Desa, Pusat Ekonomi Yang Masih Terabaikan

Sebuah mobil jenis sport utility vehicle keluaran terbaru buatan Jepang berpapasan dengan rombongan "Naik Dango Adventure Offroad 2010 Kabupaten Landak" ketika menyusuri jalanan berlumpur milik perusahaan perkebunan menuju Desa Muun, Kecamatan Ngabang, Sabtu (24/4) siang.

Di bak kendaraan tersebut terlihat tumpukan karet dan tiga warga duduk di atasnya.

Bagi warga setempat, pemandangan ini merupakan hal biasa. Mobil jenis sport utility vehicle (SUV) four wheel drive (4WD) berharga di atas Rp300 juta mengangkut karet, beras, mie instant, kasur, drum berisi bahan bakar minyak. Kebutuhan warga yang utama maupun yang "ecek-ecek".

Bukan untuk sekedar menaikkan status pemiliknya. Melainkan karena kondisi infrastruktur yang tidak memungkinkan kendaraan biasa mampu menempuh jalan rusak menuju desa atau dusun di pedalaman Kabupaten Landak.

Masyarakat pedalaman tergantung dengan angkutan mewah itu. Begitu juga sejumlah industri yang ada di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

Desa telah menjadi salah satu pusat ekonomi di Kabupaten Landak. Terutama dipicu membaiknya harga karet dan sawit serta kegiatan ekonomi lain yang mengandalkan sumber daya alam setempat.

Martinus Rissau, 41, belum lama ini mendapat uang Rp2 juta lebih hasil penjualan karet yang dikumpulkan 11 hari.

Warga Desa Permiit, Kecamatan Kuala Behe tersebut mempunyai lahan untuk kebun karet sekitar dua hektare.

Desa Permiit berjarak sekitar 7 kilometer dari Kuala Behe, ibu kota kecamatan. Tidak ada jalan berbatu apalagi beraspal antara keduanya. Kalau pun ada, harus memutar cukup jauh sehingga menambah biaya produksi.

Akses termudah dengan menyusuri sungai selama satu jam yang terkadang mengering di musim kemarau.

Desa Muun yang berjarak 25 kilometer dari Ngabang, ibu kota kabupaten, juga hanya dapat dijangkau menyusuri jalan tanah merah yang terkadang berlumpur dan licin ketika hujan.

Belum lagi turunan dan tanjakan yang curam membuat resiko warga di perjalanan semakin tinggi.

Kalimantan Kaya

Gubernur Kalbar Cornelis berkali-kali menyatakan kekagumannya terhadap kekayaan alam di bumi Kalimantan Barat.

Di berbagai forum resmi, ia mengatakan bahwa asalkan rajin maka tidak ada warga Kalbar yang miskin.

"Kalau mau kerja keras, dengan kekayaan alam yang ada, cukup untuk hidup," kata Cornelis.

Dengan jumlah penduduk sekitar 4,3 juta jiwa serta luas wilayah 1,13 kali Pulau Jawa dan Bali, Kalbar masih sangat potensial.

Ia mengibaratkan kalau mancing di sungai masih dapat ikan, berburu di hutan mendapat hewan, dan bercocok tanam masih membuahkan hasil.

Kansesius, 49, warga Desa Permiit punya ribuan batang tanaman karet. Ia mengaku kewalahan memanen meski harga karet olahan terus meningkat.

Pengumpul di desa itu berani membeli dengan harga Rp11 ribu per kilogram. Padahal tahun lalu harganya masih di kisaran Rp5 ribu per kilogram.

Martinus Rissau mengatakan, tanaman karet lebih praktis. "Ada barang, tidak perlu diolah terlalu lama, bisa langsung dijual, dapat uang," kata bapak dua anak ini.

Sedangkan kalau sawit harus dikumpulkan terlebih dahulu. Petani karet mulai menoreh getah sekitar jam 5 pagi dan berakhir jam 11:00.

"Siang sudah di rumah, sore bisa cari kerja yang lain. Lebih santai," kata dia.

Ia pernah ditawari bekerja sebagai pengawas di perusahaan perkebunan. Namun pria lulusan SMA itu tetap bertahan untuk bekerja di kebunnya sendiri.

Baginya, tidak ada jaminan perusahaan mampu membayar gaji dengan lancar. Terlebih lagi kalau kebunnya diserahkan menjadi asset perusahaan perkebunan sementara kebutuhan hidup terus meningkat.

Selain kebun, ada juga yang memanfaatkan lahan untuk mendulang emas meski tanpa izin.

"Kalau beruntung, dalam sehari bisa mendapat 20 gram," kata Kansesius.

Viktor, 21, warga Semaung yang terletak di antara Desa Muun dan Permiit, bergaji Rp61.500 per hari. Ia bekerja sebagai pengawas alat berat sebuah perusahaan perkebunan, PT Rimba Kapuas Persada.

Junai, 25, bekerja di perusahaan milik Wilmar Group dengan gaji Rp31 ribu per hari.

Peluang Beban Produksi

Infrastruktur yang buruk membuat terjadi selisih harga yang cukup signifikan antara di desa dan kota.

Karet olahan misalnya. Di Desa Permiit harga Rp11 ribu. Di Kota Ngabang sudah mencapai Rp14 ribu sampai Rp15 ribu.

Selisih harga tersebut menjadi biaya angkut dan keuntungan pengumpul.

Sementara harga kebutuhan pokok dan tambahan di desa-desa tersebut juga tinggi. Segelas kopi bubuk yang biasanya Rp2 ribu, menjadi Rp4 ribu. Harga "pop mie instant" yang biasanya di bawah Rp2 ribu, naik jadi Rp4 ribu.

Biaya angkut karet biasanya Rp1.500 per kilogram. Satu SUV mampu membawa karet olahan hingga 1,5 ton. Belum lagi kalau dari Ngabang membawa barang-barang untuk kebutuhan warga desa dan perusahaan di pedalaman.

"Dalam sehari bisa dapat bersih Rp2 juta," kata Ya`, seorang pengusaha angkutan ke pedalaman Kabupaten Landak.

Ia berencana membeli satu lagi SUV terbaru untuk menunjang usahanya. Harganya sekitar Rp350 juta. "Tapi kami juga harus memperhitungkan kerusakan kendaraan," kata Ya`.

Sedangkan untuk mengojek dari Ngabang ke Desa Muun, penumpang harus membayar Rp150 ribu. Kalau motor rusak, pengojek dan penumpangnya sama-sama menanggung ongkos perbaikan.

Bupati Landak Adrianus Asia Sidot menyadari bahwa desa menjadi pusat ekonomi di daerah.

Ia berharap masyarakat pedalaman bersabar karena terbatasnya anggaran pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur.

"Harus diakui, adanya perusahaan sawit ikut mendukung jalan ke desa meski bagi perusahaan menjadi ongkos tambahan," kata Adrianus Asia Sidot.

Namun ia berkomitmen pembangunan infrastruktur untuk daerah yang sudah masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.

"Kalau tidak, melalui program pemberdayaan masyarakat atau pos bebantuan lainnya," kata dia. (fb/FB/ant-Teguh Imam Wibowo)

Sumber: http://www.beritadaerah.com
-

Arsip Blog

Recent Posts