Oleh: Muhlis Suhaeri
Menghadiri ritual suku Dayak Bidayuh, dengan sebilah mandau, ketua rombongan tamu harus menebas anak anjing di udara.
Menembus pedalaman Kalimantan Barat menyaksikan upacara adat suku Dayak Bidayuh adalah pengalaman penuh sensasi. Selain keasrian alamnya, kita akan disuguhi ritual mistis dan horor. Anda pun harus siap melakukan adegan tak terduga di daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia itu.
Upacara itu bernama Nyobeng, berupa ritual memandikan atau membersihkan tengkorak manusia hasil mengayau oleh nenek moyang, yang diselenggarakan Dayak Bidayuh, salah satu sub-suku Dayak di Kabupaten Bengkayang. Mengayau adalah memenggal kepala manusia dan tengkoraknya diawetkan--suatu tradisi yang sekarang tidak dilakukan lagi.
Atas ajakan seorang teman, pertengahan Juni tahun lalu, aku bersemangat menempuh perjalanan kultural itu. Berkendaraan roda empat, dari Pontianak, kami meluncur ke Kota Singkawang, sejauh 145 kilometer, selama tiga jam. Kemudian, dari Singkawang, kami melintasi jalanan sempit beraspal menuju Bengkayang sejauh 80 kilometer selama satu setengah jam.
Kami menginap semalam di sebuah losmen di Bengkayang. Paginya, kami meluncur ke Seluas. Setelah dua jam menempuh perjalanan darat, sampailah kami di sebuah penyeberangan perahu di Sungai Kumba. Belasan perahu tertambat di pinggir sungai. Air sungai kecokelatan dengan arus tidak begitu deras. Sungai dengan lebar sekitar 50 meter itu menjadi pertemuan alur antara Sungai Siding dan Bumbung.
Kami pun menyusuri Sungai Kumba dengan motor air yang disebut perahu bangkong--sejenis perahu berukuran panjang 8 meter dan lebar 80 sentimeter bermesin 15 PK. Ketika dimuati delapan orang, jarak air dengan bibir perahu hanya 5 sentimeter. Kalau bersimpangan dengan perahu lain, jalannya harus pelan agar perahu di sebelahnya tidak terkena ombak dan bisa menyebabkan perahu kemasukan air.
Perahu ini biasanya dimiliki para pedagang untuk mengangkut hasil pertanian dari pedalaman ke ibu kota kabupaten. Pulang ke pedalaman, perahu mengangkut bahan kebutuhan pokok. Di antara barang dagangan itulah penduduk "numpang" perahu menuju perkampungannya dengan merogoh kocek Rp 15 ribu.
Satu setengah jam menyusuri Sungai Kumba, sampailah kami di dua cabang anak sungai, Sungai Siding dan Bumbung. Kami menuju hulu Sungai Bumbung. Sungai ini selebar sekitar 15 meter dengan kedalaman 1-2 meter bila curah hujan sedikit. Jika air surut, perahu harus berjalan zig-zag menghindari batang pohon tumbang yang berserakan di dasar dan permukaan sungai.
Berperahu dua jam di Sungai Kumba, dan mesti berkelok-kelok di beberapa anak sungai, kami pun sampai di jembatan Sohoo, yang terbuat dari dua batang bambu. Dari sana kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak di tengah hutan dan ladang.
Setelah sekitar satu jam menerobos hutan, kami sampai di batas Kampung Hli Buei (biasa disebut Kampung Sebujit), Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang.
Puluhan lelaki berselempang kain merah dengan hiasan manik-manik dari gigi binatang menyambut para tamu. Sebagian di antara mereka membawa senapan lantak dan sumpit, yang biasa digunakan untuk berburu.
Bunyi senapan lantak menggelegar keras sebagai tanda penyambutan. Letupan senapan lantak juga berfungsi memanggil roh leluhur dan meminta izin bagi pelaksanaan adat yang bakal dilakukan.
Para tetua adat menyambut rombongan. Aku terkesiap ketika kepala adat, Pak Amin, melempar anak anjing ke udara. Lalu kepala tamu rombongan harus menebas anak anjing itu di udara dengan mandau. Kalaupun meleset, anjing itu harus dipotong dengan mandau sesampai di tanah.
Lalu ada pelemparan ayam ke rombongan. Senasib dengan anjing, ayam ditebas dengan mandau. Upacara ini disebut naburi.
Setelah ayam, giliran telurnya dilempar ke para tamu. Menurut kepercayaan setempat, bila telur tidak pecah, berarti yang datang tidak ikhlas. Sebaliknya, jika pecah, tamu datang dengan ikhlas. Cukup itu? Tidak. Para tamu juga dilempari beras putih dan beras kuning, sambil dibacakan mantra.
Kembang desa mengedarkan tuak ke segenap tamu sebagai minuman penyambutan. Tuak terbuat dari pohon niru dicampur kulit pohon pakak, yang memberi warna kemerahan dan rasa manis pada tuak. Dengan cawan dari bambu, setiap tamu meneguk tuak.
Seusai upacara penyambutan, rombongan tamu masuk perkampungan. Rumah-rumah di kampung itu tak lagi menampakkan ciri khas rumah adat Dayak, biasa disebut Betang, yakni rumah panggung besar dan memanjang, terbuat dari kayu, serta dihuni puluhan keluarga.
Sebagian besar rumah di Kampung Sebujit terbuat dari semen dan pasir. Bentuk, warna, serta hiasan rumah tak lagi menampakkan ciri khas ornamen dan hiasan khas Dayak. Beberapa rumah memasang antena parabola untuk menangkap siaran TV3 Malaysia.
Kami diantar memasuki tempat upacara yang disebut balug, yakni rumah adat berbentuk bulat, lebar sekitar 10 meter dan tinggi 15 meter dari tanah, serta ditopang kayu belian bulat. Setiap sambungan rumah diikat dengan tali ijuk. Tangga rumah terbuat dari sebatang pohon, yang telah dibuat undakan. Atap rumah mengerucut.
Di rumah adat inilah berbagai benda pusaka disimpan. Empat gong berdiameter sekira 75 sentimeter di lantai bawah. Simlog (beduk) di tengah rumah berbentuk memanjang 7 meter, berdiameter sekitar 30 sentimeter, dan terbuat dari kulit babi hutan.
Nah, pada bubungan rumah tersimpan tengkorak hasil mengayau, yang dilakukan para leluhur. Tengkorak disimpan dalam kotak, yang di dalamnya berisi berbagai kalung dari taring babi.
Memasuki tempat upacara, rombongan diperciki daun anjuang--daun yang dipercaya memiliki kekuatan magis dan biasa dipakai dalam berbagai upacara adat Dayak--dan air yang telah diberi mantra, yang berfungsi sebagai tolak bala. Tamu juga mesti menginjak buah kundur, yang diletakkan dalam baskom. Ritual ini disebut pepasan.
Ratusan orang telah berada di bawah rumah balug. Tarian mamiamis (tari perdamaian) menyambut para tamu. Bersama warga, tamu menari sambil mengitari balug, sementara tetua adat menyanyikan lagu dan membaca mantra.
Tarian itu ditujukan bagi Ngngiu (pembela tanah leluhur). Dulu tarian ini untuk menyambut para pahlawan pembela tanah leluhur yang baru datang dari mengayau.
Lalu para tetua adat naik balug. Simlog dipukul, mercon pun dinyalakan untuk memanggil arwah leluhur sebagai tanda ritual Nyobeng telah dimulai.
Selepas membuka acara, kegiatan dilanjutkan dengan makan bersama di sekitar balug. Bagi tamu muslim, diberikan makanan khusus yang tidak mengandung babi. Tempatnya juga khusus, dari bumbung bambu dibelah dua dan memanjang.
Setelah makan bersama, para tamu dipersilakan meninggalkan area balug dan menuju rumah-rumah penduduk untuk beristirahat. Kepada tamu muslim, tuan rumah akan menyuguhkan makanan dan lauk "netral".
Sebagian laki-laki menyusuri hutan di sekitar perkampungan untuk mencari bambu. Batang bambu berdiameter 10 sentimeter digotong beramai-ramai ke rumah adat, diletakkan di tanah dengan satu ujungnya diganjal balok. Beberapa lelaki mengitari bambu dan mulai berbaris. Setiap lelaki menyandang mandau--senjata khas Dayak serupa pedang yang dihias dengan motif tertentu. Hiasan melambangkan makna dan prestasi tertentu dari si pemegang mandau. Semakin banyak prestasinya dalam mengayau dan mendapatkan kepala, semakin banyak hiasan di mandaunya. Namun, tradisi mengayau sekarang jarang sekali dilakukan.
Ketika ketua adat menganggukkan kepala, seseorang maju ke depan, meloloskan mandau dari sarungnya. Sriing. Mandau yang bergesek dengan sarung menimbulkan suara. Terasa ngilu bagi yang mendengarnya.
Ia mulai mengangkat mandau. Dengan sekuat tenaga, ia mengayunkan mandau ke batang bambu. Cressssh. Batang bambu terpotong.
Orang bertepuk tangan riuh. Menurut kepercayaan, bila bambu terpotong, berarti pertanda baik. Kegiatan ini sebagai bentuk uji keperkasaan bagi para lelaki.
Sebelum ritual kelompok dilakukan, setiap rumah membuat sesaji yang harus diolesi darah ayam dari sayapnya. Darah ayam dipercikkan ke berbagai tempat yang dianggap sakral di sekitar rumah, rumah adat, dan perkampungan.
Menjelang sore, ketua adat memanggil roh. Ketua adat menaiki rumah panggung. Dia mulai membuka upacara. Sesajian diletakkan di ujung daun buah. Untuk roh baik, dibuat tujuh sesaji dan ditempatkan di berbagai batas desa. Setelah itu, ketua adat mengambil kotak di bubungan rumah balug.
Kotak itu berisi tengkorak manusia dan kalung dari taring babi hutan. Ketua adat melumurkan tangannya pada suatu ramuan dan mengoleskannya pada tengkorak. Setelah itu, seekor ayam dipotong kepalanya hingga putus. Kepala ayam dan tetesan darah dioleskan pada tengkorak. Setelah itu tengkorak dimasukkan lagi ke kotak dan disimpan.
Acara dilanjutkan dengan memotong anjing hitam dengan maksud menolak roh jahat. Darah anjing diusapkan pada rumah-rumahan kecil yang berada di samping balug. Rumah-rumahan itu dianggap sebagai asal-usul nenek moyang Dayak Bidayuh. Ada juga patung lelaki dan perempuan. Yang aneh, ketika akan dipotong, anjing tidak menggonggong sama sekali, seolah tahu nasibnya untuk persembahan suatu ritual. Darah anjing diusapkan pada tiang dan berbagai sudut rumah adat. Potongan anjing juga dibawa ke atas rumah adat.
Mandi-mandi adalah acara berikutnya yang diikuti segenap kawula tua, muda, dan anak-anak bertujuan membersihkan jiwa dan raga. Air yang telah diberi jampi-jampi dimasukkan dalam tempayan besar. Dengan sebuah gayung, tetua adat mengambil air dan mengalirkan air itu lewat daun anjuang.
Selanjutnya, acara memotong babi. Darah babi digunakan untuk memandikan tengkorak. Hati babi dibakar untuk persembahan arwah leluhur. Setelah melakukan upacara ini, setiap orang yang mengikuti upacara berpantang untuk berkata kotor, bersikap kasar kepada perempuan, tidak berhubungan badan, serta tidak berjalan di bawah tiang jemuran. Pelanggaran pantangan dipercaya bisa mendatangkan malapetaka.
Uniknya, ketika upacara berlangsung malam hari, kalangan muda dan anak-anak lebih tertarik menonton pertunjukan dangdut di lapangan. Di tengah lapangan juga bertebaran permainan judi. Meski musik dangdut, yang dimainkan pemuda setempat, biasa saja bahkan boleh dibilang "hancur lebur", itulah salah satu hiburan yang sangat dinantikan.
Walau terjadi persaingan mendapatkan teman joget--perempuan yang disediakan grup band atau penonton perempuan di sekitar arena--pertunjukan dangdut berlangsung tanpa onar. Orang akan berpikir seribu kali bila berbuat rusuh atau berkelahi. Siapa yang berbuat rusuh harus mengganti seluruh biaya pesta adat yang mencapai puluhan juta rupiah itu. Upacara adat juga mesti diulang dari awal. Karena itulah orang tidak berani berbuat sembarangan.
Kampung di tengah hutan itu terus menggeliat, mengikuti kemajuan arus zaman dan modernisasi. Ada kemajuan diraih, tapi ada juga yang mulai terkikis.
Muhlis Suhaeri, penulis lepas tinggal di Pontianak
Sumber: http://www.korantempo.com
Menghadiri ritual suku Dayak Bidayuh, dengan sebilah mandau, ketua rombongan tamu harus menebas anak anjing di udara.
Menembus pedalaman Kalimantan Barat menyaksikan upacara adat suku Dayak Bidayuh adalah pengalaman penuh sensasi. Selain keasrian alamnya, kita akan disuguhi ritual mistis dan horor. Anda pun harus siap melakukan adegan tak terduga di daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia itu.
Upacara itu bernama Nyobeng, berupa ritual memandikan atau membersihkan tengkorak manusia hasil mengayau oleh nenek moyang, yang diselenggarakan Dayak Bidayuh, salah satu sub-suku Dayak di Kabupaten Bengkayang. Mengayau adalah memenggal kepala manusia dan tengkoraknya diawetkan--suatu tradisi yang sekarang tidak dilakukan lagi.
Atas ajakan seorang teman, pertengahan Juni tahun lalu, aku bersemangat menempuh perjalanan kultural itu. Berkendaraan roda empat, dari Pontianak, kami meluncur ke Kota Singkawang, sejauh 145 kilometer, selama tiga jam. Kemudian, dari Singkawang, kami melintasi jalanan sempit beraspal menuju Bengkayang sejauh 80 kilometer selama satu setengah jam.
Kami menginap semalam di sebuah losmen di Bengkayang. Paginya, kami meluncur ke Seluas. Setelah dua jam menempuh perjalanan darat, sampailah kami di sebuah penyeberangan perahu di Sungai Kumba. Belasan perahu tertambat di pinggir sungai. Air sungai kecokelatan dengan arus tidak begitu deras. Sungai dengan lebar sekitar 50 meter itu menjadi pertemuan alur antara Sungai Siding dan Bumbung.
Kami pun menyusuri Sungai Kumba dengan motor air yang disebut perahu bangkong--sejenis perahu berukuran panjang 8 meter dan lebar 80 sentimeter bermesin 15 PK. Ketika dimuati delapan orang, jarak air dengan bibir perahu hanya 5 sentimeter. Kalau bersimpangan dengan perahu lain, jalannya harus pelan agar perahu di sebelahnya tidak terkena ombak dan bisa menyebabkan perahu kemasukan air.
Perahu ini biasanya dimiliki para pedagang untuk mengangkut hasil pertanian dari pedalaman ke ibu kota kabupaten. Pulang ke pedalaman, perahu mengangkut bahan kebutuhan pokok. Di antara barang dagangan itulah penduduk "numpang" perahu menuju perkampungannya dengan merogoh kocek Rp 15 ribu.
Satu setengah jam menyusuri Sungai Kumba, sampailah kami di dua cabang anak sungai, Sungai Siding dan Bumbung. Kami menuju hulu Sungai Bumbung. Sungai ini selebar sekitar 15 meter dengan kedalaman 1-2 meter bila curah hujan sedikit. Jika air surut, perahu harus berjalan zig-zag menghindari batang pohon tumbang yang berserakan di dasar dan permukaan sungai.
Berperahu dua jam di Sungai Kumba, dan mesti berkelok-kelok di beberapa anak sungai, kami pun sampai di jembatan Sohoo, yang terbuat dari dua batang bambu. Dari sana kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak di tengah hutan dan ladang.
Setelah sekitar satu jam menerobos hutan, kami sampai di batas Kampung Hli Buei (biasa disebut Kampung Sebujit), Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang.
Puluhan lelaki berselempang kain merah dengan hiasan manik-manik dari gigi binatang menyambut para tamu. Sebagian di antara mereka membawa senapan lantak dan sumpit, yang biasa digunakan untuk berburu.
Bunyi senapan lantak menggelegar keras sebagai tanda penyambutan. Letupan senapan lantak juga berfungsi memanggil roh leluhur dan meminta izin bagi pelaksanaan adat yang bakal dilakukan.
Para tetua adat menyambut rombongan. Aku terkesiap ketika kepala adat, Pak Amin, melempar anak anjing ke udara. Lalu kepala tamu rombongan harus menebas anak anjing itu di udara dengan mandau. Kalaupun meleset, anjing itu harus dipotong dengan mandau sesampai di tanah.
Lalu ada pelemparan ayam ke rombongan. Senasib dengan anjing, ayam ditebas dengan mandau. Upacara ini disebut naburi.
Setelah ayam, giliran telurnya dilempar ke para tamu. Menurut kepercayaan setempat, bila telur tidak pecah, berarti yang datang tidak ikhlas. Sebaliknya, jika pecah, tamu datang dengan ikhlas. Cukup itu? Tidak. Para tamu juga dilempari beras putih dan beras kuning, sambil dibacakan mantra.
Kembang desa mengedarkan tuak ke segenap tamu sebagai minuman penyambutan. Tuak terbuat dari pohon niru dicampur kulit pohon pakak, yang memberi warna kemerahan dan rasa manis pada tuak. Dengan cawan dari bambu, setiap tamu meneguk tuak.
Seusai upacara penyambutan, rombongan tamu masuk perkampungan. Rumah-rumah di kampung itu tak lagi menampakkan ciri khas rumah adat Dayak, biasa disebut Betang, yakni rumah panggung besar dan memanjang, terbuat dari kayu, serta dihuni puluhan keluarga.
Sebagian besar rumah di Kampung Sebujit terbuat dari semen dan pasir. Bentuk, warna, serta hiasan rumah tak lagi menampakkan ciri khas ornamen dan hiasan khas Dayak. Beberapa rumah memasang antena parabola untuk menangkap siaran TV3 Malaysia.
Kami diantar memasuki tempat upacara yang disebut balug, yakni rumah adat berbentuk bulat, lebar sekitar 10 meter dan tinggi 15 meter dari tanah, serta ditopang kayu belian bulat. Setiap sambungan rumah diikat dengan tali ijuk. Tangga rumah terbuat dari sebatang pohon, yang telah dibuat undakan. Atap rumah mengerucut.
Di rumah adat inilah berbagai benda pusaka disimpan. Empat gong berdiameter sekira 75 sentimeter di lantai bawah. Simlog (beduk) di tengah rumah berbentuk memanjang 7 meter, berdiameter sekitar 30 sentimeter, dan terbuat dari kulit babi hutan.
Nah, pada bubungan rumah tersimpan tengkorak hasil mengayau, yang dilakukan para leluhur. Tengkorak disimpan dalam kotak, yang di dalamnya berisi berbagai kalung dari taring babi.
Memasuki tempat upacara, rombongan diperciki daun anjuang--daun yang dipercaya memiliki kekuatan magis dan biasa dipakai dalam berbagai upacara adat Dayak--dan air yang telah diberi mantra, yang berfungsi sebagai tolak bala. Tamu juga mesti menginjak buah kundur, yang diletakkan dalam baskom. Ritual ini disebut pepasan.
Ratusan orang telah berada di bawah rumah balug. Tarian mamiamis (tari perdamaian) menyambut para tamu. Bersama warga, tamu menari sambil mengitari balug, sementara tetua adat menyanyikan lagu dan membaca mantra.
Tarian itu ditujukan bagi Ngngiu (pembela tanah leluhur). Dulu tarian ini untuk menyambut para pahlawan pembela tanah leluhur yang baru datang dari mengayau.
Lalu para tetua adat naik balug. Simlog dipukul, mercon pun dinyalakan untuk memanggil arwah leluhur sebagai tanda ritual Nyobeng telah dimulai.
Selepas membuka acara, kegiatan dilanjutkan dengan makan bersama di sekitar balug. Bagi tamu muslim, diberikan makanan khusus yang tidak mengandung babi. Tempatnya juga khusus, dari bumbung bambu dibelah dua dan memanjang.
Setelah makan bersama, para tamu dipersilakan meninggalkan area balug dan menuju rumah-rumah penduduk untuk beristirahat. Kepada tamu muslim, tuan rumah akan menyuguhkan makanan dan lauk "netral".
Sebagian laki-laki menyusuri hutan di sekitar perkampungan untuk mencari bambu. Batang bambu berdiameter 10 sentimeter digotong beramai-ramai ke rumah adat, diletakkan di tanah dengan satu ujungnya diganjal balok. Beberapa lelaki mengitari bambu dan mulai berbaris. Setiap lelaki menyandang mandau--senjata khas Dayak serupa pedang yang dihias dengan motif tertentu. Hiasan melambangkan makna dan prestasi tertentu dari si pemegang mandau. Semakin banyak prestasinya dalam mengayau dan mendapatkan kepala, semakin banyak hiasan di mandaunya. Namun, tradisi mengayau sekarang jarang sekali dilakukan.
Ketika ketua adat menganggukkan kepala, seseorang maju ke depan, meloloskan mandau dari sarungnya. Sriing. Mandau yang bergesek dengan sarung menimbulkan suara. Terasa ngilu bagi yang mendengarnya.
Ia mulai mengangkat mandau. Dengan sekuat tenaga, ia mengayunkan mandau ke batang bambu. Cressssh. Batang bambu terpotong.
Orang bertepuk tangan riuh. Menurut kepercayaan, bila bambu terpotong, berarti pertanda baik. Kegiatan ini sebagai bentuk uji keperkasaan bagi para lelaki.
Sebelum ritual kelompok dilakukan, setiap rumah membuat sesaji yang harus diolesi darah ayam dari sayapnya. Darah ayam dipercikkan ke berbagai tempat yang dianggap sakral di sekitar rumah, rumah adat, dan perkampungan.
Menjelang sore, ketua adat memanggil roh. Ketua adat menaiki rumah panggung. Dia mulai membuka upacara. Sesajian diletakkan di ujung daun buah. Untuk roh baik, dibuat tujuh sesaji dan ditempatkan di berbagai batas desa. Setelah itu, ketua adat mengambil kotak di bubungan rumah balug.
Kotak itu berisi tengkorak manusia dan kalung dari taring babi hutan. Ketua adat melumurkan tangannya pada suatu ramuan dan mengoleskannya pada tengkorak. Setelah itu, seekor ayam dipotong kepalanya hingga putus. Kepala ayam dan tetesan darah dioleskan pada tengkorak. Setelah itu tengkorak dimasukkan lagi ke kotak dan disimpan.
Acara dilanjutkan dengan memotong anjing hitam dengan maksud menolak roh jahat. Darah anjing diusapkan pada rumah-rumahan kecil yang berada di samping balug. Rumah-rumahan itu dianggap sebagai asal-usul nenek moyang Dayak Bidayuh. Ada juga patung lelaki dan perempuan. Yang aneh, ketika akan dipotong, anjing tidak menggonggong sama sekali, seolah tahu nasibnya untuk persembahan suatu ritual. Darah anjing diusapkan pada tiang dan berbagai sudut rumah adat. Potongan anjing juga dibawa ke atas rumah adat.
Mandi-mandi adalah acara berikutnya yang diikuti segenap kawula tua, muda, dan anak-anak bertujuan membersihkan jiwa dan raga. Air yang telah diberi jampi-jampi dimasukkan dalam tempayan besar. Dengan sebuah gayung, tetua adat mengambil air dan mengalirkan air itu lewat daun anjuang.
Selanjutnya, acara memotong babi. Darah babi digunakan untuk memandikan tengkorak. Hati babi dibakar untuk persembahan arwah leluhur. Setelah melakukan upacara ini, setiap orang yang mengikuti upacara berpantang untuk berkata kotor, bersikap kasar kepada perempuan, tidak berhubungan badan, serta tidak berjalan di bawah tiang jemuran. Pelanggaran pantangan dipercaya bisa mendatangkan malapetaka.
Uniknya, ketika upacara berlangsung malam hari, kalangan muda dan anak-anak lebih tertarik menonton pertunjukan dangdut di lapangan. Di tengah lapangan juga bertebaran permainan judi. Meski musik dangdut, yang dimainkan pemuda setempat, biasa saja bahkan boleh dibilang "hancur lebur", itulah salah satu hiburan yang sangat dinantikan.
Walau terjadi persaingan mendapatkan teman joget--perempuan yang disediakan grup band atau penonton perempuan di sekitar arena--pertunjukan dangdut berlangsung tanpa onar. Orang akan berpikir seribu kali bila berbuat rusuh atau berkelahi. Siapa yang berbuat rusuh harus mengganti seluruh biaya pesta adat yang mencapai puluhan juta rupiah itu. Upacara adat juga mesti diulang dari awal. Karena itulah orang tidak berani berbuat sembarangan.
Kampung di tengah hutan itu terus menggeliat, mengikuti kemajuan arus zaman dan modernisasi. Ada kemajuan diraih, tapi ada juga yang mulai terkikis.
Muhlis Suhaeri, penulis lepas tinggal di Pontianak
Sumber: http://www.korantempo.com