Kain Tradisional Palembang, Melestarikan dan Menghidupi

Kawasan Kebun Pisang, Sebrang Ulu, Palembang, Sumatera Selatan, hanya satu dari beberapa daerah yang menjadi ”pusat” para perajin penghasil kain tradisional, seperti songket, jumputan, dan tajung.

Di deretan bangunan rumah panggung yang bercampur bangunan berdinding bata, dengan sebagian lorong jalan yang hanya cukup untuk lewat sepeda motor itu, terdengar bunyi alat tenun bukan mesin (ATBM) bersahutan.

Di kawasan yang bisa dikatakan padat itulah kain tradisional Palembang dihasilkan. Di sela-sela areal terbuka yang sangat terbatas itu pun dipenuhi kain-kain jumputan yang baru selesai diproses dan tengah dijemur. Lalu-lalang orang di bawah lambaian jemuran kain jumputan bagi warga Kebun Pisang menjadi hal biasa. Tak ada yang merasa terganggu dengan kondisi itu.

”Hampir semua warga di sini adalah perajin. Kami sudah terbiasa dengan suasana produksi. Sejak kecil, saya sudah mengenal songket, jumputan, dan tajung. Nenek saya pun perajin songket, ada pula kerabat kami yang membuat tajung,” cerita Sania Sukanto (30), perajin kain tradisional Palembang berlabel Zakiah Collection.

Tak terputus

Bagi para perajin kain tradisional itu, menekuni usaha ini tak sekadar untuk bertahan hidup, tetapi dilandasi keinginan meneruskan apa yang telah dirintis leluhur. Seperti Nia, panggilan Sania Sukanto, yang sejak masih kanak-kanak tinggal di lingkungan perajin kain tersebut. Dia mengaku, dorongan untuk menjadi perajin begitu besar.

”Kami delapan bersaudara, empat di antaranya perajin kain, tiga orang berusaha konfeksi. Rumah ini juga yang dipakai nenek saya membuat songket,” kata Nia menunjuk rumah panggung yang dia tinggali bersama suaminya, Sukanto (36), dan anak mereka.

Berkah dari menekuni kain tradisional juga dirasakan Haji Aceng (30), perajin jumputan. Selain dipasarkan di Palembang dan sekitarnya, produk jumputannya juga dikirim ke Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Tahun 2009, ia berkesempatan ikut pameran di Samarinda, Kalimantan Timur.

Dia juga sudah memahami selera konsumen. Katanya, pasar Sumatera biasanya menuntut warna-warni motif yang lebih berani, sedangkan konsumen di Pulau Jawa umumnya menyukai jumputan dengan gradasi warna-warna lembut.

”Alhamdulillah meski tidak banyak, tetapi permintaan jumputan itu kontinu, tak terputus. Dalam seminggu, minimal kami membuat sekodi kain,” kata Haji Aceng, yang menunaikan ibadah haji juga dari hasil sebagai perajin jumputan.

Irfan Daya Putra (42), Sarjana Ekonomi lulusan Universitas Muhammadiyah, Palembang, sempat beberapa tahun bekerja dan berusaha di bidang lain. Namun, sejak tahun 2008, ia menekuni kerajinan kain tajung dan blongsong bermodal Rp 150 juta-Rp 200 juta.

Kalau tajung dan blongsong biasanya berbentuk sarung (dan selendang), Irfan juga membuatnya dalam bentuk kain sepanjang 5 meter-25 meter, tergantung pesanan. Dalam sebulan, ia rata-rata memproduksi 280 meter kain.

Selain mendapat penghasilan dan melestarikan kain tradisional, dia juga membuka lapangan kerja bagi puluhan orang. ”Ada delapan orang yang mengerjakan ATBM, enam orang mewarnai, dan empat orang untuk pencucian. Kalau pesanan banyak, jumlah mereka (pekerja) bisa naik dua-tiga kali lipat,” kata Irfan, perajin kain tajung di Soak Simpur, Pagar Gunung, Kecamatan Sukarame, Palembang.

Barter bahan baku

Tak hanya ”wong kito” yang menjadi perajin kain tradisional di daerah Kebun Pisang, Palembang. Marjuki (38), pria asal Jawa, sejak menikah dengan perempuan asal Palembang sekitar 17 tahun lalu pun bergiat sebagai perajin jumputan.

”Keluarga istri saya perajin jumputan. Saya belajar dari kakak ipar,” ujarnya. Dia memunyai sedikitnya 30 pola motif jumputan tradisional.

Marjuki tak hanya membuat jumputan dengan motif tradisional Palembang yang dia sebut titik tujuh, kuping, keong, mawar atau bintang, tetapi juga memodifikasi motif-motif tradisional itu. Satu set jumputan sarimbit yang dikerjakan sekitar tujuh hari, dijualnya seharga sekitar Rp 350.000.

”Keuntungan kami tak banyak, berkisar 10 persen saja,” kata Marjuki sambil menjelaskan proses pembuatan jumputan, mulai dari menjiplak pola sampai pewarnaan. Dia menjual produknya ke pasar-pasar di Palembang.

Tahun 2005, katanya, permintaan jumputan sekitar lima kodi. Namun, tahun ini rata-rata dalam seminggu hanya dua kodi. Menurunnya permintaan pasar membuat ruang gerak Marjuki terbatas. Dulu, dia bisa membeli bahan baku langsung. Kini, demi kelangsungan produksi, dia dan sebagian perajin jumputan terpaksa melakukan sistem barter.

”Kain jumputan kami langsung ’ditukar’ dengan bahan baku, seperti kain organdi, sutra, dan benang-benang. Kalau menanti semua produk kami terjual baru membeli bahan baku, tidak mungkin; karena pedagang baru membayar sebulan, bahkan tiga bulan kemudian,” cerita ayah dua anak ini.

Meskipun ”berstatus” perajin, Nia tidak hanya menjual produknya ke pusat perbelanjaan di Palembang. Setidaknya sekali setahun dia mengikuti pameran di Jakarta. Bahkan, sejak dua tahun lalu, Nia juga memasarkan produknya melalui internet.

”Saya pernah mengikuti pelatihan yang diadakan Departemen Perindustrian. Di sini saya mengenal internet,” kata Nia yang belakangan lebih fokus pada songket yang tengah naik daun. Dia juga membuat perpaduan antara songket dan jumputan palembang dalam satu kain, yang baru muncul awal tahun 2010 ini. (BOY/CP)

Sumber: http://cetak.kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts