Oleh: Wuragil
Ternate, Maluku Utara, Kamis, tepat pertengahan April lalu. Waktu pelesir telah tiba untuk kami, kelompok lima wartawan yang sejak lima hari sebelumnya singgah di provinsi kepulauan itu. Hari memang masih terlalu pagi--apalagi kalau menuruti jam tangan waktu Jakarta--dan kami sudah harus nongkrong di ruang VIP Bandara Sultan Babullah.
Pagi itu kami menunggu pejabat dari Departemen Kehutanan tiba dari Jakarta untuk sebuah wawancara. Tapi lupakan saja, karena itu adalah “pekerjaan” terakhir kami. Mengikuti anjuran di sebuah baliho kecil di sudut ruangan yang istimewa karena leganya itu, yang bertuliskan “Ayo, Baronda ka Ternate”, kami pun segera memulai untuk bersenang-senang berkeliling pulau.
Diawali dengan menelusuri Jalan Pahlawan Revolusi, yang menggaris tepat di sepanjang bibir pantai, untuk sebuah perburuan oleh-oleh. Ternyata sulit juga mencari cendera mata selain kue bagea atau roti dari kenari di pulau yang dihidupi oleh sebuah gunung api aktif itu. Tak ada kaus atau kerajinan tangan selain besi putih. "Di sini yang terkenal memang besi putih," ujar Iskandar, warga lokal yang memandu kami.
Bayangkanlah kalung-kalung berbandul pelat berisi nama atau tulisan lain yang sering dikenakan tentara. Itulah besi putih umumnya yang bisa ditemukan di pasar. Sayang, banyak yang palsu yang datang dari Tanjung Perak, Surabaya. Setidaknya, itu menurut sopir mobil sewaan yang mengantar kami hari itu.
Menurut dia, besi putih palsu akan tergoda daya tarik magnet. "Banyak pedagang yang tidak mau menguji dagangannya lagi sebelum menjual," katanya. "Takut ketahuan palsunya."
***
Selesai kami mengepak beberapa bungkus kue bagea dan beberapa botol minyak kayu putih, perjalanan bergerak ke situs pertama pada hari itu: rumah tinggal Sultan Muhammad Ilham, bekas Sultan Ternate yang berkuasa cuma sebulan sebelum jatuh sakit dan meninggal pada 1800-an.
Kami berkepentingan singgah di rumah dengan delapan pilar boling di muka terasnya ini untuk menuntaskan napak tilas perjalanan Alfred Russel Wallace, naturalis Inggris, 150 tahun lalu. Di rumah yang pekarangan aslinya sudah terpangkas untuk jalan raya inilah Alfred menginap setiap kali bertualang menembus hutan-hutan Pulau Ternate untuk mengumpulkan spesies hewan dan tanaman khas.
Oleh pemilik rumah saat ini, Ilham Aim Syah, cicit Sultan Ilham, kamar seluas sekitar 10 meter persegi yang berhadap-hadapan dengan kamar utama di rumah itu masih dipertahankan. Meja riasnya masih ada, ranjangnya pun masih disimpan. "Saya hanya tahu dari cerita orang tua bahwa dulu ada orang bule yang menginap di rumah ini," ujar Ilham Aim Syah.
Rumah itu tepat menghadap Masjid Agung dengan latar Gunung Gamalama. Dulu, halaman belakangnya tak lain hamparan pasir pantai yang dicium langsung gelombang laut. Sekarang pemandangan ke arah laut terganggu padatnya rumah penduduk. O, iya, Pulau Ternate saat ini berperan sebagai ibu kota sementara Maluku Utara sebelum Sofifi di Pulau Halmahera siap.
Puas menghirup aroma 150 tahun lalu di rumah yang sebagian lantai batunya sudah diganti keramik itu, kami berpamitan. Perjalanan berlanjut ke sebuah benteng peninggalan Portugis dengan dua bastion yang berdiri kukuh di atas bukit batuan beku. Benteng Santa Lusia, namanya.
Dalam sejarahnya, benteng ini pernah berpindah-pindah tangan. Dibangun pada 1512, pernah direbut Sultan Babullah pada 1577. Namun, Belanda ganti menguasainya dan memberikan nama baru, Holandia. Pada 1661, Sultan Ternate, Mandar Syah, diizinkan menempati benteng, dan namanya yang sekarang, Benteng Tolukko, berasal dari nama Sultan Ternate pada 1692.
Pekarangan benteng itu kini sempit dan mengesankan bahwa tempat itu terkucil. Tapi tunggu setelah berada di punggungnya, Benteng Tolukko terbukti berdiri di poros bukit yang sangat strategis. Bagian mukanya menghadap langsung laut lepas, sementara ia membelakangi Kota Ternate. Berdiri di atas selasarnya seperti merasakan kejayaan Sultan Ternate yang merebut benteng itu dari Portugis dan menyaksikan kapal musuh lari tunggang-langgang.
***
Jarum jam sudah mulai terlepas dari jeratan pukul dua siang ketika kami beranjak lagi menyusuri jalan mengelilingi pulau ke arah utara. Tidak sampai setengah jam berkendara, kami menemui situs Batu Angus, yang tidak lain batuan lava bekas letusan Gunung Gamalama. Serakan bongkah batuan hitam itu jelas sekali menunjukkan bahwa aliran magma dari kawah gunung setinggi 1.715 meter dari permukaan laut itu melewati wilayah ini sebelum jatuh ke laut di bawahnya lagi.
Hanya berhenti sejenak, kira-kira 15 menit kemudian kami berkendara lagi di jalan yang lengang dan beraspal halus itu ke Danau Tolire. Lagi-lagi danau ini memiliki latar belakang gunung dan latar muka laut lepas. Menyenangkan.
Ali A. Djamal, juru kunci situs, tak bisa mengutarakan luas danau yang lebih mirip kubangan raksasa karena tebing-tebingnya curam dan berdiri sampai dua kali tinggi pepohonan itu. Airnya hijau pekat, tak ada pagar pengaman di bibir tebing. Situs ini seperti tak terperhatikan. Tapi tetap saja asyik.
Danau kawah itu ditingkahi beberapa jenis burung air. Seekor kakaktua putih bahkan tertangkap mata di pucuk sebuah pohon kering di puncak tebing seberang danau. Tiket masuk, yang hanya Rp 2.000 untuk setiap mobil yang masuk, sangat pas untuk mendukung setiap manusia melepas penat atau bahkan memadu kasih. Seperti sepasang muda-mudi yang kami temui sore itu, yang asyik mengobrol di bawah beringin.
Di sini Ali nyambi menjual paket-paket berisi lima batu koral seharga Rp 1.000. "Lemparkan batu ini, kau tak pernah bisa melihat batu mencapai danau," begitu kira-kira pesannya. Betul saja, ketika batu dilempar, batu seperti hilang ditelan udara.
Kemungkinannya, batu-batu itu jatuh hanya di tepian danau, tapi tak terlihat. Pertama, karena mata kita berharap batu ke arah tengah danau. Kedua, tidak mungkin mengikuti gerak jatuh batu ke tepian danau, yang hanya beberapa derajat dari sumbu kaki kita berdiri, kalau tidak ingin terperosok ke dasar tebing.
Ali menerangkan legenda yang hidup dalam masyarakat setempat bahwa danau itu dulu sebuah kampung. Seorang ayah dalam sebuah keluarga di kampung itu dikisahkan mabuk berat setelah pesta, lalu memerkosa anak perempuannya sendiri. Seluruh kampung lalu dikutuk karena perbuatan itu. Jadilah Tolire, yang artinya kampung tenggelam.
***
Pelesir hari itu ditutup dengan menyeruput air guraka ditemani pisang tanduk dan singkong goreng yang juga panas, yang disuguhkan dengan sambal. Lokasinya adalah Restoran Loridas, persis di tepian Jalan Raya Ngade, ke arah selatan dari Jalan Pahlawan Revolusi.
Namun, guraka yang diramu dari jahe dan gula aren dalam air mendidih dengan dibubuhi irisan kecil-kecil kenari itu tidak sendirian sebagai sajian utama di restoran tersebut. "Kalian harus ke Loridas. Tempatnya sangat romantis," begitu David Purmiasa, pemuda asli Ambon yang belakangan bertugas di Ternate, mengatakannya jauh-jauh hari.
Ada benarnya juga. Sepasang manula tampak duduk berbincang di teras yang merangkap balkon kafe itu tepat ketika matahari mulai menenggelamkan diri. Romantisisme keduanya dibalut pemandangan laut dan sepasang pulau Tidore-Maitara di muka mereka, persis seperti pemandangan yang tertera di lembar uang seribuan.
Hari semakin redup ketika kami memutuskan kembali ke Hotel Surya Pagi di jantung Kota Ternate. Hotel dua lantai itu termasuk dalam kawasan protokol di pulau mungil tersebut, yang apabila dikelilingi dengan mobil tak sampai menghabiskan waktu dua jam. Kalau ada rusuh yang dipicu di muka kantor gubernur, misalnya, kawasan itu termasuk yang disterilkan pertama kali.
Sumber: http://www.korantempo.com
Ternate, Maluku Utara, Kamis, tepat pertengahan April lalu. Waktu pelesir telah tiba untuk kami, kelompok lima wartawan yang sejak lima hari sebelumnya singgah di provinsi kepulauan itu. Hari memang masih terlalu pagi--apalagi kalau menuruti jam tangan waktu Jakarta--dan kami sudah harus nongkrong di ruang VIP Bandara Sultan Babullah.
Pagi itu kami menunggu pejabat dari Departemen Kehutanan tiba dari Jakarta untuk sebuah wawancara. Tapi lupakan saja, karena itu adalah “pekerjaan” terakhir kami. Mengikuti anjuran di sebuah baliho kecil di sudut ruangan yang istimewa karena leganya itu, yang bertuliskan “Ayo, Baronda ka Ternate”, kami pun segera memulai untuk bersenang-senang berkeliling pulau.
Diawali dengan menelusuri Jalan Pahlawan Revolusi, yang menggaris tepat di sepanjang bibir pantai, untuk sebuah perburuan oleh-oleh. Ternyata sulit juga mencari cendera mata selain kue bagea atau roti dari kenari di pulau yang dihidupi oleh sebuah gunung api aktif itu. Tak ada kaus atau kerajinan tangan selain besi putih. "Di sini yang terkenal memang besi putih," ujar Iskandar, warga lokal yang memandu kami.
Bayangkanlah kalung-kalung berbandul pelat berisi nama atau tulisan lain yang sering dikenakan tentara. Itulah besi putih umumnya yang bisa ditemukan di pasar. Sayang, banyak yang palsu yang datang dari Tanjung Perak, Surabaya. Setidaknya, itu menurut sopir mobil sewaan yang mengantar kami hari itu.
Menurut dia, besi putih palsu akan tergoda daya tarik magnet. "Banyak pedagang yang tidak mau menguji dagangannya lagi sebelum menjual," katanya. "Takut ketahuan palsunya."
***
Selesai kami mengepak beberapa bungkus kue bagea dan beberapa botol minyak kayu putih, perjalanan bergerak ke situs pertama pada hari itu: rumah tinggal Sultan Muhammad Ilham, bekas Sultan Ternate yang berkuasa cuma sebulan sebelum jatuh sakit dan meninggal pada 1800-an.
Kami berkepentingan singgah di rumah dengan delapan pilar boling di muka terasnya ini untuk menuntaskan napak tilas perjalanan Alfred Russel Wallace, naturalis Inggris, 150 tahun lalu. Di rumah yang pekarangan aslinya sudah terpangkas untuk jalan raya inilah Alfred menginap setiap kali bertualang menembus hutan-hutan Pulau Ternate untuk mengumpulkan spesies hewan dan tanaman khas.
Oleh pemilik rumah saat ini, Ilham Aim Syah, cicit Sultan Ilham, kamar seluas sekitar 10 meter persegi yang berhadap-hadapan dengan kamar utama di rumah itu masih dipertahankan. Meja riasnya masih ada, ranjangnya pun masih disimpan. "Saya hanya tahu dari cerita orang tua bahwa dulu ada orang bule yang menginap di rumah ini," ujar Ilham Aim Syah.
Rumah itu tepat menghadap Masjid Agung dengan latar Gunung Gamalama. Dulu, halaman belakangnya tak lain hamparan pasir pantai yang dicium langsung gelombang laut. Sekarang pemandangan ke arah laut terganggu padatnya rumah penduduk. O, iya, Pulau Ternate saat ini berperan sebagai ibu kota sementara Maluku Utara sebelum Sofifi di Pulau Halmahera siap.
Puas menghirup aroma 150 tahun lalu di rumah yang sebagian lantai batunya sudah diganti keramik itu, kami berpamitan. Perjalanan berlanjut ke sebuah benteng peninggalan Portugis dengan dua bastion yang berdiri kukuh di atas bukit batuan beku. Benteng Santa Lusia, namanya.
Dalam sejarahnya, benteng ini pernah berpindah-pindah tangan. Dibangun pada 1512, pernah direbut Sultan Babullah pada 1577. Namun, Belanda ganti menguasainya dan memberikan nama baru, Holandia. Pada 1661, Sultan Ternate, Mandar Syah, diizinkan menempati benteng, dan namanya yang sekarang, Benteng Tolukko, berasal dari nama Sultan Ternate pada 1692.
Pekarangan benteng itu kini sempit dan mengesankan bahwa tempat itu terkucil. Tapi tunggu setelah berada di punggungnya, Benteng Tolukko terbukti berdiri di poros bukit yang sangat strategis. Bagian mukanya menghadap langsung laut lepas, sementara ia membelakangi Kota Ternate. Berdiri di atas selasarnya seperti merasakan kejayaan Sultan Ternate yang merebut benteng itu dari Portugis dan menyaksikan kapal musuh lari tunggang-langgang.
***
Jarum jam sudah mulai terlepas dari jeratan pukul dua siang ketika kami beranjak lagi menyusuri jalan mengelilingi pulau ke arah utara. Tidak sampai setengah jam berkendara, kami menemui situs Batu Angus, yang tidak lain batuan lava bekas letusan Gunung Gamalama. Serakan bongkah batuan hitam itu jelas sekali menunjukkan bahwa aliran magma dari kawah gunung setinggi 1.715 meter dari permukaan laut itu melewati wilayah ini sebelum jatuh ke laut di bawahnya lagi.
Hanya berhenti sejenak, kira-kira 15 menit kemudian kami berkendara lagi di jalan yang lengang dan beraspal halus itu ke Danau Tolire. Lagi-lagi danau ini memiliki latar belakang gunung dan latar muka laut lepas. Menyenangkan.
Ali A. Djamal, juru kunci situs, tak bisa mengutarakan luas danau yang lebih mirip kubangan raksasa karena tebing-tebingnya curam dan berdiri sampai dua kali tinggi pepohonan itu. Airnya hijau pekat, tak ada pagar pengaman di bibir tebing. Situs ini seperti tak terperhatikan. Tapi tetap saja asyik.
Danau kawah itu ditingkahi beberapa jenis burung air. Seekor kakaktua putih bahkan tertangkap mata di pucuk sebuah pohon kering di puncak tebing seberang danau. Tiket masuk, yang hanya Rp 2.000 untuk setiap mobil yang masuk, sangat pas untuk mendukung setiap manusia melepas penat atau bahkan memadu kasih. Seperti sepasang muda-mudi yang kami temui sore itu, yang asyik mengobrol di bawah beringin.
Di sini Ali nyambi menjual paket-paket berisi lima batu koral seharga Rp 1.000. "Lemparkan batu ini, kau tak pernah bisa melihat batu mencapai danau," begitu kira-kira pesannya. Betul saja, ketika batu dilempar, batu seperti hilang ditelan udara.
Kemungkinannya, batu-batu itu jatuh hanya di tepian danau, tapi tak terlihat. Pertama, karena mata kita berharap batu ke arah tengah danau. Kedua, tidak mungkin mengikuti gerak jatuh batu ke tepian danau, yang hanya beberapa derajat dari sumbu kaki kita berdiri, kalau tidak ingin terperosok ke dasar tebing.
Ali menerangkan legenda yang hidup dalam masyarakat setempat bahwa danau itu dulu sebuah kampung. Seorang ayah dalam sebuah keluarga di kampung itu dikisahkan mabuk berat setelah pesta, lalu memerkosa anak perempuannya sendiri. Seluruh kampung lalu dikutuk karena perbuatan itu. Jadilah Tolire, yang artinya kampung tenggelam.
***
Pelesir hari itu ditutup dengan menyeruput air guraka ditemani pisang tanduk dan singkong goreng yang juga panas, yang disuguhkan dengan sambal. Lokasinya adalah Restoran Loridas, persis di tepian Jalan Raya Ngade, ke arah selatan dari Jalan Pahlawan Revolusi.
Namun, guraka yang diramu dari jahe dan gula aren dalam air mendidih dengan dibubuhi irisan kecil-kecil kenari itu tidak sendirian sebagai sajian utama di restoran tersebut. "Kalian harus ke Loridas. Tempatnya sangat romantis," begitu David Purmiasa, pemuda asli Ambon yang belakangan bertugas di Ternate, mengatakannya jauh-jauh hari.
Ada benarnya juga. Sepasang manula tampak duduk berbincang di teras yang merangkap balkon kafe itu tepat ketika matahari mulai menenggelamkan diri. Romantisisme keduanya dibalut pemandangan laut dan sepasang pulau Tidore-Maitara di muka mereka, persis seperti pemandangan yang tertera di lembar uang seribuan.
Hari semakin redup ketika kami memutuskan kembali ke Hotel Surya Pagi di jantung Kota Ternate. Hotel dua lantai itu termasuk dalam kawasan protokol di pulau mungil tersebut, yang apabila dikelilingi dengan mobil tak sampai menghabiskan waktu dua jam. Kalau ada rusuh yang dipicu di muka kantor gubernur, misalnya, kawasan itu termasuk yang disterilkan pertama kali.
Sumber: http://www.korantempo.com