Oleh: Amir Sodikin
Pengembangan pariwisata Indonesia selama ini bisa disebut sebagai "tak ada landasan akademis" yang kuat atau dibangun dengan ”tanpa ilmu”. Akibatnya, kebijakan pariwisata sudah pasti disetir birokrat yang notabene tak memiliki dasar pengetahuan pariwisata yang mumpuni. Tak banyak orang yang menyadari, ternyata sebelumnya pariwisata hanya dianggap sebelah mata dan bahkan tak diakui sebagai disiplin ilmu mandiri. Ini bisa menjelaskan, kenapa kualitas pengelolaan pariwisata tak sensitif terhadap pengembangan dan inovasi. Stagnan, malah makin rusak.
"Kami senang karena perjuangan panjang kami terkabul, tahun ini kami sudah bisa membuka S1 Pariwisata karena pariwisata sudah diakui sebagai ilmu mandiri," begitu kata Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung Upiek Haeryah Sadkar saat dikunjungi di kantornya.
Kegembiraan itu pantas dirayakan karena perjuangan mereka sudah lama. Lemahnya bangsa ini dalam mengelola aset dan potensi pariwisata ternyata juga didukung fakta masih sedikit sumber daya manusia (SDM) yang terlatih dan mengerti benar soal pariwisata.
Dari sisi akademik, ilmu pariwisata di Indonesia baru diakui sebagai satu disiplin ilmu mandiri sejak 31 Maret 2008. "Kami pernah mengajukan S1 Pariwisata tahun 1998, perguran tinggi lain ada yang mengajukan sejak 1980 tapi waktu itu ditolak karena pariwisata dianggap bukan ilmu mandiri," kata Upiek.
Akhirnya, sebagai "pelipur lara", STP Bandung berhasil mendirikan S2 namun di bawah rumpun ilmu lain yaitu manajemen dengan gelar Magister Manajemen Pariwisata (MMPar). Program S1 untuk Sarjana Pariwisata (SPar) belum bisa dibuka tahun itu.
Iklim berfikir pun berubah seiring meningkatnya kebutuhan tenaga ahli di bidang pariwisata. Tentu saja keberhasilan itu disambut gembira kalangan perguruan tinggi yang selama ini hanya menggelar program diploma (DI - DIV) pariwisata.
Tapi, berkat ”reformasi” itu, mulai tahun akademik 2008/2009 STP Bandung sudah menerima mahasiswa baru S1 Studi Destinasi Pariwisata, S1 Studi Industri Perjalanan Wisata, dan S1 Studi Akomodasi dan Katering. STP Bali juga akan membuka S1 Pariwisata.
STP Bandung dan STP Bali, juga STP Makassar dan STP Medan, merupakan institusi pendidikan yang bernaung di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Setelah STP ini, diperkirakan perguruan tinggi lain baik negeri maupun swasta akan menyusul membuka program S1 Pariwisata.
Sejak 1985
Anggota dan Sekretaris Tim IX Penyusunan Naskah Akademik Pariwisata Sebagai Ilmu Mandiri, yang juga Pembantu Ketua Bidang Akademik Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Kusmayadi, mengatakan perjuangan itu dilakukan sejak 1985. "Tahun 2006 perjuangan digiatkan lagi saat STP Trisakti jadi sekretariat Hildiktipari," katanya.
Maka, tanggal 31 Maret 2008, keluarlah surat izin dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional untuk membuka S1 Pariwisata di STP Bandung dan STP Bali. Sejak itu kalangan pelaku pariwisata menganggapnya sebagai sinyal pengakuan dari pemerintah. "Sejak tanggal itu, pemerintah mengakui pariwisata sebagai ilmu mandiri," kata Kusmayadi.
Hildiktipari atau Himpunan Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata Indonesia merupakan wadah komunikasi perguruan tinggi pariwisata. Saat ini mereka terus mensosialisasikan ilmu pariwisata sebagi disiplin ilmu mandiri. Dalam situsnya www.hildiktipari.org, mengungkapkan empat hal mengapa pariwisata layak menjadi ilmu mandiri.
Pertama, peran penting pariwisata yang meliputi sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan yang ke depannya akan semakin besar dan menjadi industri besar di dunia. Kedua, dari prespektif filsafat, pariwisata memiliki basis yang kuat sebagai ilmu mandiri karena syarat-syarat ontologis, epistemologis dan aksiologis sudah dipenuhi.
Ketiga, pengalaman sejarah menunjukan kelahiran suatu cabang ilmu yang baru selalu diwarnai pro-kontra. Keempat, untuk mengembangkan pariwisata tidak cukup pendidikan vokasional yang sudah ada saat ini karenanya memerlukan pendidikan yang bersifat akademik dan profesi.
"Kalau dari diploma, SDM yang dihasilkan belum untuk pemikir, peneliti, birokrat, dan teknokrat. Kita butuh perencana untuk menciptakan atraksi. Kita butuh pemikir yang bisa menciptakan inovasi, " kata Kusmayadi.
”Yang utama, dengan diakuinya pariwisata sebagai ilmu mandiri adalah menjaga keberlanjutan pengembangan pariwisata itu sendiri atau sustainable tourism development,” kata Kusmayadi.
Perjalanan ”pariwisata”
Prof Dr IG Pitana MSc, Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana yang juga Direktur Promosi Luar Negeri, Ditjen Pemasaran, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, mengatakan pengakuan secara formal terhadap pariwisata sebagai ilmu mandiri di Indonesia merupakan hasil kerja keras seluruh pemangku kepentingan pariwisata.
Ilmu pariwisata dirumuskan sebagai “ilmu yang mempelajari teori-teori dan praktek-praktek tentang perjalanan wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitasi perjalanan wisatawan, dan berbagai implikasinya”.
”Wacana tentang keilmuan parwisata di Indonesia dilontarkan pertama kali oleh Nyoman S Pendit lewat tulisannya di Bali Post, 23 Maret 1983. Selanjutnya tahun 1985 diadakan seminar keilmuan pariwisata di Universitas Udayana, Bali, dengan menghadirkan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu,” papar Pitana dalam orasi ilmiah Dies Natalis ke-39 Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Senin (2/6) di Jakarta.
Namun pariwisata saat itu tetap hanya dijadikan sebagai objek kajian ilmu-ilmu yang telah mapan. Usaha Universitas Udayana, STP Bandung, dan beberapa universitas, institut, dan sekolah tinggi lainnya untuk membuka Program S1 Pariwisata selalu dimentahkan dengan alasan utama “karena pariwisata bukan sebagai suatu disiplin ilmu”.
”Tidak diakuinya Pariwisata sebagai ilmu, berimbas terhadap statisnya pengembangan sumber daya manusia pariwisata Indonesia karena lembaga pendidikan tinginya tidak ada yang mencetak calon tenaga pemikir, peneliti, perencana kebijakan, dan sebagainya,” paparnya.
Masih menurut Pitana, SDM pariwisata di tingkat tenaga teknis dan profesional, memang berkualitas tinggi dan diperebutkan pasar tenaga kerja pariwisata dunia. Bahkan World Economic Forum dalam The Travel and Tourism Competitiveness Report 2008, menempatkan daya saing SDM pariwisata Indonesia peringkat ke 34 dari 130 negara.
”Namun demikian, daya saing pariwisata Indonesia secara keseluruhan tetap rendah, yaitu peringkat ke-80 dunia karena tidak berkembangnya pilar-pilar daya saing lainnya. Banyak pilar-pilar tersebut memerlukan penanganan dari SDM yang mempunyai kualifikasi di bidang pariwisata secara akademis,” katanya.
Diakuinya pariwisata sebagai bidang ilmu mandiri, kata Pitana, bukanlah akhir dari perjuangan namun justru sebuah awal bagi perjuangan baru. ”Seluruh stakeholder pariwisata harus terus membangun opini keilmuan pariwisata serta mengembangkan keilmuan dalam berbagai aspeknya, termasuk publikasi berbagai hasil penelitian,” paparnya.
Sumber: http://www.jurnalisme.org
Pengembangan pariwisata Indonesia selama ini bisa disebut sebagai "tak ada landasan akademis" yang kuat atau dibangun dengan ”tanpa ilmu”. Akibatnya, kebijakan pariwisata sudah pasti disetir birokrat yang notabene tak memiliki dasar pengetahuan pariwisata yang mumpuni. Tak banyak orang yang menyadari, ternyata sebelumnya pariwisata hanya dianggap sebelah mata dan bahkan tak diakui sebagai disiplin ilmu mandiri. Ini bisa menjelaskan, kenapa kualitas pengelolaan pariwisata tak sensitif terhadap pengembangan dan inovasi. Stagnan, malah makin rusak.
"Kami senang karena perjuangan panjang kami terkabul, tahun ini kami sudah bisa membuka S1 Pariwisata karena pariwisata sudah diakui sebagai ilmu mandiri," begitu kata Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung Upiek Haeryah Sadkar saat dikunjungi di kantornya.
Kegembiraan itu pantas dirayakan karena perjuangan mereka sudah lama. Lemahnya bangsa ini dalam mengelola aset dan potensi pariwisata ternyata juga didukung fakta masih sedikit sumber daya manusia (SDM) yang terlatih dan mengerti benar soal pariwisata.
Dari sisi akademik, ilmu pariwisata di Indonesia baru diakui sebagai satu disiplin ilmu mandiri sejak 31 Maret 2008. "Kami pernah mengajukan S1 Pariwisata tahun 1998, perguran tinggi lain ada yang mengajukan sejak 1980 tapi waktu itu ditolak karena pariwisata dianggap bukan ilmu mandiri," kata Upiek.
Akhirnya, sebagai "pelipur lara", STP Bandung berhasil mendirikan S2 namun di bawah rumpun ilmu lain yaitu manajemen dengan gelar Magister Manajemen Pariwisata (MMPar). Program S1 untuk Sarjana Pariwisata (SPar) belum bisa dibuka tahun itu.
Iklim berfikir pun berubah seiring meningkatnya kebutuhan tenaga ahli di bidang pariwisata. Tentu saja keberhasilan itu disambut gembira kalangan perguruan tinggi yang selama ini hanya menggelar program diploma (DI - DIV) pariwisata.
Tapi, berkat ”reformasi” itu, mulai tahun akademik 2008/2009 STP Bandung sudah menerima mahasiswa baru S1 Studi Destinasi Pariwisata, S1 Studi Industri Perjalanan Wisata, dan S1 Studi Akomodasi dan Katering. STP Bali juga akan membuka S1 Pariwisata.
STP Bandung dan STP Bali, juga STP Makassar dan STP Medan, merupakan institusi pendidikan yang bernaung di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Setelah STP ini, diperkirakan perguruan tinggi lain baik negeri maupun swasta akan menyusul membuka program S1 Pariwisata.
Sejak 1985
Anggota dan Sekretaris Tim IX Penyusunan Naskah Akademik Pariwisata Sebagai Ilmu Mandiri, yang juga Pembantu Ketua Bidang Akademik Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Kusmayadi, mengatakan perjuangan itu dilakukan sejak 1985. "Tahun 2006 perjuangan digiatkan lagi saat STP Trisakti jadi sekretariat Hildiktipari," katanya.
Maka, tanggal 31 Maret 2008, keluarlah surat izin dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional untuk membuka S1 Pariwisata di STP Bandung dan STP Bali. Sejak itu kalangan pelaku pariwisata menganggapnya sebagai sinyal pengakuan dari pemerintah. "Sejak tanggal itu, pemerintah mengakui pariwisata sebagai ilmu mandiri," kata Kusmayadi.
Hildiktipari atau Himpunan Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata Indonesia merupakan wadah komunikasi perguruan tinggi pariwisata. Saat ini mereka terus mensosialisasikan ilmu pariwisata sebagi disiplin ilmu mandiri. Dalam situsnya www.hildiktipari.org, mengungkapkan empat hal mengapa pariwisata layak menjadi ilmu mandiri.
Pertama, peran penting pariwisata yang meliputi sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan yang ke depannya akan semakin besar dan menjadi industri besar di dunia. Kedua, dari prespektif filsafat, pariwisata memiliki basis yang kuat sebagai ilmu mandiri karena syarat-syarat ontologis, epistemologis dan aksiologis sudah dipenuhi.
Ketiga, pengalaman sejarah menunjukan kelahiran suatu cabang ilmu yang baru selalu diwarnai pro-kontra. Keempat, untuk mengembangkan pariwisata tidak cukup pendidikan vokasional yang sudah ada saat ini karenanya memerlukan pendidikan yang bersifat akademik dan profesi.
"Kalau dari diploma, SDM yang dihasilkan belum untuk pemikir, peneliti, birokrat, dan teknokrat. Kita butuh perencana untuk menciptakan atraksi. Kita butuh pemikir yang bisa menciptakan inovasi, " kata Kusmayadi.
”Yang utama, dengan diakuinya pariwisata sebagai ilmu mandiri adalah menjaga keberlanjutan pengembangan pariwisata itu sendiri atau sustainable tourism development,” kata Kusmayadi.
Perjalanan ”pariwisata”
Prof Dr IG Pitana MSc, Guru Besar Pariwisata Universitas Udayana yang juga Direktur Promosi Luar Negeri, Ditjen Pemasaran, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, mengatakan pengakuan secara formal terhadap pariwisata sebagai ilmu mandiri di Indonesia merupakan hasil kerja keras seluruh pemangku kepentingan pariwisata.
Ilmu pariwisata dirumuskan sebagai “ilmu yang mempelajari teori-teori dan praktek-praktek tentang perjalanan wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitasi perjalanan wisatawan, dan berbagai implikasinya”.
”Wacana tentang keilmuan parwisata di Indonesia dilontarkan pertama kali oleh Nyoman S Pendit lewat tulisannya di Bali Post, 23 Maret 1983. Selanjutnya tahun 1985 diadakan seminar keilmuan pariwisata di Universitas Udayana, Bali, dengan menghadirkan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu,” papar Pitana dalam orasi ilmiah Dies Natalis ke-39 Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Senin (2/6) di Jakarta.
Namun pariwisata saat itu tetap hanya dijadikan sebagai objek kajian ilmu-ilmu yang telah mapan. Usaha Universitas Udayana, STP Bandung, dan beberapa universitas, institut, dan sekolah tinggi lainnya untuk membuka Program S1 Pariwisata selalu dimentahkan dengan alasan utama “karena pariwisata bukan sebagai suatu disiplin ilmu”.
”Tidak diakuinya Pariwisata sebagai ilmu, berimbas terhadap statisnya pengembangan sumber daya manusia pariwisata Indonesia karena lembaga pendidikan tinginya tidak ada yang mencetak calon tenaga pemikir, peneliti, perencana kebijakan, dan sebagainya,” paparnya.
Masih menurut Pitana, SDM pariwisata di tingkat tenaga teknis dan profesional, memang berkualitas tinggi dan diperebutkan pasar tenaga kerja pariwisata dunia. Bahkan World Economic Forum dalam The Travel and Tourism Competitiveness Report 2008, menempatkan daya saing SDM pariwisata Indonesia peringkat ke 34 dari 130 negara.
”Namun demikian, daya saing pariwisata Indonesia secara keseluruhan tetap rendah, yaitu peringkat ke-80 dunia karena tidak berkembangnya pilar-pilar daya saing lainnya. Banyak pilar-pilar tersebut memerlukan penanganan dari SDM yang mempunyai kualifikasi di bidang pariwisata secara akademis,” katanya.
Diakuinya pariwisata sebagai bidang ilmu mandiri, kata Pitana, bukanlah akhir dari perjuangan namun justru sebuah awal bagi perjuangan baru. ”Seluruh stakeholder pariwisata harus terus membangun opini keilmuan pariwisata serta mengembangkan keilmuan dalam berbagai aspeknya, termasuk publikasi berbagai hasil penelitian,” paparnya.
Sumber: http://www.jurnalisme.org