Ternate - Mata uang yang digunakan pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Perkebunan Rotterdam, Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, menjadi daya tarik pengunjung pameran koleksi uang kuno di Bank Indonesia Ternate, Maluku Utara.
”Banyak warga Ternate yang penasaran dengan mata uang yang sempat berlaku di daerah Bacan,” kata Purwanditomo, panitia pameran koleksi uang dan sosialisasi keaslian uang rupiah, di BI Ternate, Minggu (11/4).
Mata uang Bacan merupakan satu dari sekian banyak mata uang yang dibuat oleh perkebunan-perkebunan asing di Jawa, Sumatera, dan Bacan. Mata uang dari nikel itu hanya berlaku di setiap perkebunan asing.
Pemerintahan Hindia Belanda membolehkan pembuatan mata uang perkebunan karena tidak mampu menyediakan mata uang akibat kekurangan bahan baku.
"Sebelumnya, saya sama sekali tidak tahu ada mata uang kuno yang berlaku di wilayah Bacan. Pameran ini menambah pengetahuan saya,” kata Arifin, warga Ternate, yang mengunjungi pameran itu.
Selain mata uang perkebunan, di pameran itu ditampilkan mata uang yang berlaku di kerajaan- kerajaan Nusantara, seperti Majapahit, Aceh, Mataram, Cirebon, dan Jenggala/Kediri. Kebanyakan mata uang berbentuk kepingan dari emas, tembaga, dan perak.
Namun, ada mata uang yang terbuat dari kain. Mata uang yang disebut kampua/bida ini berlaku di Kesultanan Buton dan dikeluarkan pada masa Ratu Buton II Bulawambona pada abad XIV. Kain ditenun oleh putri-putri Kesultanan Buton. Panjang dan lebar kain disesuaikan dengan telapak tangan Menteri Besar Kesultanan Buton.
Pameran itu juga menampilkan mata uang dari negara-negara Eropa yang digunakan saat berdagang di Nusantara. Mata uang itu dari Portugis, Spanyol, Inggris, dan perusahaan dagang Belanda, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Dipamerkan pula mata uang yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan. Mulai dari mata uang ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), mata uang ORIDA (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah), dan mata uang RIS (Republik Indonesia Serikat).
”Semua kami pamerkan agar masyarakat mengetahui bahwa mata uang ada nilai sejarahnya. Pergantian kekuasaan, masuknya bangsa-bangsa asing ke Indonesia, memengaruhi bentuk mata uang yang berlaku,” kata Purwanditomo. (APA)
Sumber: http://travel.kompas.com
”Banyak warga Ternate yang penasaran dengan mata uang yang sempat berlaku di daerah Bacan,” kata Purwanditomo, panitia pameran koleksi uang dan sosialisasi keaslian uang rupiah, di BI Ternate, Minggu (11/4).
Mata uang Bacan merupakan satu dari sekian banyak mata uang yang dibuat oleh perkebunan-perkebunan asing di Jawa, Sumatera, dan Bacan. Mata uang dari nikel itu hanya berlaku di setiap perkebunan asing.
Pemerintahan Hindia Belanda membolehkan pembuatan mata uang perkebunan karena tidak mampu menyediakan mata uang akibat kekurangan bahan baku.
"Sebelumnya, saya sama sekali tidak tahu ada mata uang kuno yang berlaku di wilayah Bacan. Pameran ini menambah pengetahuan saya,” kata Arifin, warga Ternate, yang mengunjungi pameran itu.
Selain mata uang perkebunan, di pameran itu ditampilkan mata uang yang berlaku di kerajaan- kerajaan Nusantara, seperti Majapahit, Aceh, Mataram, Cirebon, dan Jenggala/Kediri. Kebanyakan mata uang berbentuk kepingan dari emas, tembaga, dan perak.
Namun, ada mata uang yang terbuat dari kain. Mata uang yang disebut kampua/bida ini berlaku di Kesultanan Buton dan dikeluarkan pada masa Ratu Buton II Bulawambona pada abad XIV. Kain ditenun oleh putri-putri Kesultanan Buton. Panjang dan lebar kain disesuaikan dengan telapak tangan Menteri Besar Kesultanan Buton.
Pameran itu juga menampilkan mata uang dari negara-negara Eropa yang digunakan saat berdagang di Nusantara. Mata uang itu dari Portugis, Spanyol, Inggris, dan perusahaan dagang Belanda, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Dipamerkan pula mata uang yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan. Mulai dari mata uang ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), mata uang ORIDA (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah), dan mata uang RIS (Republik Indonesia Serikat).
”Semua kami pamerkan agar masyarakat mengetahui bahwa mata uang ada nilai sejarahnya. Pergantian kekuasaan, masuknya bangsa-bangsa asing ke Indonesia, memengaruhi bentuk mata uang yang berlaku,” kata Purwanditomo. (APA)
Sumber: http://travel.kompas.com