Jakarta - Produk pertanian hasil rekayasa genetika (bioteknologi) asal China akan menjadi ancaman besar bagi pertanian Indonesia pasca pemberlakukan perjanjian perdagangan bebas Asean-China (CAFTA) awal 2010.
Ketua Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia (PBPI) Bambang Purwantara di Jakarta, Selasa mengatakan, pada November 2009 China telah mengeluarkan sertifikat keamanan hayati (biosafety) untuk padi biotek tahan hama dan jagung biotek pitase.
Menurut dia, padi merupakan tanaman pangan paling petning secara global karena memberi makan setengah dari seluruh umat manusia, sementara jagung adalah tanaman pakan ternak paling penting di dunia.
"Setelah adanya perdagangan bebas Asean-China produk bioteknologi China akan mudah masuk ke Indonesia, itu merupakan ancaman besar bagi pertanian Indonesia," katanya pada seminar bioteknologi tersebut.
Bambang mengatakan, China hanya salah satu dari 16 negera berkembang yang menanam tanaman biotek pada tahun 2009, di sisi lain pertumbuhan areal tanaman tersebut meningkat 13 persen atau 7 juta ha lebih tinggi dibanding di negara-negara maju yang hanya 3 persen atau 2 juta ha.
"Sebagai hasilnya hampir setengah atau 46 persen dari luasan global tanaman biotek ditanam di negara-negara berkembang dan dilakukan oleh sekitar 15 juta petani kecil," katanya.
Sementara itu Ketua Internasional Service for The Acquisition of Agri-biotech Application (ISAAA) Clive James mengatakan, ke depan Indonesia bersama Vietnam, Bangladesh dan Paksitan akan menjadi negara baru yang mengadopasi bioteknologi secara besar.
"Saat ini Pakistan sudah melakukan adopsi pengembangan bioteknologi pertanian tersebut," katanya.
Untuk melakukan adopsi pengembangan tanaman bioteknologi, menurut dia, tidak harus melakukan penemuan teknologi baru yang sudah ditemukan di laboratorium-laboratorium luar negeri.
Menurut dia, yang perlu dilakukan pemerintah yakni investasi sumberdaya manusia dan teknologi serta penguatan kapasitas kelembagaan.
Sementara itu menanggapi penilaian pemerintah terkesan lamban dalam mengembangkan bioteknologi di Indonesia, Tenaga Ahli Menteri Pertanian Eri Sofiari menyatakan, pemerintah tidak pernah menghambat hal itu.
Dikatakannya, setelah ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tanaman transgenik atau bioteknologi maka pemerintah melakukan pendekatan kehati-hatian.
"Produk ini harus aman baik untuk produsen maupun konsumen sehingga pemerintah harus melindungi semua pihak," katanya.
Eri yang juga tenaga peneliti pada Badan Litbang Pertanian itu menegaskan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian tidak anti terhadap pengembangan bioteknologi apalagi hal itu terkait dengan ketahanan pangan nasional.
"Kalau sudah ada manfaat untuk petani dan untuk ketahanan pangan kita terbuka tapi harus mengikuti aturan main," katanya. Menurut Bambang Purwanta, pembentukan Komisi Keamanan Hayati dan Keamaman Pangan sebagai amanat PP no 21/2005 perlu segera direalisasikan.
"Komisi yang aman menentukan `merah-hijaunya` aplikasi bioteknologi di Indonesia perlu dibentuk apabila kita tidak ingin menjadi tuan yang terasing di negeri sendiri," katanya.
Dampak implentasi CAFTA, lanjut Direktur SEAMEO BIOTROP itu akan dirasakan Indonesaia karena China telah menempatkan bioteknologi pertanian sebagai ikon baru dalam sistem perdagangan teknologi.(Ant/R009)
Sumber: http://www.antaranews.com
Ketua Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia (PBPI) Bambang Purwantara di Jakarta, Selasa mengatakan, pada November 2009 China telah mengeluarkan sertifikat keamanan hayati (biosafety) untuk padi biotek tahan hama dan jagung biotek pitase.
Menurut dia, padi merupakan tanaman pangan paling petning secara global karena memberi makan setengah dari seluruh umat manusia, sementara jagung adalah tanaman pakan ternak paling penting di dunia.
"Setelah adanya perdagangan bebas Asean-China produk bioteknologi China akan mudah masuk ke Indonesia, itu merupakan ancaman besar bagi pertanian Indonesia," katanya pada seminar bioteknologi tersebut.
Bambang mengatakan, China hanya salah satu dari 16 negera berkembang yang menanam tanaman biotek pada tahun 2009, di sisi lain pertumbuhan areal tanaman tersebut meningkat 13 persen atau 7 juta ha lebih tinggi dibanding di negara-negara maju yang hanya 3 persen atau 2 juta ha.
"Sebagai hasilnya hampir setengah atau 46 persen dari luasan global tanaman biotek ditanam di negara-negara berkembang dan dilakukan oleh sekitar 15 juta petani kecil," katanya.
Sementara itu Ketua Internasional Service for The Acquisition of Agri-biotech Application (ISAAA) Clive James mengatakan, ke depan Indonesia bersama Vietnam, Bangladesh dan Paksitan akan menjadi negara baru yang mengadopasi bioteknologi secara besar.
"Saat ini Pakistan sudah melakukan adopsi pengembangan bioteknologi pertanian tersebut," katanya.
Untuk melakukan adopsi pengembangan tanaman bioteknologi, menurut dia, tidak harus melakukan penemuan teknologi baru yang sudah ditemukan di laboratorium-laboratorium luar negeri.
Menurut dia, yang perlu dilakukan pemerintah yakni investasi sumberdaya manusia dan teknologi serta penguatan kapasitas kelembagaan.
Sementara itu menanggapi penilaian pemerintah terkesan lamban dalam mengembangkan bioteknologi di Indonesia, Tenaga Ahli Menteri Pertanian Eri Sofiari menyatakan, pemerintah tidak pernah menghambat hal itu.
Dikatakannya, setelah ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tanaman transgenik atau bioteknologi maka pemerintah melakukan pendekatan kehati-hatian.
"Produk ini harus aman baik untuk produsen maupun konsumen sehingga pemerintah harus melindungi semua pihak," katanya.
Eri yang juga tenaga peneliti pada Badan Litbang Pertanian itu menegaskan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian tidak anti terhadap pengembangan bioteknologi apalagi hal itu terkait dengan ketahanan pangan nasional.
"Kalau sudah ada manfaat untuk petani dan untuk ketahanan pangan kita terbuka tapi harus mengikuti aturan main," katanya. Menurut Bambang Purwanta, pembentukan Komisi Keamanan Hayati dan Keamaman Pangan sebagai amanat PP no 21/2005 perlu segera direalisasikan.
"Komisi yang aman menentukan `merah-hijaunya` aplikasi bioteknologi di Indonesia perlu dibentuk apabila kita tidak ingin menjadi tuan yang terasing di negeri sendiri," katanya.
Dampak implentasi CAFTA, lanjut Direktur SEAMEO BIOTROP itu akan dirasakan Indonesaia karena China telah menempatkan bioteknologi pertanian sebagai ikon baru dalam sistem perdagangan teknologi.(Ant/R009)
Sumber: http://www.antaranews.com