Oleh: Iwan DN Dt Simarajo
Jika di kota Padangpanjang merokok sudah di larang sesuai Perda no 8 tahu 2009 tentang larangan merokok, namun sebahagian wilayah Batipuh sebagai hinterland Padangpanjang larangan merokok masih sulit di lakukan. Rokok justru dijadikan alat penting pada saat "mamanggia" atau mengundang handai tolan datang baralek. Bahkan rokok wajib digunakan sebagai alat "manyiriah" pada upacara "Bakayu", sebuah tradisi adat sebagai bentuk takziah, sehari setelah mayat ditanam di pekuburan.
Tradisi bakayu di zaman dahulu adalah tradisi "mangapiang" atau membelah kayu. Tradisi ini konon adalah budaya agama Hindu. Kayu api itu gunanya untuk membakar mayat sesuai kepercayaan agamanya. Pagi hari se usai shalat subuh, kaum lelaki di kampung tersebut berbondong bondong menuju rumah duka.
Mereka semuanya membawa senjata tajam berupa kapak ataupun parang. Benda tajam itu gunanya untuk menebang kayu di kebun sipangka dan untuk membelah belah kayu dihalaman rumah keluarga korban. Dihalaman sudah menunggu pihak pangka. Kayu kayu itu dicincang seukuran kayu api yang sudah bisa dipergunakan buat memasak. Setelah itu merekapun menuju tempat duduk sipangka. Tandanya sipangka yang akan disirihkan rokok adalah dengan melihat piring yang berada didepan sipangka.
Menyiriahkan rokok tujuannya sebagai ungkapan turut berduka dan memperlihatkan muka atas kedatanganya. Dalam waktu singkat sejumlah rokok berbagai merek sudah tertumpuk di piring tempat rokok dikumpulkan karena banyaknya tamu datang takziah. Walaupun sudah memberikan rokok namun bukan berarti sudah boleh pulang. Kita harus menunggu dulu "dilapeh" atau dilepas. Ibarat pepatah “ lapeh kabek baurak lapeh buhua baungkai “ artinya dilepas secara resmi melalui pidato adat. Atau dilepas dengan istilah "gugua ditampuak, lareh ditangkai". Artinya dilepas tanpa pidato adat.
Sebelum dilepas, terlebih dahulu juga dilaksanakan sambutan dari sipangka. Tujuannya adalah meminta "karilahan" atau minta maaf dari keluarga korban. Jika ada hutang budi minta dimaafkan, hutang pitih nan babilang, utang ameh nan samiang, utang padi nan basukek minta disalasaikan. Katiko hujan lah taduah, angin lah tanang, artinya hutang piutang berupa benda yang tidak bisa dimaafkan dapat diselesaikan dengan pihak keluarga. Kesempatan ini sekaligus dimanfaatkan untuk menyampaikan nasehat nasehat. Ibarat pengajian "kuliah tujuh menit" ( kultum ).
Sekarang tradisi bakayu sudah mulai berubah. Tamu tidak lagi membawa senjata tajam seperti dahulu berupa kapak atau parang. Tetapi "manyiriah rokok" masih tetap dilakukan seperti biasanya. Waktu pelaksanaannya masih tidak jelas. Dan agak mengganggu waktu bekerja baik pengusaha, petani atau pegawai negeri.
Di mata Musra Dahrizal alias “ Mak Katik “ pengurus KAN (Kerapatan Adat Nagari) Batipuah Baruah, rokok masih memiliki peran penting dalam berbagai prosesi adat di nagari Batipuah Baruah. Walaupun secara pribadi ia menyadari akan bahaya rokok terhadap kesehatan tetapi untuk merubah tradisi yang telah turun temurun sejak nenek moyang saisuak itu masih sulit dilakukan. "Kalaupun diganti dengan uang senilai rokok misalnya juga belum bisa di lakukan, takut jika cara itu dianggap sebuah penghinaan," kata Mak Katik yang juga dosen luar biasa Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang (UNP) dan juga dosen jemputan antar bangsa Akademi Seni warisan budaya kebangsaan ( Aswara ) Malaysia ini menyebutkan.
Namun demikian Ia mengaku akan mencoba mencarikan solusi terbaik bersama sama tokoh adat di Batipuah Baruah. Termasuk mengatur waktunya sehingga tidak mengganggu pekerjaan pengusaha, petani atau pegawai negeri . “Ibarat menarik rambut dalam tepung, rambut tak putus tepungpun tidak terserak," ujarnya.**
Sumber: http://www.padangmedia.com
Jika di kota Padangpanjang merokok sudah di larang sesuai Perda no 8 tahu 2009 tentang larangan merokok, namun sebahagian wilayah Batipuh sebagai hinterland Padangpanjang larangan merokok masih sulit di lakukan. Rokok justru dijadikan alat penting pada saat "mamanggia" atau mengundang handai tolan datang baralek. Bahkan rokok wajib digunakan sebagai alat "manyiriah" pada upacara "Bakayu", sebuah tradisi adat sebagai bentuk takziah, sehari setelah mayat ditanam di pekuburan.
Tradisi bakayu di zaman dahulu adalah tradisi "mangapiang" atau membelah kayu. Tradisi ini konon adalah budaya agama Hindu. Kayu api itu gunanya untuk membakar mayat sesuai kepercayaan agamanya. Pagi hari se usai shalat subuh, kaum lelaki di kampung tersebut berbondong bondong menuju rumah duka.
Mereka semuanya membawa senjata tajam berupa kapak ataupun parang. Benda tajam itu gunanya untuk menebang kayu di kebun sipangka dan untuk membelah belah kayu dihalaman rumah keluarga korban. Dihalaman sudah menunggu pihak pangka. Kayu kayu itu dicincang seukuran kayu api yang sudah bisa dipergunakan buat memasak. Setelah itu merekapun menuju tempat duduk sipangka. Tandanya sipangka yang akan disirihkan rokok adalah dengan melihat piring yang berada didepan sipangka.
Menyiriahkan rokok tujuannya sebagai ungkapan turut berduka dan memperlihatkan muka atas kedatanganya. Dalam waktu singkat sejumlah rokok berbagai merek sudah tertumpuk di piring tempat rokok dikumpulkan karena banyaknya tamu datang takziah. Walaupun sudah memberikan rokok namun bukan berarti sudah boleh pulang. Kita harus menunggu dulu "dilapeh" atau dilepas. Ibarat pepatah “ lapeh kabek baurak lapeh buhua baungkai “ artinya dilepas secara resmi melalui pidato adat. Atau dilepas dengan istilah "gugua ditampuak, lareh ditangkai". Artinya dilepas tanpa pidato adat.
Sebelum dilepas, terlebih dahulu juga dilaksanakan sambutan dari sipangka. Tujuannya adalah meminta "karilahan" atau minta maaf dari keluarga korban. Jika ada hutang budi minta dimaafkan, hutang pitih nan babilang, utang ameh nan samiang, utang padi nan basukek minta disalasaikan. Katiko hujan lah taduah, angin lah tanang, artinya hutang piutang berupa benda yang tidak bisa dimaafkan dapat diselesaikan dengan pihak keluarga. Kesempatan ini sekaligus dimanfaatkan untuk menyampaikan nasehat nasehat. Ibarat pengajian "kuliah tujuh menit" ( kultum ).
Sekarang tradisi bakayu sudah mulai berubah. Tamu tidak lagi membawa senjata tajam seperti dahulu berupa kapak atau parang. Tetapi "manyiriah rokok" masih tetap dilakukan seperti biasanya. Waktu pelaksanaannya masih tidak jelas. Dan agak mengganggu waktu bekerja baik pengusaha, petani atau pegawai negeri.
Di mata Musra Dahrizal alias “ Mak Katik “ pengurus KAN (Kerapatan Adat Nagari) Batipuah Baruah, rokok masih memiliki peran penting dalam berbagai prosesi adat di nagari Batipuah Baruah. Walaupun secara pribadi ia menyadari akan bahaya rokok terhadap kesehatan tetapi untuk merubah tradisi yang telah turun temurun sejak nenek moyang saisuak itu masih sulit dilakukan. "Kalaupun diganti dengan uang senilai rokok misalnya juga belum bisa di lakukan, takut jika cara itu dianggap sebuah penghinaan," kata Mak Katik yang juga dosen luar biasa Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang (UNP) dan juga dosen jemputan antar bangsa Akademi Seni warisan budaya kebangsaan ( Aswara ) Malaysia ini menyebutkan.
Namun demikian Ia mengaku akan mencoba mencarikan solusi terbaik bersama sama tokoh adat di Batipuah Baruah. Termasuk mengatur waktunya sehingga tidak mengganggu pekerjaan pengusaha, petani atau pegawai negeri . “Ibarat menarik rambut dalam tepung, rambut tak putus tepungpun tidak terserak," ujarnya.**
Sumber: http://www.padangmedia.com