Badung, Bali - Perang tak selalu menimbulkan permusuhan dan korban jiwa. Kalimat ini adalah gambaran dari tradisi Grebek Mekotek atau perang kayu yang selalu dilakukan warga Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, di setiap perayaan Kuningan.
Perang ini berbeda dari perang pada umumnya. Tidak ada senjata tajam dan satu sama lain tidak saling menyerang. Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain.
Seribu lebih warga dari 12 banjar di desa Munggu ikut serta dalam tradisi yang diwariskan saat perayaan kemenangan perang Blambangan pada masa kerajaan silam. Setiap warga yang mengikuti Mekotek diwajibkan membawa sebuah kayu jenis pulet yang panjangnya sekitar 3,5 meter.
Warga kemudian terbagi dalam beberapa kelompok dan menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga berbentuk kerucut. Kemudian, ada salah seorang warga yang naik di atas tumpukan kayu tersebut untuk ditabrakkan dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu yang lain.
Selain sebagai simbol kemenangan, Mekotek juga merupakan upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa ini puluhan tahun lalu. "Pada tahun 1915, Belanda melarang diadakannya tradisi Mekotek karena takut terjadi pemberontakan, kemudian munculah bencana berupa wabah penyakit yang menewaskan 10 orang setiap harinya," ujar Ketua Kerta Desa Munggu Ida Bagus Gede Mahadewa, Minggu (23/5/10).
"Setelah itu, kami melakukan negosiasi dengan Belanda dan akhirnya diizinkan kembali untuk menggelar kembali tradisi ini dan tidak pernah ada lagi bencana seperti sebelumnya," tambahnya.
Warga yang ikut dalam tradisi Mekotek ini mulai dari umur 12 tahun hingga 60 tahun. Generasi muda sengaja dilibatkan untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya asli Desa Munggu ini.
Sumber: http://www.tribunnews.com
Perang ini berbeda dari perang pada umumnya. Tidak ada senjata tajam dan satu sama lain tidak saling menyerang. Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain.
Seribu lebih warga dari 12 banjar di desa Munggu ikut serta dalam tradisi yang diwariskan saat perayaan kemenangan perang Blambangan pada masa kerajaan silam. Setiap warga yang mengikuti Mekotek diwajibkan membawa sebuah kayu jenis pulet yang panjangnya sekitar 3,5 meter.
Warga kemudian terbagi dalam beberapa kelompok dan menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga berbentuk kerucut. Kemudian, ada salah seorang warga yang naik di atas tumpukan kayu tersebut untuk ditabrakkan dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu yang lain.
Selain sebagai simbol kemenangan, Mekotek juga merupakan upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa ini puluhan tahun lalu. "Pada tahun 1915, Belanda melarang diadakannya tradisi Mekotek karena takut terjadi pemberontakan, kemudian munculah bencana berupa wabah penyakit yang menewaskan 10 orang setiap harinya," ujar Ketua Kerta Desa Munggu Ida Bagus Gede Mahadewa, Minggu (23/5/10).
"Setelah itu, kami melakukan negosiasi dengan Belanda dan akhirnya diizinkan kembali untuk menggelar kembali tradisi ini dan tidak pernah ada lagi bencana seperti sebelumnya," tambahnya.
Warga yang ikut dalam tradisi Mekotek ini mulai dari umur 12 tahun hingga 60 tahun. Generasi muda sengaja dilibatkan untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya asli Desa Munggu ini.
Sumber: http://www.tribunnews.com