Oleh : Munawir Aziz*
Judul Buku : Raden Saleh; Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme
Penulis : Harsja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey, Onghokham
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta
Cetakan : I, 2010
Tebal : xl + 194
Abad 19 merupakan gerbang terbukanya jalur pendidikan penduduk pribumi, untuk belajar di Eropa. Dengan segenap intelektualitas dan bakat seninya, Raden Saleh memperoleh beasiswa menghirup nafas pendidikan di Eropa. Awal mula tersebarnya gagasan kemerdekaan dan usaha menentang kolonialisme dengan cerdik.
Raden Saleh, sebagai salah satu pelukis besar yang dimiliki bangsa ini, lahir untuk mencetak sejarah. Sebagai putra dari salah seorang pegawai dan penerjemah untuk Belanda, Raden Saleh memulai liku-liku pengembaraanya sebagai pelukis dengan nuansa tragedi dan ironi.
Buku “Raden Saleh; Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme” yang ditulis bersama oleh Harsja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey dan Onghokham berusaha menjelaskan posisi Raden Saleh dalam ruang intelektualitas dan kesenian secara jernih. Buku ini mengupayakan telaah atas kerja keras, ironi, tragedi dan espektasi yang melingkupi kehidupan pelukis besar negeri ini. Raden Saleh tak hanya menacapkan tonggak pelukis masyhur, namun mengupayakan sebaran ide, kampanye kemerdekaan dan pemihakan kepada kaumnya dengan alur strategi kesenian yang cantik.
Ruang gerak kehidupan Raden Saleh memang penuh dengan politik etis kolonialisme. Harus diakui, Raden Saleh merupakan salah satu putra pribumi yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern di Eropa. Raden Saleh menginjakkan kakinya untuk menghirup udara pendidikan eropa pada 1829, sebelum Sosrokartono (1896) dan Abdul Rivai (1899) melakukan lawatan yang sama.
Bakat besar yang dimiliki Raden Saleh mengundang simpati dari berbagai pembesar dan bangsawan masa itu. Politik diplomasi dan strategi kesenian yang dilakukan Raden Saleh berhasil menghantarkan dirinya untuk berselancar menikmati dan mempelajari perkembangan seni lukis di daratan Eropa.
Alur Sejarah
Raden Saleh hidup dengan bentang benang sejarang yang kusut. Harsja W. Bachtiar menuliskan dengan jernih, sejarah kehidupan dan perkembangan mental Raden Saleh. Sejarah kelahiran Raden Saleh, masih membuka perdebatan sengit. Pasalnya, tahun 1814, sebagai titi mangsa kelahirannya, diperdebatkan banyak sejarawan. Raden saleh dilahirkan di Terboyo, Semarang, Jawa Tengah, pada 1814, tanggal ini milik Raden Saleh sendiri. Ayahnya bernama Sayid Husein bin Alwi bin Awal dan ibunya bernama mas Ajeng Zarip Husen. Keduanya merupakan cucu dari Kyai Ngabehi Ketosobo Bustam (1681-1759), seorang asisten residen Terboyo.
Raden Saleh menghabiskan masa kecilnya di kediaman Kyai Adipati Soero Menggolo, Bupati Semarang, hingga tahun 1822. Sang Bupati merupakan pamannya sendiri, karena Suro adalah anak ketujuh Kakek Buyut Raden Saleh, Kyai Ngabehi Kertosobo Bustam.
Bakat alam Raden Saleh tercium oleh Antonie Auguste Joseph Paijen (1792-1853), ketika tinggal di Bogor. Paijen berkebangsaan Belgia, yang bekerja sebagai pelukis seni pemerintah bagi Profesor C.G.C Reinwardt yang menjabat sebagai Direktur Pertanian, Seni dan Ilmu. Reindwardt masyhur sebagai pendiri kebun raya Bogor.
Selepas Paijen kembali ke Eropa pada awal 1825, Raden Saleh beralih menjadi bagian keluarga Belgia, Jean Baptise de Linge dan istrinya. Pada 1829, de Linge diperintahkan oleh Komisaris Jendral du Bus de Gesignies untuk melakukan perjalanan ke Belanda. De Linge ditugaskan untuk melaporkan kondisi finansial koloni pada raja. Inilah awal pengembaraan Raden Saleh untuk belajar dan mengasah insting seninya di Eropa.
Di Eropa, Raden Saleh mendapat kesempatan berkenalan dengan pelukis dan seniman yang menduduki posisi puncak di lingkaran kerajaan-kerajaan eropa. Raden Saleh juga menjalin hubungan akrab dengan beberapa penguasa kerajaan Eropa, diantaranya Raja Friedrich August II dari Saxony. Pelukis ini juga menetap di Coburg, Gotha dan Paris.
Setelah menjelajah Eropa, pada 1851, Raden pulang ke tanah air, setelah melakukan lawatan panjang ke eropa. Sebelum kembali ke Jawa, Raden Saleh menikah dengan Nona Winkelman, yang menjadi istri pertamanya.
Jejak Nasionalisme
Kisah kehidupan Raden Saleh dibingkai dengan pikiran orientalisme, ketegangan kolonialisme, dan beban mental inlander yang menjangkiti warga pribumi yang terjajah. Namun, Raden Saleh dapat melampui penjara mental yang mengekang kehidupan. Dia berhasil memukau petinggi-bangsawan eropa dengan lukisan artistik dan menyentuh. Sikap kosmopolitan yang dipraktikkan Raden Saleh, mengekalkan namanya sebagai pelukis masyhur yang mendapat tempat pada perbincangan kesenian Eropa.
Nilai artistik, pola kebangsawanan dan agenda diplomasi kesenian yang dilakukan Raden Saleh tak lantas menjadikannya melupakan teriakan warga pribumi pada zamannya. Raden Saleh berjasa besar dalam membentuk citra, menyimpulkan tanda dan menjelaskan fragmen perjuangan warga pribumi pada karya lukis bernilai estetis.
Keprihatinan pada nasib pribumi, menemukan puncak ketika merasakan kegetiran perjuangan Pangeran Dipanegara di Jawa. Selepas melakukan perlawanan pada 1925-1930, Pangeran diponegoro ditangkap dan diasingkan oleh Belanda. Pada 8 Februari 1885,Pangeran Dipanegara wafat pada masa pengasingan di Makassar, Sulawesi Selatan. Raden Saleh memanfaatkan momentum ini sebagai inspirasi lahirnya karya, yang disebutnya “a historisches Tableau, die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro”. Karya ini merupakan hasil kerja dan komitmen kebangsaan yang menyatu dengan nafas kehidupan Raden Saleh.
Di lukisan itu, Raden Saleh menggambarkan ketegangan proses penangkapan Pangeran Dipanegara, yang berawal dari akal bulus Jendral De Kock. Pangeran Dipanegara ditangkap di Magelang, usai menyelesaikan ritual puasa, pada tahun 1930. Impresi dan ketajaman emosional yang tergambar pada lukisan ini, menyatakan simpati Raden Saleh pada perjuangan Dipanegara. Jiwa nasionalisme Raden Saleh tak meletup dengan gerakan angkat senjata, perlawanan radikal, maupun strategi perang. Raden Saleh bergulat dengan kanon lukisan “mooi indie” yang menjadi tren seni lukis masa kolonial. Nuansa romantis, fragmen keindahan alam, dan eksotisme negara jajahan, menjadi bagian lukisan bergenre moii indie, sebagai apresiasi rindu pejabat hindia belanda, ketika pulang ke negeri Holland. Namun, Raden Saleh tak sekedar menggurat romantisme, pemihakan pada kisah perjuangan kaum pribumi menempatkan sikap beliau pada ruang terhormat. Walaupun telah meninggal pada Jum’at, 23 April 1980, jam 13.oo WIB, di kota Bogor (Buitenzorg), namun nama Raden Saleh mengabadi sampai masa kini. Nama pelukis besar ini, diabadikan di sebuah oase kebudayaan di Semarang; Taman Budaya Raden Saleh (TBRS).
Nasionalisme versi Raden Saleh bukanlah menyiapkan energi peperangan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Justru, pilihan untuk mengabadikan momen perjuangan kaum pribumi dalam sebuah lukisan eksotik. Buku ini, merekam sosok dan perjuangan Raden Saleh dengan ironi, tragedi dan espektasi.
*Munawir Aziz, peneliti dan penikmat buku
Sumber: http://oase.kompas.com
Judul Buku : Raden Saleh; Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme
Penulis : Harsja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey, Onghokham
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta
Cetakan : I, 2010
Tebal : xl + 194
Abad 19 merupakan gerbang terbukanya jalur pendidikan penduduk pribumi, untuk belajar di Eropa. Dengan segenap intelektualitas dan bakat seninya, Raden Saleh memperoleh beasiswa menghirup nafas pendidikan di Eropa. Awal mula tersebarnya gagasan kemerdekaan dan usaha menentang kolonialisme dengan cerdik.
Raden Saleh, sebagai salah satu pelukis besar yang dimiliki bangsa ini, lahir untuk mencetak sejarah. Sebagai putra dari salah seorang pegawai dan penerjemah untuk Belanda, Raden Saleh memulai liku-liku pengembaraanya sebagai pelukis dengan nuansa tragedi dan ironi.
Buku “Raden Saleh; Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme” yang ditulis bersama oleh Harsja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey dan Onghokham berusaha menjelaskan posisi Raden Saleh dalam ruang intelektualitas dan kesenian secara jernih. Buku ini mengupayakan telaah atas kerja keras, ironi, tragedi dan espektasi yang melingkupi kehidupan pelukis besar negeri ini. Raden Saleh tak hanya menacapkan tonggak pelukis masyhur, namun mengupayakan sebaran ide, kampanye kemerdekaan dan pemihakan kepada kaumnya dengan alur strategi kesenian yang cantik.
Ruang gerak kehidupan Raden Saleh memang penuh dengan politik etis kolonialisme. Harus diakui, Raden Saleh merupakan salah satu putra pribumi yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern di Eropa. Raden Saleh menginjakkan kakinya untuk menghirup udara pendidikan eropa pada 1829, sebelum Sosrokartono (1896) dan Abdul Rivai (1899) melakukan lawatan yang sama.
Bakat besar yang dimiliki Raden Saleh mengundang simpati dari berbagai pembesar dan bangsawan masa itu. Politik diplomasi dan strategi kesenian yang dilakukan Raden Saleh berhasil menghantarkan dirinya untuk berselancar menikmati dan mempelajari perkembangan seni lukis di daratan Eropa.
Alur Sejarah
Raden Saleh hidup dengan bentang benang sejarang yang kusut. Harsja W. Bachtiar menuliskan dengan jernih, sejarah kehidupan dan perkembangan mental Raden Saleh. Sejarah kelahiran Raden Saleh, masih membuka perdebatan sengit. Pasalnya, tahun 1814, sebagai titi mangsa kelahirannya, diperdebatkan banyak sejarawan. Raden saleh dilahirkan di Terboyo, Semarang, Jawa Tengah, pada 1814, tanggal ini milik Raden Saleh sendiri. Ayahnya bernama Sayid Husein bin Alwi bin Awal dan ibunya bernama mas Ajeng Zarip Husen. Keduanya merupakan cucu dari Kyai Ngabehi Ketosobo Bustam (1681-1759), seorang asisten residen Terboyo.
Raden Saleh menghabiskan masa kecilnya di kediaman Kyai Adipati Soero Menggolo, Bupati Semarang, hingga tahun 1822. Sang Bupati merupakan pamannya sendiri, karena Suro adalah anak ketujuh Kakek Buyut Raden Saleh, Kyai Ngabehi Kertosobo Bustam.
Bakat alam Raden Saleh tercium oleh Antonie Auguste Joseph Paijen (1792-1853), ketika tinggal di Bogor. Paijen berkebangsaan Belgia, yang bekerja sebagai pelukis seni pemerintah bagi Profesor C.G.C Reinwardt yang menjabat sebagai Direktur Pertanian, Seni dan Ilmu. Reindwardt masyhur sebagai pendiri kebun raya Bogor.
Selepas Paijen kembali ke Eropa pada awal 1825, Raden Saleh beralih menjadi bagian keluarga Belgia, Jean Baptise de Linge dan istrinya. Pada 1829, de Linge diperintahkan oleh Komisaris Jendral du Bus de Gesignies untuk melakukan perjalanan ke Belanda. De Linge ditugaskan untuk melaporkan kondisi finansial koloni pada raja. Inilah awal pengembaraan Raden Saleh untuk belajar dan mengasah insting seninya di Eropa.
Di Eropa, Raden Saleh mendapat kesempatan berkenalan dengan pelukis dan seniman yang menduduki posisi puncak di lingkaran kerajaan-kerajaan eropa. Raden Saleh juga menjalin hubungan akrab dengan beberapa penguasa kerajaan Eropa, diantaranya Raja Friedrich August II dari Saxony. Pelukis ini juga menetap di Coburg, Gotha dan Paris.
Setelah menjelajah Eropa, pada 1851, Raden pulang ke tanah air, setelah melakukan lawatan panjang ke eropa. Sebelum kembali ke Jawa, Raden Saleh menikah dengan Nona Winkelman, yang menjadi istri pertamanya.
Jejak Nasionalisme
Kisah kehidupan Raden Saleh dibingkai dengan pikiran orientalisme, ketegangan kolonialisme, dan beban mental inlander yang menjangkiti warga pribumi yang terjajah. Namun, Raden Saleh dapat melampui penjara mental yang mengekang kehidupan. Dia berhasil memukau petinggi-bangsawan eropa dengan lukisan artistik dan menyentuh. Sikap kosmopolitan yang dipraktikkan Raden Saleh, mengekalkan namanya sebagai pelukis masyhur yang mendapat tempat pada perbincangan kesenian Eropa.
Nilai artistik, pola kebangsawanan dan agenda diplomasi kesenian yang dilakukan Raden Saleh tak lantas menjadikannya melupakan teriakan warga pribumi pada zamannya. Raden Saleh berjasa besar dalam membentuk citra, menyimpulkan tanda dan menjelaskan fragmen perjuangan warga pribumi pada karya lukis bernilai estetis.
Keprihatinan pada nasib pribumi, menemukan puncak ketika merasakan kegetiran perjuangan Pangeran Dipanegara di Jawa. Selepas melakukan perlawanan pada 1925-1930, Pangeran diponegoro ditangkap dan diasingkan oleh Belanda. Pada 8 Februari 1885,Pangeran Dipanegara wafat pada masa pengasingan di Makassar, Sulawesi Selatan. Raden Saleh memanfaatkan momentum ini sebagai inspirasi lahirnya karya, yang disebutnya “a historisches Tableau, die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro”. Karya ini merupakan hasil kerja dan komitmen kebangsaan yang menyatu dengan nafas kehidupan Raden Saleh.
Di lukisan itu, Raden Saleh menggambarkan ketegangan proses penangkapan Pangeran Dipanegara, yang berawal dari akal bulus Jendral De Kock. Pangeran Dipanegara ditangkap di Magelang, usai menyelesaikan ritual puasa, pada tahun 1930. Impresi dan ketajaman emosional yang tergambar pada lukisan ini, menyatakan simpati Raden Saleh pada perjuangan Dipanegara. Jiwa nasionalisme Raden Saleh tak meletup dengan gerakan angkat senjata, perlawanan radikal, maupun strategi perang. Raden Saleh bergulat dengan kanon lukisan “mooi indie” yang menjadi tren seni lukis masa kolonial. Nuansa romantis, fragmen keindahan alam, dan eksotisme negara jajahan, menjadi bagian lukisan bergenre moii indie, sebagai apresiasi rindu pejabat hindia belanda, ketika pulang ke negeri Holland. Namun, Raden Saleh tak sekedar menggurat romantisme, pemihakan pada kisah perjuangan kaum pribumi menempatkan sikap beliau pada ruang terhormat. Walaupun telah meninggal pada Jum’at, 23 April 1980, jam 13.oo WIB, di kota Bogor (Buitenzorg), namun nama Raden Saleh mengabadi sampai masa kini. Nama pelukis besar ini, diabadikan di sebuah oase kebudayaan di Semarang; Taman Budaya Raden Saleh (TBRS).
Nasionalisme versi Raden Saleh bukanlah menyiapkan energi peperangan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Justru, pilihan untuk mengabadikan momen perjuangan kaum pribumi dalam sebuah lukisan eksotik. Buku ini, merekam sosok dan perjuangan Raden Saleh dengan ironi, tragedi dan espektasi.
*Munawir Aziz, peneliti dan penikmat buku
Sumber: http://oase.kompas.com