Pulau Bintan, Gurindam, Kopi O dan Konservasi Penyu

Oleh: Petrus M. Sitohang

Jika hendak mengenal orang berbangsa
Lihatlah kepada budi dan bahasa

Itulah kutipan dua baris pertama dari pasal kelima, dari Gurindam Yang Duabelas Pasal maha karya pujangga besar Melayu Raja Ali Haji dari Bintan. Tak dapat disangkal Gurindam Duabelas, begitu karya itu disebut di sekolah-sekolah di Indonesia, karya itu memenuhi syarat sebagai sebuah maha karya karena keindahan bunyi dan kedalaman isinya yang ditulis tahun 1846 masih dibaca dan terasa sangat kontekstual hingga kini. Gurindam Duabelas tidak hanya mencakup nasihat mengenai ketuhanan tetapi juga tentang keluarga dan hidup sehari-hari, etika pergaulan hingga etika kenegaraan, gurindam pasal yang kedua belas. Kalau kita sepakat bahwa bahasa adalah satu puncak budaya tertinggi manusia, bahasa Indonesia adalah persembahan terbaik budaya Melayu dalam khazanah budaya Indonesia yang tak terbantahkan.

Raja Ali Haji, meski menyandang gelar raja, sebenarnya bukanlah seorang Raja yang memerintah secara politik. Ia adalah cucu Raja Haji Fisabillah pahlawan nasional yang gagah berani dan oleh Belanda sangat disegani. Raja Haji Fisabillah, Yang Dipertuan Muda IV Kesultanan Riau – Lingga adalah keturunan Bugis. Sejak disepakatinya traktat Melayu Bugis di awal abad ke19, Jabatan Yang Dipertuan Muda diberikan kepada para bangsawan keturunan Bugis dengan gelar Raja. Jabatan Yang Dipertuan Agung dipegang oleh bangsawan keturunan Melayu dengan gelar Sultan. Namun dalam operasionalnya, Yang Dipertuan Mudalah yang menyelenggarakan pemerintahan sehari-hari termasuk sebagai panglima perang. Raja Haji Fisabilillah dihormati karena pengaruh kepemimpinannya dan keberhasilannya mengalahkan armada perang Belanda yang terdiri dari 13 kapal perang dan 1,594 awak pada tanggal 6 Januari 1784. Raja Haji berhasil menggagalkan usaha pendaratan tentara Belanda di Tanjungpinang setelah pertempuran selama 3 bulan. Meskipun enam bulan kemudian armada Belanda akhirnya berhasil mengalahkan Raja Haji Fisabillah hingga tewas dalam peperangan di Malaka namun keberanian dan masa pemerintahan Raja Haji Fisabilillah dikenang sebagai masa kejayaan Kesultanan Riau Lingga dengan pusat pemerintahannya di Pulau Penyengat yang hanya berjarak kurang dari 2 kilometer dari kota Tanjungpinang Pulau Bintan. Untuk mengenang kepahlawanan Raja Haji Fisabililah, di lokasi yang diyakini sebagai tempat prajurit-prajurit Melayu memukul mundur armada perang Belanda di Tanjungpinang beridiri monumen pahlawan nasional tersebut yang sangat indah dan menghadap Pulau Penyengat Indera Sakti sebutan buat pulau kecil di seberang kota Tanjungpinang tempat dahulu para raja-raja Kesultanan Riau Lingga memerintah dan para pujangga serta ahli bahasa Melayu mengembangkan sastra dan bahasa Melayu yang kelak menjadi bahasa nasional di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei. Sementara itu, untuk mengenang dan melestarikan Gurindam Duabelas karya Raja Ali Haji, sebagai pembuka setiap acara penting di provinsi Kepulauan Riau , senantiasa disenandungkanlah pasal-pasal Gurindam Duabelas oleh penyanyi pilihan dengan sikap khusuk.

Bintan Menuju Destinasi Baru
Pulau Bintan yang luasnya sekitar 935 km2 terletak di pertemuan selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Pulau yang setara dengan dua kali Pulau Batam dihuni oleh sekitar 274,185 (sensus Depdagri tahun 2004). Karena letaknya yang berada diperlintasan perdagangan Sriwijaya-Cina dan Cina-India telah lama dicatat dalam tulisan sejarah pelaut dan pedagang Cina sebagai tempat perlindungan para bajak laut. Bahkan petualang Arab Ibnu Batuta menulis di abad ke13 tentang Pulau Bintan: ”Di sana terdapat pulau-pulau kecil tempat dari mana bajak-bajak laut hitam bersenjata dengan panah-panah beracun merampas kapal-kapal perang bersenjata; mereka menahan orang-orang tapi tidak memperbudaknya”.

Namun itu tinggallah catatan sejarah masa lalu. Saat ini Pulau Bintan adalah salah satu tempat paling aman di Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, ketika berbagai tindak kekerasan terjadi di belahan lain tanah air, Pulau Bintan tetap aman. Padahal saat ini Pulau Bintan adalah rumah bagi hampir segala suku bangsa di tanah air. Keturunan Melayu dan Bugis yang telah lebih dahulu memerintah di daerah ini dapat hidup berdampingan dengan rukun dengan suku-suku lainnya yang datang kemudian, Cina, Jawa, Minang, Banjar, Batak, Flores, Maluku dan lain-lainnya. Sifat budaya Melayu yang terbuka terhadap pendatang telah menjadi perekat bagi semua etnis lainnya yang datang merantau ke Pulau Bintan, entah itu untuk mencari penghidupan baru maupun para pelaut dari berbagai daerah di Indonesia yang hanya ingin singgah sebelum betolak ke Singapura atau Malaysia untuk mencari pekerjaan di kapal-kapal asing. Tak jarang, para pendatang yang semula hanya ingin melintas di Pulau Bintan, akhirnya memutuskan untuk menetap dan membangun keluarga.

Kota-kota di Bintan mulai dari Tanjungpinang, Tanjung Uban dan Kijang sangat sibuk dengan pendatang, baik dari pelbagai pelosok tanah air maupun wisatawan dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Banyak wisatawan dari kedua negara tetangga tersebut datang untuk menjenguk anggota kerabatnya di Pulau Bintan atau pulau-pulau lain di Kepulauan Riau. Hal ini dikarenakan kedekatan masyarakat Pulau Bintan, atau Kepulauan Riau pada umumnya, dengan penduduk negara tetangga Malaysia dan Singapura sudah terjalin sejak dahulu ketika Kesultanan Riau Lingga mempunyai kekuasaan hingga ke Johor dan Malaka. Bahkan Sultan terakhir Riau Lingga Abdul Rahman Muazzam Shah yang akhirnya dimakzulkan oleh Belanda tahun 1911 karena tidak bersedia tunduk pada perintah Belanda antara lain untuk menaikkan bendera kerajaan Belanda di depan istananya memilih mengasingkan diri dan tinggal di negeri Singapura yang saat itu telah dikuasai oleh Inggeris. Oleh karenanya banyak penduduk Bintan baik, yang keturunan Melayu Bugis maupun keturunan Tionghoa masih mempunyai talian persaudaraan garis pertama dengan warga negara Malaysia maupun Singapura. Ini juga dapat dilihat antara lain dengan banyaknya jadwal Ferry langsung yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di Malaysia dan Singapura dengan pelabuhan-pelabuhan di Bintan yaitu Bandar Bentan Telani di kawasan pariwisata Internasional Bintan di Lagoi dan pelabuhan Tanjungpinang. Tidak kurang dari 15 kali jadwal ferry yang menghubungkan Bintan dengan Johor di Malaysia dan Singapura setiap harinya dengan jarak tempuh antara 1-2 jam tergantung pelabuhan keberangkatan dan tujuan. Sebagai contoh dari Pelabuhan Bandar Bentan Telani di Lagoi ke Pelabuhan Ferry Tanah Merah di Singapura memakan waktu tempuh berkisar antara 55-70 menit. Sedangkan waktu tempuh dari Tanjungpinang ke Pelabuhan Water Front City Singapura memakan waktu tempuh sekitar 90 menit.

Kedekatan perhubungan dengan negara tetangga khususnya dengan Singapura juga sangat mempengaruhi perilaku bisnis di Bintan. Seperti halnya dengan daerah-daerah lainnya di Kepulauan Riau, di Bintan sebutan mata uang dollar bermakna Dollar Singapura. Disukai atau tidak, banyak tarif hotel di Bintan bahkan secara terang-terangan menggunakan tarif dollar Singapura meskipun tentu saja tamu dapat membayar dengan rupiah dengan menggunakan kurs yang ditentukan hotel. Oleh karenannya, di sekitar pelabuhan di Tanjungpinang sangat mudah dijumpai money changer dan umumnya mata uang asing yang utama ditukarkan adalah dollar Singapura dan Ringgit Malaysia.

Sifat sebagai daerah persinggahan ini sangat mendukung usaha penginapan dan makanan. Di Tanjungpinang misalnya, sangat mudah menemui tempat-tempat makan di lapangan terbuka yang biasanya disebut Akau yang biasanya buka mulai jam 6 sore hingga jam 12 malam. Beberapa yang terkenal dan ramai dikunjungi wisatawan hingga saat ini adalah, Akau di Jalan Potong Lembu dan di Jl. Tugu Pahlawan atau yang populer disebut Meja Tujuh. Menu yang umum dijual di Akau sangat bervariasi, mulai dari masakan Padang, soto, chinese food dan sea food. Namun salah satu menu yang benar-benar khas Bintan adalah sejenis siput laut dengan kulit tebal yang disebut gonggong. Wisatawan harusnya jangan meninggalkan Bintan sebelum mencicipi gonggong. Harganya berkisar Rp.10,000 hingga 15,000 per porsi. Menu ikan bakar di Akau-akau sekitar Bintan juga mempunyai bumbu yang sangat khas. Cobalah memesan Ikan Lebam bakar yang berukuran telapak tangan, dan anda akan merasakan betapa khasnya rasa ikan bakar bumbu Bintan. Tapi jangan tergiur ukuran Ikan Lebam yang besar karena semakin besar ukurannya biasanya semakin keras dagingnya. Selain itu tentu saja anda juga bisa memesan sotong bakar atau Ikan Kerapu rasa asam pedas yang juga sangat populer untuk wisatawan asing.

Kalau siang panas terik menyengat kulit anda, singgahlah di sebarang kedai kopi yang sangat mudah dijumpai di Tanjungpinang, Tanjung Uban maupun Kijang. Mungking Bintan adalah salah satu pulau yang paling mudah menemukan kedai kopi. Kedai kopi di Bintan bukan hanya sekedar tempat menikmati secangkir Kopi O (sebutan untuk kopi manis tanpa susu) dan Teh O (sebutan untuk teh manis tanpa susu) atau minuman lainnya. Bagi masyarakat Pulau Bintan, termasuk para petingginya, kedai kopi adalah tempat pertemuan yang paling disukai dan umum. Bahkan banyak pejabat termasuk walikota Tanjungpinang Hj Suryatati Manan mengakui sering berkunjung ke kedai Kopi selain untuk bersantai juga untuk menyerap informasi yang apa adanya dari masyarakat.

Untuk yang mempunyai anggaran lebih, Bintan Resort di Lagoi adalah tujuan pelancongan baru yang dikembangkan dengan konsep modern dan terintegrasi. Kawasan wisata ini membanggakan dirinya sebagai tujuan wisata keluarga modern yang sehat dan berwawasan lingkungan. Salah satu ciri khas semua hotel di Bintan adalah beach front resort, resort yang langsung menghadap laut. Jadi jika Anda penikmat suara deburan ombak, angin dan aroma laut, Bintan Resort akan memanjakan Anda. Saat ini di Bintan Resort telah beroperasi hotel-hotel resor dari berbagai ukuran dan konsep. Ada Bintan Lagoon hotel resort dengan 500an kamar dan villa yang dilengkapi dengan 2 Golf Course. Ada juga Club Med Ria Bintan dengan konsep ”club hotel” nya. Pemilik resort ini juga menawarkan Ria Bintan Golf Course yang disebut sebagai salah satu golf course terbaik di Asia. Selain itu juga ada Banyan Tree Resort dengan villa-villa berarsitektur Bali diperbukitan yang menghadap laut. Angsana Resort & Spa akan memberikan pelayanan spa kelas atas dengan terapis-terapis yang dilatih di Thailand.

Dan yang tak kalah menarik juga adalah Nirwana Garden Resort yang menyediakan kamar hotel dan villa Banyu Biru dan Indera Maya. Sejak tahun 2005, Nirwana Gerden Resort bekerja sama dengan PT Bintan Resort Cakrawala, pengembang induk kawasan pariwisata ini, melakukan program penyelamatan penyu laut. Tahun lalu saja telah berhasil dilepaskan ke laut sebanyak 550 anak penyu di pantai Nirwana Gardens Resorts. Hingga bulan July 2006 telah berhasil dilepaskan 296 anak penyu kelaut. Ranan Samanya, pimpinan proyek ini mengatakan bahwa tujuan proyek ini adalah untuk mengembalikan masa-masa keemasan pantai utara Bintan sebagai habitat penyu laut di tahun 50an. Meski mengakui apa yang dilakukannya belum dapat disebut sebagai sebuah sukses, Ranan yakin bahwa proyek ini telah turut menyumbang dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dan upaya perlindungan hewan-hewan yang dilindungi.
(artikel ini dimuat di majalah udara ADAM SKY edisi Oktober 2006)

Sumber: http://konserdanautoba.wordpress.com
-

Arsip Blog

Recent Posts