Ibnu Subiyanto dua kali menjabat Bupati Sleman (2000-2010). Namun, kini statusnya sebagai Bupati Sleman nonaktif karena ia berstatus terdakwa kasus korupsi pengadaan buku ajar Sleman di Pengadilan Negeri Sleman sejak 4 Juli lalu. Pria kelahiran Yogyakarta, 3 Maret 1950, ini seorang bupati yang populer. Bahkan kebanyakan pejabat di Kabupaten Sleman masih mendukungnya.
Jaksa menuduh Ibnu menunjuk langsung PT Balai Pustaka mengadakan buku pelajaran 2004-2005. Melalui audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), proyek itu diketahui mengalami penggelembungan pembiayaan sebesar Rp 12 miliar. Proyek pengadaan buku untuk siswa SD hingga SMA di Kabupaten Sleman senilai Rp 29 miliar itu dianggap melanggar karena melalui mekanisme penunjukan langsung.
Dalam proses persidangan, ia dilarikan ke RSUP Dr Sardjito akibat gangguan jantung. Namun, setelah dokter menyatakan kesehatannya pulih dan sempat mengikuti lagi persidangan di Pengadilan Negeri Sleman, Ibnu kembali dibawa ke rumah sakit. Kali ini masalah batu ginjal berukuran 1,5 x 2 sentimeter. Batu ginjal itu diambil melalui operasi laser di rumah sakit bedah An-Nuur, Yogyakarta, Senin lalu.
Tempo menemui Ibnu Subiyanto di LP Cebongan dua pekan lalu dan dua kesempatan di RS Sardjito sebelum dilakukan operasi pengambilan batu ginjal. Inilah pertama kalinya Ibnu menjelaskan panjang lebar soal kasus ini kepada pers. Berikut ini petikan wawancara dengan Ibnu Subiyanto. Ia menolak wawancara direkam.
Mengapa Anda harus menyelenggarakan pengadaan buku ajar di Sleman? Kan biasanya sangat berisiko?
Ini soal idealisme. Buku ajar itu salah satu dari pilar kualitas suatu sekolah. Pilar lainnya adalah kecukupan sarana dan prasarana dan guru ajar yang mencukupi baik mutu maupun jumlahnya. Bagi saya, buku ajar harus dipilih oleh Dewan Pendidikan Daerah bersama Dinas Pendidikan karena mereka harus memutuskan buku ajar yang memang terbaik, bukan menyerahkan kepada mekanisme pasar.
Saya tidak pernah mencampuri buku ajar apa saja yang akan dipakai. Yang penting, jika mereka sudah memutuskan dengan baik dan tepat, pasti saya dukung. Dalam kenyataan, memang semua keputusan yang saya buat selalu memperhatikan usulan dari bawah dan tentu dalam tempo yang singkat pula. Semua proses keputusan tidak pernah dicampuri pihak lain.
Anda dituduh melakukan penunjukan langsung pengadaan buku itu. Sebenarnya siapa yang memberikan perintah penunjukan langsung ini?
Saya tidak pernah mengeluarkan keputusan penunjukan langsung. Yang benar adalah Kepala Dinas Pendidikan mengeluarkan SK Penunjukan Langsung Nomor 195/KPTS-PKSLMN/IV/04 tanggal 6 Mei 2004. Surat ini memang tidak diungkap dalam sidang terdahulu. Selanjutnya, kepala dinas membuat perikatan Kontrak dengan PT Balai Pustaka dengan nomor 425.2/886 tertanggal 10 Mei 2004. Artinya, saya sebagai bupati tidak pernah mengeluarkan SK Penunjukan Langsung.
Mengapa akhirnya Bupati harus mengeluarkan izin ke Dinas Pendidikan?
Setahu saya, Dinas mengajukan permohonan karena hanya punya anggaran Rp 10 miliar, padahal mereka butuh dana sebesar Rp 30 miliar. Artinya, kepala dinas tak bisa tanda tangani kontrak dengan PT Balai Pustaka maupun Surat Keputusan penunjukan langsung oleh Dinas. Karena itu, meminta izin dulu ke Bupati. Memang prosedur penganggaran harus seperti itu karena diatur dalam Pasal 17 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara maupun Pasal 9 ayat 4 Keputusan Presideh Nomor 80 Tahun 2003. Lalu salah saya di mana?
Bisa Anda jelaskan mengapa mengeluarkan cash bon? Bukankah ini melanggar aturan?
Setahu saya semua yang saya putuskan selalu ada dasar aturannya. Tak mungkinlah saya memutuskan sesuatu yang tidak ada dasar hukumnya. Pasal 12 dan 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 mengatur basis akrual sebagaimana diatur Pasal 70 ayat 2 undang-undang tersebut. Basis akrual inilah yang mengatur ketentuan terkait dengan istilah teknis akuntansi cash bon tersebut. Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Sleman sudah menerapkan basis akrual sejak 2003, yang artinya tidak ada aturan hukum yang dilanggar.
Berapa besarnya cash bon yang dicairkan?
Total sebesar Rp 12 miliar karena memang sudah harus dibayar, yang pada saat itu Kepala Dinas Pendidikan dalam keadaan sakit. Jumlah itu memang sudah dianggarkan untuk pembayaran ke PT BP untuk tahun anggaran 2005 dan sudah pula dikeluarkan SKO atas mata anggaran itu. Jadi persoalannya adalah bagaimana mengambil keputusan saat itu karena ada hambatan seorang pejabat yang sakit, bukan karena alasan lain-lain.
Cash bon itu sudah dikembalikan?
Sudah dikembalikan ke APBD. Jadi apakah saya mengambil uang itu? Apa negara dirugikan?
Mengapa Anda memilih PT Balai Pustaka untuk menerbitkan buku itu? Padahal di Yogyakarta begitu banyak penerbitan?
PT Balai Pustaka itu bukan pilihan saya. Tapi pilihan buku ajar saya serahkan ke Dinas dan Dewan Pendidikan karena saya tidak mungkin memutuskan pilihan buku ajar. Ada beberapa alasan yang tidak bisa saya sebut di sini. Yang jelas memahami keinginan anak buah saya yang memilih Balai Pustaka.
Anda kenal dengan Murod Irawan, Direktur Utama Putra Insan Pramudita (PIP) yang juga Direktur Pemasaran PT Balai Pustaka wilayah Jawa Tengah-DIY, yang hingga saat ini masih buron?
Tidak kenal.
Ada hubungan dengan PT PIP?
Kami tidak berhubungan dengan PT PIP. MoU Kabupaten Sleman hanya antara PT Balai Pustaka.
Anda yakin akan bebas?
Kita lihat saja nanti.
Ada tuduhan Anda menerima sejumlah uang dari pengadaan buku ini? Komentar Anda?
Sama sekali tidak benar. Tidak ada aliran dana ke diri saya maupun keluarga saya secara langsung atau tidak langsung.
Ada sebagian orang menganggap sakitnya Anda pura-pura. Komentar Anda?
Pada 2004, saya check up ke Mount Singapore, diperiksa oleh Dr Raymond Wujanto. Dari hasil pemeriksaan itu ditemukan right abdominal colic, batu ginjal. Batu ginjal itu tidak saya ambil. Sekarang sudah membesar, ya, harus diambil atau dihancurkan karena ukurannya 1,5 x 2 sentimeter. Saya belum tahu teknik yang akan digunakan para dokter RS Sarjito untuk mengatasi masalah itu (sebelum dioperasi). Yang jelas pinggang selalu sakit bila digunakan untuk duduk dalam waktu yang lama. Bila menahan tidak buang air seni, badan menjadi lemas karena setiap jam harus kencing. Karena perlengkapan laser yang canggih hanya ada di RS An-Nuur, operasi pengambilan batu ginjal dilakukan di sana oleh dr Danarko. Jadi untuk apa saya pura-pura sakit.
Mengapa terkesan Anda sangat menutup diri terhadap media massa?
Dalam pleidoi, saya akan memberikan keterangan selengkap-lengkapnya.
(Bernada Rurit)
Sumber : Koran Tempo, Rabu, 09 September 2009