Oleh Sri Igustin
Di antara sisa-sisa hujan semalam, pagi yang dingin itu saya memenuhi janji kepada dua putriku untuk berwisata ke Coban Rondo, Desa Pandesari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Pada 8 Desember 2008, sehari menjelang Idul Adha, kami berangkat pada pukul 07.00 WIB dari rumah kami di Kasembon, Jawa Timur.
Bersama anak dan suami, mengendarai sepeda motor kami melewati jalan berliku-liku. Untuk menuju lokasi wisata yang berada di daerah pegunungan tersebut, pengunjung harus melewati jalan berkelak-kelok, baik dari arah Batu maupun dari arah Kediri. Di sepanjang perjalanan, bukit-bukit, jurang, dan hutan merupakan pemandangan yang asyik dinikmati.
Satu jam kemudian, sesampai di Pujon, kami mampir di Pasar Dewi Sri untuk membeli jeruk manis. Di pasar itu, selain jeruk, kita bisa menjumpai apel dan sayur-sayuran, seperti wortel, kubis, brokoli, buncis, kentang, dan tomat. Maklum, selain terkenal sebagai penghasil susu sapi, Pujon merupakan sentra sayur-mayur. Beraneka bunga, dari yang harganya seribu perak sampai ratusan ribu rupiah , juga mudah dijumpai di sini.
Setelah mengantongi lima kilogram jeruk seharga Rp 20 ribu, perjalanan pun kami teruskan. Tapi kami tidak langsung ke Coban Rondo. Kami terus saja meluncur menuju ke Kota Batu, menjemput Mbak Yuli, kakak yang datang dari Surabaya untuk ikut ke Coban Rondo.
Dalam cuaca yang tidak bersahabat, tengah hari, kami berangkat dengan menumpang mobil. Salah seorang kakak yang lain tidak jadi ikut lantaran takut jadi rondo (janda) jika berwisata ke Coban Rondo. Ada-ada saja, pikirku. Coban Rondo hanya nama tempat wisata air terjun. Tapi ada saja yang mempercayai mitos itu.
Di tengah perjalanan, hujan turun deras. Kami sempat ragu untuk melanjutkan perjalanan.
"Gimana? Diteruskan tidak?" tanyaku.
"Teruskan saja, nanti kalau hujan deras, lihat dari dalam mobil aja atau pakai payung," jawab Mbak Yuli.
"Okelah kalau gitu."
"Horeeee!" kedua putriku bersorak kompak.
Setelah kurang-lebih tujuh kilometer perjalanan, sampailah kami di sebuah pertigaan di Kecamatan Pujon. Tampak sebuah patung sapi dan seorang ibu memeras susu sapi. Patung itu menunjukkan bahwa Pujon merupakan sentra produksi susu sapi perah. Penduduknya rata-rata memiliki mata pencarian sebagai peternak sapi perah selain bertani sayur-mayur.
Dari patung sapi itulah pengunjung harus menempuh perjalanan empat kilometer untuk sampai ke air terjun Coban Rondo. Sepanjang kurang-lebih 500 meter, di kanan-kiri jalan banyak rumah penduduk. Setelah itu, mata akan dimanjakan oleh hijaunya hutan. Hutan ini masuk wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Perum Perhutani Malang, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Pujon dan Resort Polisi Hutan Pujon Selatan Petak 89G.
Sesampai di pertigaan jalan, barulah kami berpapasan dengan bus pariwisata, yang membelok ke kiri. Kami baru sadar, ternyata itu jalan searah. Setelah sekitar dua kilometer, kami disambut papan bertulisan "Welcome to Wana Wisata Coban Rondo".
Di pos area tempat wisata, kami membeli tiket masuk Rp 7.000 per orang dan kendaraan Rp 3.000. Perjalanan kami lanjutkan. Kali ini pemandangan di kanan-kiri jalan berupa bunga kecubung. Sekitar dua kilometer berikutnya terdapat lokasi perkemahan. Hanya ada beberapa tenda saat itu. Peserta kemah tidak begitu banyak. Mungkin karena musim hujan.
Begitu tiba di tempat parkir dan turun dari mobil, aku terkesima. Kondisi kawasan wisata ini sangat jauh berbeda bila dibanding 20 tahun silam. Tempat parkir di tengah belantara ini sangat memadai, berbeda jauh dengan kondisi ketika saya berkunjung pada 1986, ketika saya masih SMP. Waktu itu jalannya masih makadam (jalan berbatu). Sekarang jalannya sudah bagus. Di kanan-kiri jalan dihiasi taman bunga, papan informasi mengenai asal-usul Coban Rondo, musala, pendopo, dan kamar kecil.
Dari tempat parkir, kami menuju ke air terjun. Selain pedagang bakso dan jagung bakar serta warung lesehan alias ndeprok, ada pedagang mainan dan suvenir.
Sesampai di dekat air terjun, kami melihat kondisi air terjun tak berubah sama sekali dibanding pada 1986. Air yang turun deras itu berasal dari air hujan yang ditampung oleh daerah aliran Sungai Coban Rondo, yang mengalir dari mata air Cemoro Dudo di lereng Gunung Kawi. Luas daerah aliran Sungai Coban Rondo diperkirakan 1.252,58 hektare dan curah hujannya sekitar 1.721 milimeter per tahun, sehingga diperkirakan daerah aliran Sungai Coban Rondo menampung 21,6 miliar liter air hujan per tahun dan dialirkan melalui Sungai Coban Rondo.
perjalananFluktuasi debit air terjun Coban Rondo sangat bergantung pada curah hujan dan kondisi vegetasi/hujan di daerah aliran Sungai Coban Rondo. Apabila hutannya gundul, pada saat musim kering, debit airnya rendah. Adapun pada musim hujan, debit air sangat besar dan warna air cokelat. Sedangkan bila hujannya lebat, debit air hujan Coban Rondo akan relatif konstan dan kualitas airnya baik.
Saat kami berkunjung, airnya yang jernih terjun dari ketinggian 84 meter. Ketinggian lokasi air terjun ini 1.135 meter di atas permukaan laut. Udara sangat dingin dengan suhu sekitar 22 derajat Celsius. Hampir semua pengunjung mengenakan jaket. Mereka datang dari beberapa daerah, seperti Malang, Surabaya, Madiun, dan Kediri.
Di bawah air terjun terdapat batu besar. Menurut legenda, batu itu tempat duduk sang putri Dewi Anjarwati. Putri itu pengantin baru, dari Gunung Kawi, yang menikah dengan Raden Baron Kusuma dari Gunung Anjasmara. Kedua gunung itu berada di Jawa Timur. Saat usia pernikahan mencapai 36 hari (selapan), Dewi Anjarwati mengajak suaminya berkunjung ke Gunung Anjasmara. Orang tua Dewi Anjarwati pun melarang kedua mempelai pergi karena mereka baru menikah selama selapan.
Namun, keduanya berkeras berangkat dengan segala risiko. Keduanya dikejutkan oleh hadirnya Joko Lelono, yang terpikat oleh kecantikan Anjarwati dan berusaha merebutnya dari Baron Kusuma. Perkelahian pun terjadi. Kepada pengawalnya, Baron Kusuma berpesan agar Dewi Anjarwati disembunyikan di suatu tempat yang ada coban-nya (air terjun). Keduanya gugur, Dewi Anjarwati pun menjadi janda (rondo, bahasa Jawa). Sejak itulah air terjun itu dikenal dengan Coban Rondo.
Di kanan-kiri air terjun merupakan tebing berbatuan dan sekelilingnya merupakan hutan. Butiran-butiran air terjun diterpa angin dan menyapu wajah kami. Terasa dingin dan segar. Air jatuh menghantam bebatuan di bawahnya, mengalir mengikuti arus sungai yang curam dan berbatu. Melewati batu licin dan tajam, kami harus berhati-hati ketika turun ke sungai. Begitu kaki menyentuh air, wah... dingin seperti air es. Hanya beberapa detik, kaki rasanya sudah beku. Cepat-cepat kuangkat kakiku ke atas batu.
Syukurlah, hujan turun setelah kami puas menikmati air terjun. Kami lekas meninggalkan air terjun mengikuti peringatan yang tertulis pada papan: bila hujan turun, pengunjung harap meninggalkan air terjun--bahaya longsor!
Beberapa meter dari air terjun ternyata banyak monyet turun dari hutan. Delapan monyet keluar dari lebatnya hutan mencari makan.
Begitu monyet mendekati jalan, seorang pengunjung yang sok akrab mengulurkan tangannya hendak berjabat tangan dengan monyet. Bukannya menyambut uluran tangan, sang monyet menyeringai menunjukkan gigi-giginya yang tajam. Pengunjung berambut gondrong dan bertato di bahunya itu terbirit-birit ketakutan. Kami tertawa geli.
Pengunjung yang lain melemparkan jagung bakar dari kejauhan. Monyet-monyet itu berebut. Dua monyet berkelahi untuk mendapatkan sebuah jagung bakar. Seekor monyet yang lain mencuri jagung bakar yang sedang diperebutkan dan membawanya naik ke atas pohon. Saat kedua monyet itu menyadari jagung yang diperebutkan hilang, mereka pun bengong.
"Kasihaaan, deh, lu!" ejek Felda, anak kami.
Sebelum pulang, tak lupa kami membeli jagung bakar rasa gado-gado: asin, manis, dan pedas. Minumnya jahe hangat. Cocok dinikmati dalam cuaca dingin. Kemudian kami menuju ke pedagang suvenir yang menjual perlengkapan dapur yang terbuat dari kayu, aluminium, dan oniks. Juga ada hiasan dinding, mainan anak-anak, tas, dan sandal dari kayu. Kami mencari suvenir khas Coban Rondo.
Ternyata yang ada hanya gantungan kunci.
Saat saya membayar, iseng-iseng saya bertanya kepada pedagang, "Bu, kenapa tempat ini dinamakan Coban Rondo?"
"Karena di Sebalo banyaknya jandanya?" jawab pedagang. Sebalo adalah nama sebuah desa di Pujon.
"Lho, kenapa mereka jadi janda?" tanyaku.
"Ya, karena suaminya sudah tua, meninggal."
"O, gitu."
Hari sudah sore. Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB, kami pun meninggalkan Coban Rondo di bawah rintik-rintik hujan dan kabut yang membatasi pandangan.
SRI IGUSTIN, Penikmat Perjalanan
Sumber: http://www.tempointeraktif.com
Di antara sisa-sisa hujan semalam, pagi yang dingin itu saya memenuhi janji kepada dua putriku untuk berwisata ke Coban Rondo, Desa Pandesari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Pada 8 Desember 2008, sehari menjelang Idul Adha, kami berangkat pada pukul 07.00 WIB dari rumah kami di Kasembon, Jawa Timur.
Bersama anak dan suami, mengendarai sepeda motor kami melewati jalan berliku-liku. Untuk menuju lokasi wisata yang berada di daerah pegunungan tersebut, pengunjung harus melewati jalan berkelak-kelok, baik dari arah Batu maupun dari arah Kediri. Di sepanjang perjalanan, bukit-bukit, jurang, dan hutan merupakan pemandangan yang asyik dinikmati.
Satu jam kemudian, sesampai di Pujon, kami mampir di Pasar Dewi Sri untuk membeli jeruk manis. Di pasar itu, selain jeruk, kita bisa menjumpai apel dan sayur-sayuran, seperti wortel, kubis, brokoli, buncis, kentang, dan tomat. Maklum, selain terkenal sebagai penghasil susu sapi, Pujon merupakan sentra sayur-mayur. Beraneka bunga, dari yang harganya seribu perak sampai ratusan ribu rupiah , juga mudah dijumpai di sini.
Setelah mengantongi lima kilogram jeruk seharga Rp 20 ribu, perjalanan pun kami teruskan. Tapi kami tidak langsung ke Coban Rondo. Kami terus saja meluncur menuju ke Kota Batu, menjemput Mbak Yuli, kakak yang datang dari Surabaya untuk ikut ke Coban Rondo.
Dalam cuaca yang tidak bersahabat, tengah hari, kami berangkat dengan menumpang mobil. Salah seorang kakak yang lain tidak jadi ikut lantaran takut jadi rondo (janda) jika berwisata ke Coban Rondo. Ada-ada saja, pikirku. Coban Rondo hanya nama tempat wisata air terjun. Tapi ada saja yang mempercayai mitos itu.
Di tengah perjalanan, hujan turun deras. Kami sempat ragu untuk melanjutkan perjalanan.
"Gimana? Diteruskan tidak?" tanyaku.
"Teruskan saja, nanti kalau hujan deras, lihat dari dalam mobil aja atau pakai payung," jawab Mbak Yuli.
"Okelah kalau gitu."
"Horeeee!" kedua putriku bersorak kompak.
Setelah kurang-lebih tujuh kilometer perjalanan, sampailah kami di sebuah pertigaan di Kecamatan Pujon. Tampak sebuah patung sapi dan seorang ibu memeras susu sapi. Patung itu menunjukkan bahwa Pujon merupakan sentra produksi susu sapi perah. Penduduknya rata-rata memiliki mata pencarian sebagai peternak sapi perah selain bertani sayur-mayur.
Dari patung sapi itulah pengunjung harus menempuh perjalanan empat kilometer untuk sampai ke air terjun Coban Rondo. Sepanjang kurang-lebih 500 meter, di kanan-kiri jalan banyak rumah penduduk. Setelah itu, mata akan dimanjakan oleh hijaunya hutan. Hutan ini masuk wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Perum Perhutani Malang, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Pujon dan Resort Polisi Hutan Pujon Selatan Petak 89G.
Sesampai di pertigaan jalan, barulah kami berpapasan dengan bus pariwisata, yang membelok ke kiri. Kami baru sadar, ternyata itu jalan searah. Setelah sekitar dua kilometer, kami disambut papan bertulisan "Welcome to Wana Wisata Coban Rondo".
Di pos area tempat wisata, kami membeli tiket masuk Rp 7.000 per orang dan kendaraan Rp 3.000. Perjalanan kami lanjutkan. Kali ini pemandangan di kanan-kiri jalan berupa bunga kecubung. Sekitar dua kilometer berikutnya terdapat lokasi perkemahan. Hanya ada beberapa tenda saat itu. Peserta kemah tidak begitu banyak. Mungkin karena musim hujan.
Begitu tiba di tempat parkir dan turun dari mobil, aku terkesima. Kondisi kawasan wisata ini sangat jauh berbeda bila dibanding 20 tahun silam. Tempat parkir di tengah belantara ini sangat memadai, berbeda jauh dengan kondisi ketika saya berkunjung pada 1986, ketika saya masih SMP. Waktu itu jalannya masih makadam (jalan berbatu). Sekarang jalannya sudah bagus. Di kanan-kiri jalan dihiasi taman bunga, papan informasi mengenai asal-usul Coban Rondo, musala, pendopo, dan kamar kecil.
Dari tempat parkir, kami menuju ke air terjun. Selain pedagang bakso dan jagung bakar serta warung lesehan alias ndeprok, ada pedagang mainan dan suvenir.
Sesampai di dekat air terjun, kami melihat kondisi air terjun tak berubah sama sekali dibanding pada 1986. Air yang turun deras itu berasal dari air hujan yang ditampung oleh daerah aliran Sungai Coban Rondo, yang mengalir dari mata air Cemoro Dudo di lereng Gunung Kawi. Luas daerah aliran Sungai Coban Rondo diperkirakan 1.252,58 hektare dan curah hujannya sekitar 1.721 milimeter per tahun, sehingga diperkirakan daerah aliran Sungai Coban Rondo menampung 21,6 miliar liter air hujan per tahun dan dialirkan melalui Sungai Coban Rondo.
perjalananFluktuasi debit air terjun Coban Rondo sangat bergantung pada curah hujan dan kondisi vegetasi/hujan di daerah aliran Sungai Coban Rondo. Apabila hutannya gundul, pada saat musim kering, debit airnya rendah. Adapun pada musim hujan, debit air sangat besar dan warna air cokelat. Sedangkan bila hujannya lebat, debit air hujan Coban Rondo akan relatif konstan dan kualitas airnya baik.
Saat kami berkunjung, airnya yang jernih terjun dari ketinggian 84 meter. Ketinggian lokasi air terjun ini 1.135 meter di atas permukaan laut. Udara sangat dingin dengan suhu sekitar 22 derajat Celsius. Hampir semua pengunjung mengenakan jaket. Mereka datang dari beberapa daerah, seperti Malang, Surabaya, Madiun, dan Kediri.
Di bawah air terjun terdapat batu besar. Menurut legenda, batu itu tempat duduk sang putri Dewi Anjarwati. Putri itu pengantin baru, dari Gunung Kawi, yang menikah dengan Raden Baron Kusuma dari Gunung Anjasmara. Kedua gunung itu berada di Jawa Timur. Saat usia pernikahan mencapai 36 hari (selapan), Dewi Anjarwati mengajak suaminya berkunjung ke Gunung Anjasmara. Orang tua Dewi Anjarwati pun melarang kedua mempelai pergi karena mereka baru menikah selama selapan.
Namun, keduanya berkeras berangkat dengan segala risiko. Keduanya dikejutkan oleh hadirnya Joko Lelono, yang terpikat oleh kecantikan Anjarwati dan berusaha merebutnya dari Baron Kusuma. Perkelahian pun terjadi. Kepada pengawalnya, Baron Kusuma berpesan agar Dewi Anjarwati disembunyikan di suatu tempat yang ada coban-nya (air terjun). Keduanya gugur, Dewi Anjarwati pun menjadi janda (rondo, bahasa Jawa). Sejak itulah air terjun itu dikenal dengan Coban Rondo.
Di kanan-kiri air terjun merupakan tebing berbatuan dan sekelilingnya merupakan hutan. Butiran-butiran air terjun diterpa angin dan menyapu wajah kami. Terasa dingin dan segar. Air jatuh menghantam bebatuan di bawahnya, mengalir mengikuti arus sungai yang curam dan berbatu. Melewati batu licin dan tajam, kami harus berhati-hati ketika turun ke sungai. Begitu kaki menyentuh air, wah... dingin seperti air es. Hanya beberapa detik, kaki rasanya sudah beku. Cepat-cepat kuangkat kakiku ke atas batu.
Syukurlah, hujan turun setelah kami puas menikmati air terjun. Kami lekas meninggalkan air terjun mengikuti peringatan yang tertulis pada papan: bila hujan turun, pengunjung harap meninggalkan air terjun--bahaya longsor!
Beberapa meter dari air terjun ternyata banyak monyet turun dari hutan. Delapan monyet keluar dari lebatnya hutan mencari makan.
Begitu monyet mendekati jalan, seorang pengunjung yang sok akrab mengulurkan tangannya hendak berjabat tangan dengan monyet. Bukannya menyambut uluran tangan, sang monyet menyeringai menunjukkan gigi-giginya yang tajam. Pengunjung berambut gondrong dan bertato di bahunya itu terbirit-birit ketakutan. Kami tertawa geli.
Pengunjung yang lain melemparkan jagung bakar dari kejauhan. Monyet-monyet itu berebut. Dua monyet berkelahi untuk mendapatkan sebuah jagung bakar. Seekor monyet yang lain mencuri jagung bakar yang sedang diperebutkan dan membawanya naik ke atas pohon. Saat kedua monyet itu menyadari jagung yang diperebutkan hilang, mereka pun bengong.
"Kasihaaan, deh, lu!" ejek Felda, anak kami.
Sebelum pulang, tak lupa kami membeli jagung bakar rasa gado-gado: asin, manis, dan pedas. Minumnya jahe hangat. Cocok dinikmati dalam cuaca dingin. Kemudian kami menuju ke pedagang suvenir yang menjual perlengkapan dapur yang terbuat dari kayu, aluminium, dan oniks. Juga ada hiasan dinding, mainan anak-anak, tas, dan sandal dari kayu. Kami mencari suvenir khas Coban Rondo.
Ternyata yang ada hanya gantungan kunci.
Saat saya membayar, iseng-iseng saya bertanya kepada pedagang, "Bu, kenapa tempat ini dinamakan Coban Rondo?"
"Karena di Sebalo banyaknya jandanya?" jawab pedagang. Sebalo adalah nama sebuah desa di Pujon.
"Lho, kenapa mereka jadi janda?" tanyaku.
"Ya, karena suaminya sudah tua, meninggal."
"O, gitu."
Hari sudah sore. Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB, kami pun meninggalkan Coban Rondo di bawah rintik-rintik hujan dan kabut yang membatasi pandangan.
SRI IGUSTIN, Penikmat Perjalanan
Sumber: http://www.tempointeraktif.com