Oleh: Faustinus Handi
Suku Sasak, Lombok Tengah, biasa menggunakan kotoran kerbau untuk melapisi lantai rumah agar tidak lembap.
"Selamat datang di Dusun Sade!" "Pernah membayangkan tinggal di rumah yang lantainya berlapis kotoran kerbau?" Pertanyaan Thalib, pemuda suku Sasak, 25 tahun, menjadi pembuka perkenalan saya dengan dusun itu. Sore itu, awal Maret 2008, saya sedang berada di sebuah dusun tradisional suku Sasak di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Thalib adalah satu dari 12 pemuda dusun yang ditugaskan sebagai penerima tamu yang hendak berkunjung. Dari dialah keunikan dusun tradisional Sasak ini terentang di hadapan saya. Saat mendengar prolog pertanyaan di atas, saya belum sadar bahwa kali ini kesan perjalanan akan berbeda. Tidak seperti biasanya yang banyak mengeksplorasi alam pemandangan, kali ini perziarahan budaya manusia, melalui apa yang kita sebut rumah. "Hanya ada tiga dusun seperti ini di Pulau Lombok, Pak," kata Thalib, "Dusun Limbungan di Perigi Lombok Timur, Dusun Segenter di Bayan, Lombok Barat, dan ini, Dusun Sade." Dusun Sade bisa dikatakan sebagai sisa-sisa kebudayaan Sasak lama yang mencoba bertahan sejak zaman Kerajaan Penjanggik di Praya, Lombok Tengah. Matahari sore belum terlalu tua sehingga suasana nyaman, tidak panas. Dusun Sade, yang berjarak kira-kira 70 kilometer dari Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat, sedang menjalankan aktivitas keseharian sore harinya. Ibu dan gadis-gadis duduk di beranda rumah; yang lain sedang menenun kain. Anak-anak kecil berlarian di halaman tanah cokelat tua. Beberapa laki-laki dewasa mengasah potongan tanduk kerbau yang hendak dijadikan suvenir. Sebagian duduk melingkar di rumah bambu. Seekor anjing kurus mengejar ayam di bawah jemuran yang belum diangkat. Sambil memperhatikan sekeliling, saya terus mengamati karakteristik bangunan yang unik di dusun ini. Entah mengapa, saya suka mengamati desain rumah. Mungkin karena rumah adalah cermin bagaimana manusia memandang diri, menanggapi dan beradaptasi dengan lingkungan di luar dirinya. Ternyata, mengenal rumah yang lazim disebut bale di Dusun Sade ini menciptakan oase budaya tersendiri di pikiran saya. Estetika yang linier dengan filosofi hidup mereka sehari-hari. Dari pola dan bentuk bangunan, 150 rumah (angka ini dari Thalib) di dusun ini seragam. Ukuran juga hampir sama, kira-kita 7 x 5 meter. Dinding umumnya terbuat dari bambu, atap dari rumbia. Bahan-bahan yang banyak ditemui di sekitar dusun, yang menyatakan kedekatan mereka dengan hasil alam yang ada di sekitarnya. Rumah menghadap ke Gunung Rinjani (3.376 meter di atas permukaan laut). Sebagai gunung tertinggi di Pulau Lombok, tempat roh-roh leluhur, tradisi penghormatan bagi masyarakat Sasak adalah dengan mengarahkan atap depan mereka ke gunung itu. Tidak hanya rumah, bangunan yang ada di Dusun Sade juga beragam. Ada lumbung tempat menyimpan padi dan kandang (bare) ternak. Bentuk lumbung padi inilah yang dijadikan simbol bangunan Lombok. Hampir semua bangunan pemerintah dan gedung-gedung besar atap depan dibentuk menyerupai lumbung padi ini. Saya teringat kayu bersilang di atap rumah yang menjadi identitas rumah-rumah di Pontianak, Palangkaraya, dan Banjarmasin, ataupun atap meruncing di Sumatera Barat. Keberadaan lumbung ini menyiratkan sifat agraris masyarakat yang hidup dari pertanian. Tanah di Lombok subur karena Gunung Rinjani adalah gunung api yang kegiatan vulkaniknya pada masa lalu telah membuat tanah kaya akan unsur hara, sama seperti Pulau Jawa. "Tapi, jangan keliru. Yang jadi rumah khas Sasak bukan lumbung itu, tapi berugak, bangunan panggung yang disebut berugak sekepet (bertiang empat) atau sekenem (bertiang enam)," kata Thalib menambahkan. Ia lalu menunjukkan bangunan yang dimaksud. Saya pikir bangunan itu bakal sangat khas, ternyata salah. Bentuk bangunan itu begitu familiar. Rumah panggung, dengan tiang bambu, lantai setinggi sekitar satu meter, tanpa dinding, atap dari alang-alang. Bayangkan pondok petani di sawah, seperti itulah berugak. Thalib lalu mengajak saya masuk ke suatu rumah, rumahnya sendiri. Rumah itu gelap, tanpa jendela. Rupanya semua rumah di Dusun Sade ini memang dibuat tanpa jendela! Hanya pintu yang muka rumah itu sebagai penghubung ke luar atau masuk ke dalam. Ini bermakna bahwa hidup manusia itu harus punya aturan yang tunggal, ada yang dijaga dan tidak boleh dilanggar. Yang cukup mengherankan saya ialah bahwa pintu rumah dibuat rendah, hanya sedada orang dewasa. Jadi, siapa pun, kecuali anak kecil, jika ingin masuk harus menunduk. Barangkali inilah bentuk penghormatan kepada si empunya rumah. Ruangan rumah dibagi menjadi bale dalam dan bale luar. Ruangan bale dalem adalah ruang yang sedikit lebih privat, dilengkapi amben untuk tidur dan dapur yang berisi peralatan masak. Di bale luar ada ruang tamu (tanpa kursi) dengan pintu masuk bergeser. Nah, yang menarik di sini adalah tangga yang menghubungkan bale dalam dengan bale luar. Sejarah bagaimana orang Sasak beradaptasi dengan Islam dapat dilihat dari jumlah anak tangganya. Dulu, seperti dituturkan Thalib, jumlah anak tangga tersebut tiga, sesuai dengan kepercayaan nenek moyang mereka, yakni Watu Telu, bahwa hidup manusia termaknai: lahir, tumbuh, dan mati. Saat Islam masuk, Watu Telu juga dimaknai sebagai waktu salat yang hanya tiga kali sehari. Saat ini, setelah pemahaman akan Islam sudah diterima masuk secara penuh, ditambahkanlah dua anak tangga tambahan guna melengkapi waktu-waktu salat yang kurang. Hanya, untuk pengingat dan penghormatan kepada adat dan tradisi, anak tangga keempat dan kelima tidak dengan serta-merta ditambahkan selepas anak tangga ketiga, melainkan setelah diberi lantai kecil. Lantai rumah adalah campuran tanah, getah pohon, abu jerami yang diolesi kotoran kerbau. Wah, apa tidak bau? Thalib tertawa dan berkata bahwa rumah tersebut ditempati jika kotoran kerbaunya telah mengering. Kotoran kerbau diperlukan untuk menghindari kelembapan tanah yang langsung digunakan sebagai lantai. Hmm... ini salah satu bentuk kearifan lokal lagi yang saya temui. Kemudian, kami ke luar rumah Thalib dan berjalan terus memutari dusun. Rumah bagi Thalib dan orang-orang Dusun Sade ini menjadi sesuatu yang sangat filosofis. Bukan hanya sebagai tempat berlindung, melainkan juga sebagai simbol kehidupan mereka sendiri. Mungkin bisa diibaratkan orang Dayak dengan hutannya, orang Banjar dengan sungainya, dan juga orang Wajo dengan lautnya. Barangkali begitu, sebab saya bukan antropolog. Di beberapa lorong dan sudut, berdiri anak-anak kecil 10 tahunan yang memandang saya. Sebagian hanya memandang, sebagian menawarkan gelang, kalung, untaian manik-manik. Sebagian lagi mengucap dengan lantang, "Pak, minta uang?" Itu terjadi berulang-ulang. Mau tidak mau, saya teringat pengemis-pengemis yang dijumpai di perempatan Jakarta saat lampu merah. Hei, ada anak kecil, kira-kira berumur tiga tahun dengan sebuah gendang berwarna ungu. Melihat saya membawa kamera, spontan si bocah bergerak seperti menari sambil menggebuk gendang tersebut. Nada yang keluar tentu saja tidak beraturan, tapi kerumunan orang-orang yang sedang berkumpul di berugak (sedang begibung, bahasa lokalnya) dekat situ bersorak kecil. "Itu namanya gendang beli," kata Thalib. "Digunakan saat ada upacara lamaran pihak laki-laki terhadap keluarga perempuan. Dan khusus di kampung ini, karena dalam acara perkawinan dibutuhkan adat yang rumit, mahar dan upacara-upacara yang mahal, bisa puluhan gram emas, beberapa kerbau terbaik, dan lain-lain, jarang ada lelaki luar yang sanggup mengambil gadis asli kampung. Akibatnya, yang terjadi adalah pernikahan antarsaudara, sebab pada hakikatnya semua di kampung ini masih berhubungan darah." Di suatu rumah, yang agaknya dijadikan tempat penjualan suvenir kain dan gantungan kunci, saya tertarik mengamati motif-motif apa yang mendominasi. Ternyata, motif cecak! Apa pasal? Rupanya, cecak adalah lambang keberuntungan bagi mereka. Ukiran-ukiran cecak pada tanduk kerbau, indah sebagai pajangan dinding. Atau, gantungan kunci kecil sebagai oleh-oleh. Kain tenun tangan yang dipajang juga halus, dan dibuat dengan ketelitian tinggi. Tak terasa, hampir pukul lima sore dan saya masih akan ke Kuta yang jaraknya tinggal tujuh kilometer dari Dusun Sade. Kuta ini pantai yang indah, karena berupa teluk kecil dengan pantai bertipologi landai, berpasir putih. Tak heran, Novotel mendirikan hotel di sini. Kata orang, indahnya senja di situ tidak kalah dengan Sekotong di Lombok Barat, tempat yang saya datangi sehari sebelumnya. Lombok juga punya pantai Kuta! Banyak yang bilang, waktu wisata paling pas ke Lombok Tengah adalah saat pesta Nyale, yakni pesta memanen cacing laut, digelar tiap akhir Februari atau awal Maret. Kegiatan wisata bisa dimulai dari Dusun Sade, Pantai Kuta, atau ke Seger, berpesta Nyale. Sayang, saya terlambat datang ke Lombok, karena tahun ini pesta Nyale sudah dilaksanakan pada 26 Februari 2008. Saat berpamitan dengan Thalib setelah memasukkan sejumlah uang ke kotak kas dusun di gerbang masuk--juga ke tangannya setelah diminta lagi (buat rokok, katanya)--saya memandang lagi deretan rumah-rumah yang memanjang mengikuti relief dan topografi yang sedikit menanjak ini. Pohon rimbun di tepi gerbang tampak kukuh, tapi tembok-tembok bata yang membatasinya dengan jalan tampak kusam dan kumuh. Ada sepasang bule yang masuk dan langsung ditemani pemandu lain teman Thalib. Alam membentuk karakter manusia, manusia lalu membentuk budaya. Lewat rumah tempat hidupnya, orang Sasak di Dusun Sade ini memperlihatkan itu semua: kearifan lokal, memuja tradisi, sekaligus beradaptasi dengan tradisi lain, dan modernisme: ada antena televisi di antara rumah-rumah tersebut. Sampai kapan mereka bertahan, ketika pariwisata dengan gemerincing uangnya mulai mempengaruhi Lombok sebagai tetangga Bali: bagaimana budaya adaptasi dibentuk, dan bagaimana manusia memandang manusia lain?
Faustinus Handi, surveyor, tinggal di Jakarta
Sumber: http://www.korantempo.com
Suku Sasak, Lombok Tengah, biasa menggunakan kotoran kerbau untuk melapisi lantai rumah agar tidak lembap.
"Selamat datang di Dusun Sade!" "Pernah membayangkan tinggal di rumah yang lantainya berlapis kotoran kerbau?" Pertanyaan Thalib, pemuda suku Sasak, 25 tahun, menjadi pembuka perkenalan saya dengan dusun itu. Sore itu, awal Maret 2008, saya sedang berada di sebuah dusun tradisional suku Sasak di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Thalib adalah satu dari 12 pemuda dusun yang ditugaskan sebagai penerima tamu yang hendak berkunjung. Dari dialah keunikan dusun tradisional Sasak ini terentang di hadapan saya. Saat mendengar prolog pertanyaan di atas, saya belum sadar bahwa kali ini kesan perjalanan akan berbeda. Tidak seperti biasanya yang banyak mengeksplorasi alam pemandangan, kali ini perziarahan budaya manusia, melalui apa yang kita sebut rumah. "Hanya ada tiga dusun seperti ini di Pulau Lombok, Pak," kata Thalib, "Dusun Limbungan di Perigi Lombok Timur, Dusun Segenter di Bayan, Lombok Barat, dan ini, Dusun Sade." Dusun Sade bisa dikatakan sebagai sisa-sisa kebudayaan Sasak lama yang mencoba bertahan sejak zaman Kerajaan Penjanggik di Praya, Lombok Tengah. Matahari sore belum terlalu tua sehingga suasana nyaman, tidak panas. Dusun Sade, yang berjarak kira-kira 70 kilometer dari Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat, sedang menjalankan aktivitas keseharian sore harinya. Ibu dan gadis-gadis duduk di beranda rumah; yang lain sedang menenun kain. Anak-anak kecil berlarian di halaman tanah cokelat tua. Beberapa laki-laki dewasa mengasah potongan tanduk kerbau yang hendak dijadikan suvenir. Sebagian duduk melingkar di rumah bambu. Seekor anjing kurus mengejar ayam di bawah jemuran yang belum diangkat. Sambil memperhatikan sekeliling, saya terus mengamati karakteristik bangunan yang unik di dusun ini. Entah mengapa, saya suka mengamati desain rumah. Mungkin karena rumah adalah cermin bagaimana manusia memandang diri, menanggapi dan beradaptasi dengan lingkungan di luar dirinya. Ternyata, mengenal rumah yang lazim disebut bale di Dusun Sade ini menciptakan oase budaya tersendiri di pikiran saya. Estetika yang linier dengan filosofi hidup mereka sehari-hari. Dari pola dan bentuk bangunan, 150 rumah (angka ini dari Thalib) di dusun ini seragam. Ukuran juga hampir sama, kira-kita 7 x 5 meter. Dinding umumnya terbuat dari bambu, atap dari rumbia. Bahan-bahan yang banyak ditemui di sekitar dusun, yang menyatakan kedekatan mereka dengan hasil alam yang ada di sekitarnya. Rumah menghadap ke Gunung Rinjani (3.376 meter di atas permukaan laut). Sebagai gunung tertinggi di Pulau Lombok, tempat roh-roh leluhur, tradisi penghormatan bagi masyarakat Sasak adalah dengan mengarahkan atap depan mereka ke gunung itu. Tidak hanya rumah, bangunan yang ada di Dusun Sade juga beragam. Ada lumbung tempat menyimpan padi dan kandang (bare) ternak. Bentuk lumbung padi inilah yang dijadikan simbol bangunan Lombok. Hampir semua bangunan pemerintah dan gedung-gedung besar atap depan dibentuk menyerupai lumbung padi ini. Saya teringat kayu bersilang di atap rumah yang menjadi identitas rumah-rumah di Pontianak, Palangkaraya, dan Banjarmasin, ataupun atap meruncing di Sumatera Barat. Keberadaan lumbung ini menyiratkan sifat agraris masyarakat yang hidup dari pertanian. Tanah di Lombok subur karena Gunung Rinjani adalah gunung api yang kegiatan vulkaniknya pada masa lalu telah membuat tanah kaya akan unsur hara, sama seperti Pulau Jawa. "Tapi, jangan keliru. Yang jadi rumah khas Sasak bukan lumbung itu, tapi berugak, bangunan panggung yang disebut berugak sekepet (bertiang empat) atau sekenem (bertiang enam)," kata Thalib menambahkan. Ia lalu menunjukkan bangunan yang dimaksud. Saya pikir bangunan itu bakal sangat khas, ternyata salah. Bentuk bangunan itu begitu familiar. Rumah panggung, dengan tiang bambu, lantai setinggi sekitar satu meter, tanpa dinding, atap dari alang-alang. Bayangkan pondok petani di sawah, seperti itulah berugak. Thalib lalu mengajak saya masuk ke suatu rumah, rumahnya sendiri. Rumah itu gelap, tanpa jendela. Rupanya semua rumah di Dusun Sade ini memang dibuat tanpa jendela! Hanya pintu yang muka rumah itu sebagai penghubung ke luar atau masuk ke dalam. Ini bermakna bahwa hidup manusia itu harus punya aturan yang tunggal, ada yang dijaga dan tidak boleh dilanggar. Yang cukup mengherankan saya ialah bahwa pintu rumah dibuat rendah, hanya sedada orang dewasa. Jadi, siapa pun, kecuali anak kecil, jika ingin masuk harus menunduk. Barangkali inilah bentuk penghormatan kepada si empunya rumah. Ruangan rumah dibagi menjadi bale dalam dan bale luar. Ruangan bale dalem adalah ruang yang sedikit lebih privat, dilengkapi amben untuk tidur dan dapur yang berisi peralatan masak. Di bale luar ada ruang tamu (tanpa kursi) dengan pintu masuk bergeser. Nah, yang menarik di sini adalah tangga yang menghubungkan bale dalam dengan bale luar. Sejarah bagaimana orang Sasak beradaptasi dengan Islam dapat dilihat dari jumlah anak tangganya. Dulu, seperti dituturkan Thalib, jumlah anak tangga tersebut tiga, sesuai dengan kepercayaan nenek moyang mereka, yakni Watu Telu, bahwa hidup manusia termaknai: lahir, tumbuh, dan mati. Saat Islam masuk, Watu Telu juga dimaknai sebagai waktu salat yang hanya tiga kali sehari. Saat ini, setelah pemahaman akan Islam sudah diterima masuk secara penuh, ditambahkanlah dua anak tangga tambahan guna melengkapi waktu-waktu salat yang kurang. Hanya, untuk pengingat dan penghormatan kepada adat dan tradisi, anak tangga keempat dan kelima tidak dengan serta-merta ditambahkan selepas anak tangga ketiga, melainkan setelah diberi lantai kecil. Lantai rumah adalah campuran tanah, getah pohon, abu jerami yang diolesi kotoran kerbau. Wah, apa tidak bau? Thalib tertawa dan berkata bahwa rumah tersebut ditempati jika kotoran kerbaunya telah mengering. Kotoran kerbau diperlukan untuk menghindari kelembapan tanah yang langsung digunakan sebagai lantai. Hmm... ini salah satu bentuk kearifan lokal lagi yang saya temui. Kemudian, kami ke luar rumah Thalib dan berjalan terus memutari dusun. Rumah bagi Thalib dan orang-orang Dusun Sade ini menjadi sesuatu yang sangat filosofis. Bukan hanya sebagai tempat berlindung, melainkan juga sebagai simbol kehidupan mereka sendiri. Mungkin bisa diibaratkan orang Dayak dengan hutannya, orang Banjar dengan sungainya, dan juga orang Wajo dengan lautnya. Barangkali begitu, sebab saya bukan antropolog. Di beberapa lorong dan sudut, berdiri anak-anak kecil 10 tahunan yang memandang saya. Sebagian hanya memandang, sebagian menawarkan gelang, kalung, untaian manik-manik. Sebagian lagi mengucap dengan lantang, "Pak, minta uang?" Itu terjadi berulang-ulang. Mau tidak mau, saya teringat pengemis-pengemis yang dijumpai di perempatan Jakarta saat lampu merah. Hei, ada anak kecil, kira-kira berumur tiga tahun dengan sebuah gendang berwarna ungu. Melihat saya membawa kamera, spontan si bocah bergerak seperti menari sambil menggebuk gendang tersebut. Nada yang keluar tentu saja tidak beraturan, tapi kerumunan orang-orang yang sedang berkumpul di berugak (sedang begibung, bahasa lokalnya) dekat situ bersorak kecil. "Itu namanya gendang beli," kata Thalib. "Digunakan saat ada upacara lamaran pihak laki-laki terhadap keluarga perempuan. Dan khusus di kampung ini, karena dalam acara perkawinan dibutuhkan adat yang rumit, mahar dan upacara-upacara yang mahal, bisa puluhan gram emas, beberapa kerbau terbaik, dan lain-lain, jarang ada lelaki luar yang sanggup mengambil gadis asli kampung. Akibatnya, yang terjadi adalah pernikahan antarsaudara, sebab pada hakikatnya semua di kampung ini masih berhubungan darah." Di suatu rumah, yang agaknya dijadikan tempat penjualan suvenir kain dan gantungan kunci, saya tertarik mengamati motif-motif apa yang mendominasi. Ternyata, motif cecak! Apa pasal? Rupanya, cecak adalah lambang keberuntungan bagi mereka. Ukiran-ukiran cecak pada tanduk kerbau, indah sebagai pajangan dinding. Atau, gantungan kunci kecil sebagai oleh-oleh. Kain tenun tangan yang dipajang juga halus, dan dibuat dengan ketelitian tinggi. Tak terasa, hampir pukul lima sore dan saya masih akan ke Kuta yang jaraknya tinggal tujuh kilometer dari Dusun Sade. Kuta ini pantai yang indah, karena berupa teluk kecil dengan pantai bertipologi landai, berpasir putih. Tak heran, Novotel mendirikan hotel di sini. Kata orang, indahnya senja di situ tidak kalah dengan Sekotong di Lombok Barat, tempat yang saya datangi sehari sebelumnya. Lombok juga punya pantai Kuta! Banyak yang bilang, waktu wisata paling pas ke Lombok Tengah adalah saat pesta Nyale, yakni pesta memanen cacing laut, digelar tiap akhir Februari atau awal Maret. Kegiatan wisata bisa dimulai dari Dusun Sade, Pantai Kuta, atau ke Seger, berpesta Nyale. Sayang, saya terlambat datang ke Lombok, karena tahun ini pesta Nyale sudah dilaksanakan pada 26 Februari 2008. Saat berpamitan dengan Thalib setelah memasukkan sejumlah uang ke kotak kas dusun di gerbang masuk--juga ke tangannya setelah diminta lagi (buat rokok, katanya)--saya memandang lagi deretan rumah-rumah yang memanjang mengikuti relief dan topografi yang sedikit menanjak ini. Pohon rimbun di tepi gerbang tampak kukuh, tapi tembok-tembok bata yang membatasinya dengan jalan tampak kusam dan kumuh. Ada sepasang bule yang masuk dan langsung ditemani pemandu lain teman Thalib. Alam membentuk karakter manusia, manusia lalu membentuk budaya. Lewat rumah tempat hidupnya, orang Sasak di Dusun Sade ini memperlihatkan itu semua: kearifan lokal, memuja tradisi, sekaligus beradaptasi dengan tradisi lain, dan modernisme: ada antena televisi di antara rumah-rumah tersebut. Sampai kapan mereka bertahan, ketika pariwisata dengan gemerincing uangnya mulai mempengaruhi Lombok sebagai tetangga Bali: bagaimana budaya adaptasi dibentuk, dan bagaimana manusia memandang manusia lain?
Faustinus Handi, surveyor, tinggal di Jakarta
Sumber: http://www.korantempo.com