Bekantan atau yang dikenal dengan monyet belalai merah (Nasalis larvatus) yang hidup di Balikpapan dan Penajam Paser Utara (PPU) kini berjumlah sekitar 1.400 ekor. Jumlah yang menjadikan Kaltim menjadi satu dari lima populasi terbesar di dunia.
Akbar Ciptanto, Jakarta
BAGI kalangan ilmuan dan konservasionis, jumlah ini membuat Kaltim menjadi satu dari lima lokasi dengan jumlah primata yang terbanyak di dunia. Sayangnya, tanpa upaya penyelamatan yang maksimal, primata ini bisa musnah dalam 14 tahun mendatang.
Stanislav Lhota, ilmuan dari Departemen Zoologi, Universitas South Bohemia Republik Chechnya, sejak tahun 2006 menjadikan bekantan sebagai subjek penelitian. Hasil surveinya menunjukkan, populasi bekantan di teluk Balikpapan berjumlah sekitar 1400 ekor, 400 ekor terdapat di Balikppan dan 1.000 ekor di kabupaten PPU.
“Binatang ini hanya ditemukan di Kalimantan, Sabah, Sarawak, dan Brunei Darussalam. Biasanya mereka mendiami pantai dan hutan tepi sungai. Padahal hutan jenis ini cepat terdegradasi. Karena daerah pesisir dan sungai menjadi tujuan utama untuk dihuni,” ungkap Stanislav Lhota saat berhubungan dengan media ini melalui media email dan chating.
Berbeda dengan primata lain, bekantan tidak bisa hidup di hutan Dipterocarpaceae yang masih mudah ditemukan di pedalaman Kalimantan. Ini menyebabkan primata unik ini tidak memiliki kesempatan melarikan diri dari hutan konversi ketika terjadi kerusakan hutan mangrove maupun kawasan pesisir.
Karena itu, spesies ini diklasifikasikan terancam punah oleh IUCN (World Conservation Union). Data yang dimiliki organisasi ini, diperkirakan jumlah primata berhidung besar dan berwarna merah ini sekitar 25.000 ekor. Ini berarti bekantan yang ditemukan di Teluk Balikpapan mewakili 5 persen dari jumlah spesies ini di dunia. Populasi ini tentu sangat berharga dan penting di dunia internasional.
Tetapi berdasarkan analisa populasi dan viabilitas habitat (Population and Habitat Viability Analysis/PHVA) dengan menggunakan program komputer VORTEX menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan. Jika tidak ada perlindungan yang dilakukan, maka jumlah bekantan di Teluk Balikpapan akan punah dalam 14 tahun ke depan.
Alasan utama punahnya populasi ini adalah degradasi hutan yang tinggi sebagai habitat mereka tinggal. Apalagi semua bekantan di teluk Balikpapan mendiami kawasan pesisir tanpa perlindungan hutan mangrove yang baik. Kondisi terakhir, hutan bakau menghilang dengan cepat akibat penangkapan udang dan ikan bandeng secara ilegal, produksi arang, pertambangan batu bara, dan industri di kawasan pesisir. Bahkan ancaman yang sangat serius saat ini adalah hilangnya lahan kering di sekitar kawasan hutan bakau.
Padahal wilayah daratan di sekitar kawasan hutan bakau sangat penting, karena bekantan menemukan makanannya kawasan tersebut. Bekantan memakan daun muda yang diperoleh di hutan bakau, sedangkan buah-buahan dan biji diperoleh dari hutan jenis lainnya di luar hutan mangrove.
“Meski hutan bakau dijaga, sedangkan hutan dinluar kawasan mangrove menghilang, maka bekantan tetap saja akan mati kelaparan secara bertahap,” terangnya.
Hilangnya hubungan antara hutan mangrove dengan jenis hutan lainnya di luar kawasan hutan mangrove inilah yang diduga sebagai penyebab kepunahan bekantan di teluk Balikpapan. Tak hanya itu, pembangunan proyek Jembatan Pulau Balang dan jalan penghubung, yang mengisolasi bakau pesisir dari Hutan Lindung Sungai Wain juga dianggap sebagai ancaman serius bagi kehidupan bekantan. Tetapi ancaman ini dapat dihindari dengan memilih alternatif lokasi jembatan dari Tanjung Batu (Balikpapan) ke Gunung Seteleng (Penajam).
Ancaman serius lainnya adalah rencana pembangunan 20 meter lebar jalan penebangan oleh PT ITCI Hutani Manunggal (IHM) di sepanjang pantai, pengembangan industri di daerah pesisir, serta pembukaan lahan secara besar-besaran untuk perusahaan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Sungai Berenga dan Sungai Tempadung.
Stanislav Lhota berharap pemerintah Indonesia menunjukkan perhatian untuk membangun Balikpapan bersih, hijau, sehat, dan menciptakan Kaltim sebagai provinsi hijau. Jika perencanaan ini dilakukans secara serius dengan mengontrol industri di kawasan pesisir teluk Balikpapan, maka akan ada kesempatan bagi bekantan untuk hidup, menjadi populasi terbesar di dunia, serta menjadi simbol bagi Kaltim.
Sumber: http://www.kaltimpost.co.id
Akbar Ciptanto, Jakarta
BAGI kalangan ilmuan dan konservasionis, jumlah ini membuat Kaltim menjadi satu dari lima lokasi dengan jumlah primata yang terbanyak di dunia. Sayangnya, tanpa upaya penyelamatan yang maksimal, primata ini bisa musnah dalam 14 tahun mendatang.
Stanislav Lhota, ilmuan dari Departemen Zoologi, Universitas South Bohemia Republik Chechnya, sejak tahun 2006 menjadikan bekantan sebagai subjek penelitian. Hasil surveinya menunjukkan, populasi bekantan di teluk Balikpapan berjumlah sekitar 1400 ekor, 400 ekor terdapat di Balikppan dan 1.000 ekor di kabupaten PPU.
“Binatang ini hanya ditemukan di Kalimantan, Sabah, Sarawak, dan Brunei Darussalam. Biasanya mereka mendiami pantai dan hutan tepi sungai. Padahal hutan jenis ini cepat terdegradasi. Karena daerah pesisir dan sungai menjadi tujuan utama untuk dihuni,” ungkap Stanislav Lhota saat berhubungan dengan media ini melalui media email dan chating.
Berbeda dengan primata lain, bekantan tidak bisa hidup di hutan Dipterocarpaceae yang masih mudah ditemukan di pedalaman Kalimantan. Ini menyebabkan primata unik ini tidak memiliki kesempatan melarikan diri dari hutan konversi ketika terjadi kerusakan hutan mangrove maupun kawasan pesisir.
Karena itu, spesies ini diklasifikasikan terancam punah oleh IUCN (World Conservation Union). Data yang dimiliki organisasi ini, diperkirakan jumlah primata berhidung besar dan berwarna merah ini sekitar 25.000 ekor. Ini berarti bekantan yang ditemukan di Teluk Balikpapan mewakili 5 persen dari jumlah spesies ini di dunia. Populasi ini tentu sangat berharga dan penting di dunia internasional.
Tetapi berdasarkan analisa populasi dan viabilitas habitat (Population and Habitat Viability Analysis/PHVA) dengan menggunakan program komputer VORTEX menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan. Jika tidak ada perlindungan yang dilakukan, maka jumlah bekantan di Teluk Balikpapan akan punah dalam 14 tahun ke depan.
Alasan utama punahnya populasi ini adalah degradasi hutan yang tinggi sebagai habitat mereka tinggal. Apalagi semua bekantan di teluk Balikpapan mendiami kawasan pesisir tanpa perlindungan hutan mangrove yang baik. Kondisi terakhir, hutan bakau menghilang dengan cepat akibat penangkapan udang dan ikan bandeng secara ilegal, produksi arang, pertambangan batu bara, dan industri di kawasan pesisir. Bahkan ancaman yang sangat serius saat ini adalah hilangnya lahan kering di sekitar kawasan hutan bakau.
Padahal wilayah daratan di sekitar kawasan hutan bakau sangat penting, karena bekantan menemukan makanannya kawasan tersebut. Bekantan memakan daun muda yang diperoleh di hutan bakau, sedangkan buah-buahan dan biji diperoleh dari hutan jenis lainnya di luar hutan mangrove.
“Meski hutan bakau dijaga, sedangkan hutan dinluar kawasan mangrove menghilang, maka bekantan tetap saja akan mati kelaparan secara bertahap,” terangnya.
Hilangnya hubungan antara hutan mangrove dengan jenis hutan lainnya di luar kawasan hutan mangrove inilah yang diduga sebagai penyebab kepunahan bekantan di teluk Balikpapan. Tak hanya itu, pembangunan proyek Jembatan Pulau Balang dan jalan penghubung, yang mengisolasi bakau pesisir dari Hutan Lindung Sungai Wain juga dianggap sebagai ancaman serius bagi kehidupan bekantan. Tetapi ancaman ini dapat dihindari dengan memilih alternatif lokasi jembatan dari Tanjung Batu (Balikpapan) ke Gunung Seteleng (Penajam).
Ancaman serius lainnya adalah rencana pembangunan 20 meter lebar jalan penebangan oleh PT ITCI Hutani Manunggal (IHM) di sepanjang pantai, pengembangan industri di daerah pesisir, serta pembukaan lahan secara besar-besaran untuk perusahaan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Sungai Berenga dan Sungai Tempadung.
Stanislav Lhota berharap pemerintah Indonesia menunjukkan perhatian untuk membangun Balikpapan bersih, hijau, sehat, dan menciptakan Kaltim sebagai provinsi hijau. Jika perencanaan ini dilakukans secara serius dengan mengontrol industri di kawasan pesisir teluk Balikpapan, maka akan ada kesempatan bagi bekantan untuk hidup, menjadi populasi terbesar di dunia, serta menjadi simbol bagi Kaltim.
Sumber: http://www.kaltimpost.co.id