Kendati masih berusia muda, Kabupaten Dharmasraya menyimpan sejuta pesona. Dari sana sekitar abad 11 masehi lembar sejarah Kerajaan Melayu bermula. Peninggalan-peninggalan arkeolog seperti candi, artefak, masjid, makam raja-raja dan rumah gadang menjadi saksi bisu sejarah kerajaan Hindu-Budha dan Islam di kabupaten pemekaran itu.
Sayang, kondisinya memprihatinkan, terabaikan dan tak ada yang peduli. Beberapa simpul sejarah yang bisa bercerita akan kondisi miris itu di antaranya peninggalan arkeolog kerajaan Hindu-Budha dan Islam yang tersebar di Nagari Siguntur, Padanglaweh dan Pulaupanjang. Parahnya lagi rentetan ekspedisi Pamalayu itu tidak diketahui masyarakat. Masyarakat cenderung apriori dengan sejarah di daerah tersebut, termasuk mahasiswa. "Ambo lai tahu ado situs bersejarah di Siguntur tapi alun ado ke sinan soalnyo ndak tontu apo nan dicari (saya tahu ada situs bersejarah di Siguntur, tapi belum pernah ke sana. Tidak tahu apa yang mau dicari) ," ujar Peldi, mahasiswa asal Dharmasraya.
Masyarakat sekitar pun ternyata banyak yang tak kenal dengan sejarah bahkan terkesan tidak peduli. Bayangkan saja, batu-batu situs sejarah itu pernah mereka diperjualbelikan untuk membangun rumah-rumah mereka. Baru tahun 1994, setelah mendapat izin pelestarian dan penggalian serta pelarangan untuk mengambil dan merusak, situs bersejarah dapat mulai terpelihara. "Mano kami tahu, kalau tumpukan bata itu bangunan candi. Jadi kini batu-batu bata, lah menyebar ke mano-mano, ambo turuik juo maangkek untuk dijua (Mana kami tahu kalau tumpukan batu itu candi. Sekarang batu batanya sudah menyebar ke mana-mana, saya juga ikut mengangkat batu-batu itu untuk dijual)," kata Azis, Ketua Pemuda Sungai Lansek.
Menurut Aziz, saat arca Bhairawa ditemukan sudah terdapat kerusakan. Kakinya yang satu berbeda dengan yang lain terdapat lekukan dan ukurannya lebih kecil. Sebab, sebelumnya salah satu kaki arca itu sering dijadikan batu asah sabit, pisau dan parang oleh para pengembala kerbau. Hal ini dibenarkan Kepala Jorong Sungai Lansek, Bachtiar. Penemuan arca di samping rumahnya menjadi indikasi benda-benda bersejarah tersebut berserakan. Padahal kalau dikelola dengan baik memiliki potensi parawisata yang luar biasa. Terbukti, wisatawan selalu datang bergantian mengunjunginya, terutama para peneliti sejarah baik dalam maupun luar negeri.
Sementara itu, Kepala Jorong Sungai Lansek, Bactiar (50) sangat menyayangkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengelolaan situs purbakala. Jalan setapak menuju lokasi masih tanah dan kala hujan turun akan becek sehingga susah diakses. Belum lagi di sekitar lokasi sudah banyak lahannya yang beralih fungsi menjadi ladang masyarakat. Padahal di tempat itu sudah teridentifikasi menyimpan peninggalan-peninggalan bersejarah. Masalah penerangan listrik PLN yang belum masuk, membuat lokasi yang pernah menjadi bagian dari ekspedisi Kerajaan Singosari yang berlokasi di seberang Batanghari itu agak terpinggirkan dan kian suram.
"Jika diperhatikan Pemkab tentu banyak wisatawan yang bakal berkunjung. Dari situ kami bisa mendapatkan tambahan pendapatan. Apalagi dalam sebulannya sekitar 150 wisatawan berkunjung. Bahkan tak jarang wisatawan datang rombongan dalam jumlah besar," terang Bactiar. Sementara itu, Drs. Nopriyasman, M.Hum dari Jurusan Sejarah Unand Padang melihat sikap tak peduli masyarakat terhadap situs dan sejarah sudah berlangsung dari dulu. Kondisi ini terjadi karena kurangnya informasi dan penghargaan sekaligus bentuk sikap penolakan masyarakat terhadap hal-hal yang berbau Hinduisme. "Padahal itu bagian dari sejarah yang mesti disosialisasikan kepada masyarakat sebagai bukti Sumbar pun pernah menjadi pusat kerajaan. Karena selama ini tidak hanya pemerintahan yang sentralistis dan Jawa sentris tetapi budaya Indonesia pun seakan-akan budaya Jawa saja," bebernya.
Semangat ini, tambah Nopriyasman, bukan untuk memunculkan sikap provinsialisme tetapi membangun kesadaran bersama bahwa budaya Indonesia merupakan keragaman budaya yang tersebar di Nusantara bukan Jawa semata. Hal ini sangat penting dalam menguatkan rasa kebangsaan melalui pemahaman yang utuh terhadap sejarah. Karena itu, kita meminta pemerintah harus segera memberikan perhatian penuh terhadap sejarah dan benda-benda peninggalannya sehingga tidak terjadi pengikisan secara terus menerus. Hal ini bisa dilakukan melalui kerjasama dengan balai sejarah, perguruan tinggi dan lembaga lainnya melakukan penelitian, penulisan dan pembukuan sejarahnya.
"Malahan catatan sejarah itu harus dimasukkan dalam muatan lokal sehingga generasi muda bisa mengetahui dan memahaminya. Malahan untuk benda-benda peninggalan kerajaan harus dibuatkan museum kecil agar terawat dengan baik. Dan kedepan Pemkab harus berpikir mengalokasikan anggaran untuk semua kegiatan itu," tandasnya. Kendati demikian, kata Nopriyasman, Pemerintah harus tetap hati-hati dalam melakukan pemugaran dan menghilangkan keasliannya karena daya tariknya bakal berkurang. Apalagi selain menjaga keutuhan sejarah dan benda-benda purbakala pemugaran ini penting pula untuk mendorong berkembangnya wisata sejarah. "Jadi pemerintah sebetulnya tidak perlu ragu dalam mengalokasikan anggaran untuk itu. Karena kalau sudah terawat dengan baik tentu bakal banyak wisatawan yang berkunjung. Minimal akan menjadi objek penelitian dan itu akan menjadi sumber pendapatan daerah," ujarnya.
Sementara itu Kepala Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Dharmasraya, Agani mengakui, situs-situs bersejarah itu belum dapat dioptimalkan pemeliharannya dan sekaligus menjadikannya sebagai objek wisata. Namun ia menegaskan, secara bertahap akan mengelola melalui bidang parawisata. "Kita sadar bahwa situs-situs purbakala ini bisa menjadi salah satu objek wisata yang bisa mendatangkan pendapatan daerah, tapi kita butuh proses untuk melakukannya," ujarnya. (*)
Sumber: http://www.mail-archive.com
Sayang, kondisinya memprihatinkan, terabaikan dan tak ada yang peduli. Beberapa simpul sejarah yang bisa bercerita akan kondisi miris itu di antaranya peninggalan arkeolog kerajaan Hindu-Budha dan Islam yang tersebar di Nagari Siguntur, Padanglaweh dan Pulaupanjang. Parahnya lagi rentetan ekspedisi Pamalayu itu tidak diketahui masyarakat. Masyarakat cenderung apriori dengan sejarah di daerah tersebut, termasuk mahasiswa. "Ambo lai tahu ado situs bersejarah di Siguntur tapi alun ado ke sinan soalnyo ndak tontu apo nan dicari (saya tahu ada situs bersejarah di Siguntur, tapi belum pernah ke sana. Tidak tahu apa yang mau dicari) ," ujar Peldi, mahasiswa asal Dharmasraya.
Masyarakat sekitar pun ternyata banyak yang tak kenal dengan sejarah bahkan terkesan tidak peduli. Bayangkan saja, batu-batu situs sejarah itu pernah mereka diperjualbelikan untuk membangun rumah-rumah mereka. Baru tahun 1994, setelah mendapat izin pelestarian dan penggalian serta pelarangan untuk mengambil dan merusak, situs bersejarah dapat mulai terpelihara. "Mano kami tahu, kalau tumpukan bata itu bangunan candi. Jadi kini batu-batu bata, lah menyebar ke mano-mano, ambo turuik juo maangkek untuk dijua (Mana kami tahu kalau tumpukan batu itu candi. Sekarang batu batanya sudah menyebar ke mana-mana, saya juga ikut mengangkat batu-batu itu untuk dijual)," kata Azis, Ketua Pemuda Sungai Lansek.
Menurut Aziz, saat arca Bhairawa ditemukan sudah terdapat kerusakan. Kakinya yang satu berbeda dengan yang lain terdapat lekukan dan ukurannya lebih kecil. Sebab, sebelumnya salah satu kaki arca itu sering dijadikan batu asah sabit, pisau dan parang oleh para pengembala kerbau. Hal ini dibenarkan Kepala Jorong Sungai Lansek, Bachtiar. Penemuan arca di samping rumahnya menjadi indikasi benda-benda bersejarah tersebut berserakan. Padahal kalau dikelola dengan baik memiliki potensi parawisata yang luar biasa. Terbukti, wisatawan selalu datang bergantian mengunjunginya, terutama para peneliti sejarah baik dalam maupun luar negeri.
Sementara itu, Kepala Jorong Sungai Lansek, Bactiar (50) sangat menyayangkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengelolaan situs purbakala. Jalan setapak menuju lokasi masih tanah dan kala hujan turun akan becek sehingga susah diakses. Belum lagi di sekitar lokasi sudah banyak lahannya yang beralih fungsi menjadi ladang masyarakat. Padahal di tempat itu sudah teridentifikasi menyimpan peninggalan-peninggalan bersejarah. Masalah penerangan listrik PLN yang belum masuk, membuat lokasi yang pernah menjadi bagian dari ekspedisi Kerajaan Singosari yang berlokasi di seberang Batanghari itu agak terpinggirkan dan kian suram.
"Jika diperhatikan Pemkab tentu banyak wisatawan yang bakal berkunjung. Dari situ kami bisa mendapatkan tambahan pendapatan. Apalagi dalam sebulannya sekitar 150 wisatawan berkunjung. Bahkan tak jarang wisatawan datang rombongan dalam jumlah besar," terang Bactiar. Sementara itu, Drs. Nopriyasman, M.Hum dari Jurusan Sejarah Unand Padang melihat sikap tak peduli masyarakat terhadap situs dan sejarah sudah berlangsung dari dulu. Kondisi ini terjadi karena kurangnya informasi dan penghargaan sekaligus bentuk sikap penolakan masyarakat terhadap hal-hal yang berbau Hinduisme. "Padahal itu bagian dari sejarah yang mesti disosialisasikan kepada masyarakat sebagai bukti Sumbar pun pernah menjadi pusat kerajaan. Karena selama ini tidak hanya pemerintahan yang sentralistis dan Jawa sentris tetapi budaya Indonesia pun seakan-akan budaya Jawa saja," bebernya.
Semangat ini, tambah Nopriyasman, bukan untuk memunculkan sikap provinsialisme tetapi membangun kesadaran bersama bahwa budaya Indonesia merupakan keragaman budaya yang tersebar di Nusantara bukan Jawa semata. Hal ini sangat penting dalam menguatkan rasa kebangsaan melalui pemahaman yang utuh terhadap sejarah. Karena itu, kita meminta pemerintah harus segera memberikan perhatian penuh terhadap sejarah dan benda-benda peninggalannya sehingga tidak terjadi pengikisan secara terus menerus. Hal ini bisa dilakukan melalui kerjasama dengan balai sejarah, perguruan tinggi dan lembaga lainnya melakukan penelitian, penulisan dan pembukuan sejarahnya.
"Malahan catatan sejarah itu harus dimasukkan dalam muatan lokal sehingga generasi muda bisa mengetahui dan memahaminya. Malahan untuk benda-benda peninggalan kerajaan harus dibuatkan museum kecil agar terawat dengan baik. Dan kedepan Pemkab harus berpikir mengalokasikan anggaran untuk semua kegiatan itu," tandasnya. Kendati demikian, kata Nopriyasman, Pemerintah harus tetap hati-hati dalam melakukan pemugaran dan menghilangkan keasliannya karena daya tariknya bakal berkurang. Apalagi selain menjaga keutuhan sejarah dan benda-benda purbakala pemugaran ini penting pula untuk mendorong berkembangnya wisata sejarah. "Jadi pemerintah sebetulnya tidak perlu ragu dalam mengalokasikan anggaran untuk itu. Karena kalau sudah terawat dengan baik tentu bakal banyak wisatawan yang berkunjung. Minimal akan menjadi objek penelitian dan itu akan menjadi sumber pendapatan daerah," ujarnya.
Sementara itu Kepala Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Dharmasraya, Agani mengakui, situs-situs bersejarah itu belum dapat dioptimalkan pemeliharannya dan sekaligus menjadikannya sebagai objek wisata. Namun ia menegaskan, secara bertahap akan mengelola melalui bidang parawisata. "Kita sadar bahwa situs-situs purbakala ini bisa menjadi salah satu objek wisata yang bisa mendatangkan pendapatan daerah, tapi kita butuh proses untuk melakukannya," ujarnya. (*)
Sumber: http://www.mail-archive.com