Oleh: Khasan Ashari
Belum lama ini lembaga internasional terkemuka World Economic Forum (WEF) menerbitkan publikasi bertajuk Travel and Tourism Competitiveness Index 2008. WEF menyusun peringkat daya saing sektor pariwisata 130 negara di dunia berdasarkan hasil penilaian pada sejumlah indikator. Semakin tinggi peringkat suatu negara berarti semakin kompetitif sektor pariwisata negara tersebut.
Publikasi tersebut menarik untuk dicermati. Di tengah upaya pemerintah meningkatkan arus kunjungan wisatawan mancanegara (wisman), Indonesia hanya berada di urutan ke-80. Apa yang membuat peringkat Indonesia demikian rendah? Langkah apa yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya?
WEF menilai tiga aspek yang terkait dengan industri wisata yaitu regulasi, iklim usaha dan infrastruktur, serta sumber daya. Tiga aspek tersebut kemudian dibagi menjadi 14 sektor dan masing-masing dinilai dalam skala 1 sampai dengan 7. Semakin tinggi nilai rata-rata yang didapat suatu negara, semakin tinggi peringkat negara tersebut.
Posisi tiga besar seluruhnya ditempati negara Eropa; yaitu Swiss dengan nilai 5,63; diikuti Austria (5,43) dan Jerman (5,41). Australia berada di urutan keempat dengan nilai 5,34; diikuti Spanyol (5,30); Inggris (5,28); dan Amerika Serikat (5,28). Sebagai negara maju, pada umumnya mereka telah memiliki infrastruktur yang bagus, iklim usaha yang sudah terbentuk, dan sumber daya manusia yang handal.
Berada di urutan ke-80 – turun dibandingkan posisi ke-60 tahun lalu - Indonesia meraih nilai 3,70. Dibandingkan anggota ASEAN lain, Indonesia berada di bawah Singapura (urutan ke-16 dunia), Malaysia (32), dan Thailand (42). Tetangga ASEAN yang berada di bawah Indonesia adalah Filipina (81), Vietnam (96), dan Kamboja (112). Pada aspek regulasi, Indonesia mendapat nilai 3,8 dan berada di urutan ke-108. Pada empat dari lima sektor pada aspek ini, nilai Indonesia termasuk sangat rendah dan peringkatnya berada di atas 100. Bahkan pada bidang pelestarian lingkungan, Indonesia berada di urutan ke-126 atau nomor lima dari bawah. Satu-satunya sektor yang mendapatkan nilai tinggi adalah program pemerintah mendukung industri wisata. Nilai yang didapat adalah 5,7 (urutan ke-11). Nilai yang didapat pada aspek kedua, iklim usaha dan infrastruktur, adalah 3,2 atau urutan ke-86. Satu hal menarik untuk dicatat, yaitu harga barang dan jasa di Indonesia diakui sebagai yang paling kompetitif. Pada sektor tersebut Indonesia mendapatkan nilai 6 dan menduduki urutan pertama dari seluruh negara yang dinilai.
Sayangnya tingkat harga yang kompetitif tersebut belum ditopang oleh aspek lain, seperti sarana transportasi udara (urutan ke-61); sarana transportasi darat (98); sarana penunjang di objek wisata (109); dan sarana teknologi informasi (94). Akibatnya nilai rata-rata pada aspek kedua ini juga masih rendah.
Nilai Indonesia pada aspek ketiga - sumber daya – termasuk cukup bagus yaitu 4,2 atau berada di urutan ke-53. Pada sektor sumber daya alam kita menduduki peringkat ke-26 dan sumber daya manusia berada di peringkat ke-34. Yang mengejutkan adalah peringkat di bidang potensi budaya. WEF hanya memberi nilai 2,1 dan mendudukkan Indonesia pada urutan ke-80. Terasa mengejutkan karena selama ini wisata budaya termasuk salah satu sektor yang dijadikan andalan. Tiga negara ASEAN yang peringkatnya lebih baik dari kita semuanya menjadikan industri pariwisata sebagai prioritas. Tidak memiliki sumber daya alam melimpah, Singapura mengembangkan wisata belanja dan budaya sebagai andalan. Mereka juga memiliki infrastruktur
modern dan sumber daya manusia yang handal.
Malaysia menggabungkan sumber daya alam yang melimpah dengan infrastruktur yang modern dan harga yang kompetitif. Sedangkan Thailand yang kaya sumber daya alam namun belum memiliki infrastruktur sebagus Singapura dan Malaysia, menjadikan keunggulan sumber daya manusia sebagai andalan.
Terdapat kesamaan di antara ketiga negara tersebut: semuanya gencar melakukan promosi secara berimbang, ke luar dan ke dalam. Promosi ke luar ditujukan kepada konsumen mancanegara. Sedangkan promosi ke dalam ditujukan kepada kalangan di dalam negeri, khususnya mereka yang terkait – langsung maupun tidak langsung – dengan industri pariwisata.
Strategi tersebut terbukti berhasil. Pada tahun 2003 tiga negara ini (seperti juga Indonesia) menghadapi persoalan menurunnya jumlah wisman yang berkunjung. Namun wisman yang berkunjung ke tiga negara tersebut kembali meningkat pada tahun 2004 dan terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan catatan WEF, jumlah wisman yang berkunjung ke Malaysia pada tahun 2006 tercatat sebanyak 17,5 juta; ke Thailand 13,8 juta; dan ke Singapura 7,6 juta.
Indonesia justru kebalikannya. Setelah mengalami peningkatan cukup signifikan pada tahun 2004, jumlah wisman yang datang ke Indonesia justru menurun pada tahun-tahun berikutnya. WEF menyebut bahwa wisman yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 2006 hanya sebanyak 4,9 juta.
Penilaian WEF atas daya saing industri pariwisata Indonesia bukanlah vonis mati. Meski begitu, tidak berarti kita dapat mengabaikannya begitu saja. Disusun oleh lembaga internasional dengan reputasi tinggi, laporan tersebut layak mendapat perhatian pelaku industri pariwisata di Indonesia. Pertama, penilaian WEF dapat dijadikan acuan untuk mengukur tingkat keberhasilan industri pariwisata kita dan menetapkan prioritas ke depan. Keberhasilan mendapatkan nilai bagus pada sejumlah sektor selayaknya dipertahankan dan ditingkatkan. Sebaliknya, prioritas perlu ditetapkan pada sektor-sektor yang masih mendapatkan nilai rendah.
Keberhasilan (dan juga kegagalan) industri pariwisata tidak berada di tangan satu pihak tertentu, namun akan sangat bergantung pada kerjasama banyak pihak. Pembenahan infrastruktur, misalnya, memerlukan kerjasama pemerintah (pusat dan daerah) dan kalangan swasta. Sedangkan peningkatan iklim usaha yang kondusif juga memerlukan partisipasi publik sebagai tuan rumah bagi wisman yang berkunjung.
Kedua, laporan WEF juga bermanfaat untuk mengintip kiprah kompetitor kita. Sejauh mana mereka berhasil, apa mereka andalkan, apa yang mereka tidak miliki. Keberhasilan mereka dapat ditiru. Apa yang kita miliki namun tidak mereka miliki dapat dijadikan sektor unggulan. Kompetitor Indonesia tentu saja bukan negara-negara maju di belahan utara yang menawarkan wisata musim dingin. Lebih tepat apabila kita menoleh pada negara-negara yang membidik segmen pasar serupa dengan kita. Misalnya negara yang menawarkan perpaduan wisata alam tropis dan wisata budaya.
Ketiga, branding dan marketing memegang peran yang sangat penting. Pemerintah telah melakukan sejumlah program promosi wisata Indonesia, termasuk peluncuran program Visit Indonesia 2008. Yang menjadi persoalan adalah promosi tersebut terkesan lebih difokuskan ke dalam. Publikasi ke luar Indonesia melalui terasa tidak sehebat promosi di dalam negeri. Akibatnya publik di luar negeri, yang notabene merupakan pasar potensial, justru luput dari bidikan. Terlebih program ini tidak disertai dengan paket insentif bagi wisman yang berkunjung. Hal ini membuat Visit Indonesia 2008 sebagai barang dagangan lebih sulit untuk dijual.
Belajar dari publikasi WEF, tidak ada salahnya jika kita berharap tahun depan peringkat Indonesia akan meningkat. Lebih penting lagi, jumlah wisman yang datang juga bertambah dan industri pariwisata kita kembali bergairah.
Bagaimana menurut anda?
Sumber: http://tourism-indonesia.blogspot.com
Belum lama ini lembaga internasional terkemuka World Economic Forum (WEF) menerbitkan publikasi bertajuk Travel and Tourism Competitiveness Index 2008. WEF menyusun peringkat daya saing sektor pariwisata 130 negara di dunia berdasarkan hasil penilaian pada sejumlah indikator. Semakin tinggi peringkat suatu negara berarti semakin kompetitif sektor pariwisata negara tersebut.
Publikasi tersebut menarik untuk dicermati. Di tengah upaya pemerintah meningkatkan arus kunjungan wisatawan mancanegara (wisman), Indonesia hanya berada di urutan ke-80. Apa yang membuat peringkat Indonesia demikian rendah? Langkah apa yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya?
WEF menilai tiga aspek yang terkait dengan industri wisata yaitu regulasi, iklim usaha dan infrastruktur, serta sumber daya. Tiga aspek tersebut kemudian dibagi menjadi 14 sektor dan masing-masing dinilai dalam skala 1 sampai dengan 7. Semakin tinggi nilai rata-rata yang didapat suatu negara, semakin tinggi peringkat negara tersebut.
Posisi tiga besar seluruhnya ditempati negara Eropa; yaitu Swiss dengan nilai 5,63; diikuti Austria (5,43) dan Jerman (5,41). Australia berada di urutan keempat dengan nilai 5,34; diikuti Spanyol (5,30); Inggris (5,28); dan Amerika Serikat (5,28). Sebagai negara maju, pada umumnya mereka telah memiliki infrastruktur yang bagus, iklim usaha yang sudah terbentuk, dan sumber daya manusia yang handal.
Berada di urutan ke-80 – turun dibandingkan posisi ke-60 tahun lalu - Indonesia meraih nilai 3,70. Dibandingkan anggota ASEAN lain, Indonesia berada di bawah Singapura (urutan ke-16 dunia), Malaysia (32), dan Thailand (42). Tetangga ASEAN yang berada di bawah Indonesia adalah Filipina (81), Vietnam (96), dan Kamboja (112). Pada aspek regulasi, Indonesia mendapat nilai 3,8 dan berada di urutan ke-108. Pada empat dari lima sektor pada aspek ini, nilai Indonesia termasuk sangat rendah dan peringkatnya berada di atas 100. Bahkan pada bidang pelestarian lingkungan, Indonesia berada di urutan ke-126 atau nomor lima dari bawah. Satu-satunya sektor yang mendapatkan nilai tinggi adalah program pemerintah mendukung industri wisata. Nilai yang didapat adalah 5,7 (urutan ke-11). Nilai yang didapat pada aspek kedua, iklim usaha dan infrastruktur, adalah 3,2 atau urutan ke-86. Satu hal menarik untuk dicatat, yaitu harga barang dan jasa di Indonesia diakui sebagai yang paling kompetitif. Pada sektor tersebut Indonesia mendapatkan nilai 6 dan menduduki urutan pertama dari seluruh negara yang dinilai.
Sayangnya tingkat harga yang kompetitif tersebut belum ditopang oleh aspek lain, seperti sarana transportasi udara (urutan ke-61); sarana transportasi darat (98); sarana penunjang di objek wisata (109); dan sarana teknologi informasi (94). Akibatnya nilai rata-rata pada aspek kedua ini juga masih rendah.
Nilai Indonesia pada aspek ketiga - sumber daya – termasuk cukup bagus yaitu 4,2 atau berada di urutan ke-53. Pada sektor sumber daya alam kita menduduki peringkat ke-26 dan sumber daya manusia berada di peringkat ke-34. Yang mengejutkan adalah peringkat di bidang potensi budaya. WEF hanya memberi nilai 2,1 dan mendudukkan Indonesia pada urutan ke-80. Terasa mengejutkan karena selama ini wisata budaya termasuk salah satu sektor yang dijadikan andalan. Tiga negara ASEAN yang peringkatnya lebih baik dari kita semuanya menjadikan industri pariwisata sebagai prioritas. Tidak memiliki sumber daya alam melimpah, Singapura mengembangkan wisata belanja dan budaya sebagai andalan. Mereka juga memiliki infrastruktur
modern dan sumber daya manusia yang handal.
Malaysia menggabungkan sumber daya alam yang melimpah dengan infrastruktur yang modern dan harga yang kompetitif. Sedangkan Thailand yang kaya sumber daya alam namun belum memiliki infrastruktur sebagus Singapura dan Malaysia, menjadikan keunggulan sumber daya manusia sebagai andalan.
Terdapat kesamaan di antara ketiga negara tersebut: semuanya gencar melakukan promosi secara berimbang, ke luar dan ke dalam. Promosi ke luar ditujukan kepada konsumen mancanegara. Sedangkan promosi ke dalam ditujukan kepada kalangan di dalam negeri, khususnya mereka yang terkait – langsung maupun tidak langsung – dengan industri pariwisata.
Strategi tersebut terbukti berhasil. Pada tahun 2003 tiga negara ini (seperti juga Indonesia) menghadapi persoalan menurunnya jumlah wisman yang berkunjung. Namun wisman yang berkunjung ke tiga negara tersebut kembali meningkat pada tahun 2004 dan terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan catatan WEF, jumlah wisman yang berkunjung ke Malaysia pada tahun 2006 tercatat sebanyak 17,5 juta; ke Thailand 13,8 juta; dan ke Singapura 7,6 juta.
Indonesia justru kebalikannya. Setelah mengalami peningkatan cukup signifikan pada tahun 2004, jumlah wisman yang datang ke Indonesia justru menurun pada tahun-tahun berikutnya. WEF menyebut bahwa wisman yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 2006 hanya sebanyak 4,9 juta.
Penilaian WEF atas daya saing industri pariwisata Indonesia bukanlah vonis mati. Meski begitu, tidak berarti kita dapat mengabaikannya begitu saja. Disusun oleh lembaga internasional dengan reputasi tinggi, laporan tersebut layak mendapat perhatian pelaku industri pariwisata di Indonesia. Pertama, penilaian WEF dapat dijadikan acuan untuk mengukur tingkat keberhasilan industri pariwisata kita dan menetapkan prioritas ke depan. Keberhasilan mendapatkan nilai bagus pada sejumlah sektor selayaknya dipertahankan dan ditingkatkan. Sebaliknya, prioritas perlu ditetapkan pada sektor-sektor yang masih mendapatkan nilai rendah.
Keberhasilan (dan juga kegagalan) industri pariwisata tidak berada di tangan satu pihak tertentu, namun akan sangat bergantung pada kerjasama banyak pihak. Pembenahan infrastruktur, misalnya, memerlukan kerjasama pemerintah (pusat dan daerah) dan kalangan swasta. Sedangkan peningkatan iklim usaha yang kondusif juga memerlukan partisipasi publik sebagai tuan rumah bagi wisman yang berkunjung.
Kedua, laporan WEF juga bermanfaat untuk mengintip kiprah kompetitor kita. Sejauh mana mereka berhasil, apa mereka andalkan, apa yang mereka tidak miliki. Keberhasilan mereka dapat ditiru. Apa yang kita miliki namun tidak mereka miliki dapat dijadikan sektor unggulan. Kompetitor Indonesia tentu saja bukan negara-negara maju di belahan utara yang menawarkan wisata musim dingin. Lebih tepat apabila kita menoleh pada negara-negara yang membidik segmen pasar serupa dengan kita. Misalnya negara yang menawarkan perpaduan wisata alam tropis dan wisata budaya.
Ketiga, branding dan marketing memegang peran yang sangat penting. Pemerintah telah melakukan sejumlah program promosi wisata Indonesia, termasuk peluncuran program Visit Indonesia 2008. Yang menjadi persoalan adalah promosi tersebut terkesan lebih difokuskan ke dalam. Publikasi ke luar Indonesia melalui terasa tidak sehebat promosi di dalam negeri. Akibatnya publik di luar negeri, yang notabene merupakan pasar potensial, justru luput dari bidikan. Terlebih program ini tidak disertai dengan paket insentif bagi wisman yang berkunjung. Hal ini membuat Visit Indonesia 2008 sebagai barang dagangan lebih sulit untuk dijual.
Belajar dari publikasi WEF, tidak ada salahnya jika kita berharap tahun depan peringkat Indonesia akan meningkat. Lebih penting lagi, jumlah wisman yang datang juga bertambah dan industri pariwisata kita kembali bergairah.
Bagaimana menurut anda?
Sumber: http://tourism-indonesia.blogspot.com