebagai media informasi dan melakukan kontrol sosial, dalam pemenuhan hak masyarakat untuk mengetahui (Right to know), menegakkan nilai-nilai demokrasi, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, melakukan pengawasan, kritik dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pendapat umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Hasil identifikasi isi pemberitaan isi surat kabar SKH Fajar menunjukkan bahwa Dugaan Korupsi Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Program Pasca Sarjana (S2) Non Reguler Fakultas Hukum Unhas, serta maraknya kasus-kasus korupsi yang terjadi di Sulsel ternyata banyak mendapat perhatian dan tanggapan dari kalangan masyarakat luas.
Sumber : http://bppimakassar.web.id 13 September 2007