Tanjung Papuma, bagi kalangan pelancong lokal, tak ubahnya sebuah ’surga’. Selain menyuguhkan berbagai panorama yang menyejukkan hati, daratan kecil yang menjorok ke laut di pantai utara Jawa Timur ini juga menyimpan beragam flora dan fauna khas tropis. Siapa pun yang sempat mengunjungi pantai landai berpasir putih ini tak pernah bosan menikmatinya. Kondisi geografisnya yang stabil, bahkan telah menjadikan keelokan kawasan wisata dapat dinikmati dalam cuaca apa pun, baik di musim kemarau maupun ketika musim penghujan tiba.
Kawasan wisata hutan dan pantai yang memiliki luas sekitar 50 hektare itu terletak di Kecamatan Ambulu dan Wuluhan, Kabupaten Jember. Nama Papuma sendiri terbentuk sebagai akronim dari Pasir Putih Malikan. Kata ”tanjung” ditambahkan di depannya, untuk menggambarkan posisi pantai yang menjorok ke laut arah barat daya dari wilayah itu. Selain pantainya, hutan yang terleak di sisi lainnya juga jadi daya tarik obyek wisata ini.
Bila tak sedang murka, ombak Tanjung Papuma terasa cukup tenang. Permukaan laut yang berwarna hijau kebiru-biruan selalu mengundang setiap pengunjung untuk berenang atau sekadar menyentuhkan kaki di riak ombak yang bergulir ke pantai. Saat itu pula setiap wisatawan digoda untuk melayarinya. Lebih dari itu semua, pasir putihnya yang sangat halus dan tak pernah meninggalkan rasa gatal di kulit juga menjaadi magnet mampu menyedot wisatawan lokal untuk menyukai Tanjung Papuma.
Memang, hati kita akan semakin puas menikmati Tanjung Papuma, bila kita melayari teluk dengan perahu-perahu nelayan. Utamanya, ketika sang ombak sedang bersahabat, kita juga dapat mendekati beberapa atol (pulau karang, Red) yang terletak sekitar dua mil dari pantai ke tengah teluk. Dari kejauhan pulau-pulau tanpa penghuni itu tampak menyerupai seekor katak raksasa. Namun bila kita hampiri, ia adalah sebuah ciptaan yang sangat menakjubkan.
Keasrian panorama atol-atol di sekitar Papuma akan semakin elok bila dipandang dari Sitihinggil, sebuah menara di atas bukit di ujung barat Tanjung Papuma. Menara itu sengaja dibuat oleh Perhutani sebagai tempat pelancong menatap seluruh panorama di kawasan Papuma, sekaligus untuk tempat pemantuan keamanan satwa-satwa yang ada di kawasan itu. Dari sana pula setiap pengunjung bisa menikmati pemandangan gugusan pulau-pulau karang kecil. Pulau-pulau karang itu, semuanya memiliki sebutan sendiri. Masing-masing sebutan menggunakan nama-nama dewa dalam dunia pewayangan: Batara Guru, Kresna, dan Narada.
Bila pandangan kita palingkan ke arah barat, maka dari Sitihinggil ini kita bisa menikmati sebuah pulau besar yang bertengger di kejauhann tengah tanjung. Oleh warga Jember, pulau ini dikenal sebagai Nusa Barong. Dari Papuma, pulau tanpa penghuni itu berjarak sekitar 50 mil laut dengan waktu tempuh sekitar empat jam menggunakan perahu.
Berwisata di Papuma terasa tak lengkap bila kita tak mengenyam kehidupan nelayan setempat di saat senja tiba. Beberapa jam menjelang matahari terbenam, puluhan nelayan asal dusun Payangan, Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, selalu tampak menepikan perahu dan jaringnya. Hasil tangkapan mereka berupa ikan krapu, putihan, kakap, tongkol, maupun tuna, dapat langsung dibeli dan dibakar di atas perapian alam dari ranting-ranting kayu kering di tepi pantai.
Pantai di Tanjung Papuma memang berpanorama fantastis. Pantai yang baru dirambah oleh Perhutani disebut dengan nama Malikan. Wajah Malikan bukanlah hamparan pasir hitam atau putih, tapi lebih berupa karang-karang pipih yang mirip kerang raksasa berjajar di sepanjang bentangan pantai yang menghadap ke barat.
Karang-karang kecil berwarna-warni mudah ditemui di sini. Ini merupakan pecahan-pecahan terumbu karang yang terbawa ombak. Bila mujur, kita juga bisa menemukan lobster di sela-sela bebatuan pipih di pantai Malikan. Apalagi bila air laut sedang surut. Udang-udang yang oleh nelayan setempat disebut sebagai urang barong itu memang selalu terdampar saat ombak surut.
Pantai Malikan merupakan tujuan akhir pengunjung kawasan Tanjung Papuma. Pantai sepanjang satu kilometer ini disukai karena hawanya yang sejuk. Seluruh pantai ‘dipagari’ pepohonan seperti pandan laut, palem hutan, serut, dan beragam jenis pohon lainnya — sebuah kawasan hutan Gunung Watangan dengan berbagai satwanya yang dilindungi.
Di antara satwa yang bisa dinikmati adalah burung cicak hijau, yang mudah sekali didengar kicaunya di pagi hari. Saat suasana kawasan wisata itu tak gaduh, kita juga bisa menyaksikan sekelompok lutung (kera hitam) keluar dari persembunyiannya. Mereka bergelayut di pohon-pohon, saling rebut ranting bersama puluhan tupai yang melompat-lompat dengan lincahnya.
Ular besar seperti sanca dan phyton pun sesekali terlihat berkelebat memasuki semak-semak. Ular-ular berbisa kecil — jenis kobra hitam, ular pohon, dan jenis lainnya — tak terhitung jumlahnya. Sesekali mereka keluar sarang. Bila mujur, menurut penanggung jawab kawasan itu, Sutoyo, ular seukuran pohon kelapa pun bisa ditemui di antara pepohonan di kawasan Wanawisata Tanjung Papuma. Selain itu, kijang pun masih tersisa di Papuma. Kijang dan beberapa satwa dilindungi ini, berasal dari Gunung Watangan. Mereka kadang-kadang turun mencari air di saat matahari mulai terbenam. (republika.co.id)
Sumber: http://www.tanjungpapuma.com
Kawasan wisata hutan dan pantai yang memiliki luas sekitar 50 hektare itu terletak di Kecamatan Ambulu dan Wuluhan, Kabupaten Jember. Nama Papuma sendiri terbentuk sebagai akronim dari Pasir Putih Malikan. Kata ”tanjung” ditambahkan di depannya, untuk menggambarkan posisi pantai yang menjorok ke laut arah barat daya dari wilayah itu. Selain pantainya, hutan yang terleak di sisi lainnya juga jadi daya tarik obyek wisata ini.
Bila tak sedang murka, ombak Tanjung Papuma terasa cukup tenang. Permukaan laut yang berwarna hijau kebiru-biruan selalu mengundang setiap pengunjung untuk berenang atau sekadar menyentuhkan kaki di riak ombak yang bergulir ke pantai. Saat itu pula setiap wisatawan digoda untuk melayarinya. Lebih dari itu semua, pasir putihnya yang sangat halus dan tak pernah meninggalkan rasa gatal di kulit juga menjaadi magnet mampu menyedot wisatawan lokal untuk menyukai Tanjung Papuma.
Memang, hati kita akan semakin puas menikmati Tanjung Papuma, bila kita melayari teluk dengan perahu-perahu nelayan. Utamanya, ketika sang ombak sedang bersahabat, kita juga dapat mendekati beberapa atol (pulau karang, Red) yang terletak sekitar dua mil dari pantai ke tengah teluk. Dari kejauhan pulau-pulau tanpa penghuni itu tampak menyerupai seekor katak raksasa. Namun bila kita hampiri, ia adalah sebuah ciptaan yang sangat menakjubkan.
Keasrian panorama atol-atol di sekitar Papuma akan semakin elok bila dipandang dari Sitihinggil, sebuah menara di atas bukit di ujung barat Tanjung Papuma. Menara itu sengaja dibuat oleh Perhutani sebagai tempat pelancong menatap seluruh panorama di kawasan Papuma, sekaligus untuk tempat pemantuan keamanan satwa-satwa yang ada di kawasan itu. Dari sana pula setiap pengunjung bisa menikmati pemandangan gugusan pulau-pulau karang kecil. Pulau-pulau karang itu, semuanya memiliki sebutan sendiri. Masing-masing sebutan menggunakan nama-nama dewa dalam dunia pewayangan: Batara Guru, Kresna, dan Narada.
Bila pandangan kita palingkan ke arah barat, maka dari Sitihinggil ini kita bisa menikmati sebuah pulau besar yang bertengger di kejauhann tengah tanjung. Oleh warga Jember, pulau ini dikenal sebagai Nusa Barong. Dari Papuma, pulau tanpa penghuni itu berjarak sekitar 50 mil laut dengan waktu tempuh sekitar empat jam menggunakan perahu.
Berwisata di Papuma terasa tak lengkap bila kita tak mengenyam kehidupan nelayan setempat di saat senja tiba. Beberapa jam menjelang matahari terbenam, puluhan nelayan asal dusun Payangan, Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, selalu tampak menepikan perahu dan jaringnya. Hasil tangkapan mereka berupa ikan krapu, putihan, kakap, tongkol, maupun tuna, dapat langsung dibeli dan dibakar di atas perapian alam dari ranting-ranting kayu kering di tepi pantai.
Pantai di Tanjung Papuma memang berpanorama fantastis. Pantai yang baru dirambah oleh Perhutani disebut dengan nama Malikan. Wajah Malikan bukanlah hamparan pasir hitam atau putih, tapi lebih berupa karang-karang pipih yang mirip kerang raksasa berjajar di sepanjang bentangan pantai yang menghadap ke barat.
Karang-karang kecil berwarna-warni mudah ditemui di sini. Ini merupakan pecahan-pecahan terumbu karang yang terbawa ombak. Bila mujur, kita juga bisa menemukan lobster di sela-sela bebatuan pipih di pantai Malikan. Apalagi bila air laut sedang surut. Udang-udang yang oleh nelayan setempat disebut sebagai urang barong itu memang selalu terdampar saat ombak surut.
Pantai Malikan merupakan tujuan akhir pengunjung kawasan Tanjung Papuma. Pantai sepanjang satu kilometer ini disukai karena hawanya yang sejuk. Seluruh pantai ‘dipagari’ pepohonan seperti pandan laut, palem hutan, serut, dan beragam jenis pohon lainnya — sebuah kawasan hutan Gunung Watangan dengan berbagai satwanya yang dilindungi.
Di antara satwa yang bisa dinikmati adalah burung cicak hijau, yang mudah sekali didengar kicaunya di pagi hari. Saat suasana kawasan wisata itu tak gaduh, kita juga bisa menyaksikan sekelompok lutung (kera hitam) keluar dari persembunyiannya. Mereka bergelayut di pohon-pohon, saling rebut ranting bersama puluhan tupai yang melompat-lompat dengan lincahnya.
Ular besar seperti sanca dan phyton pun sesekali terlihat berkelebat memasuki semak-semak. Ular-ular berbisa kecil — jenis kobra hitam, ular pohon, dan jenis lainnya — tak terhitung jumlahnya. Sesekali mereka keluar sarang. Bila mujur, menurut penanggung jawab kawasan itu, Sutoyo, ular seukuran pohon kelapa pun bisa ditemui di antara pepohonan di kawasan Wanawisata Tanjung Papuma. Selain itu, kijang pun masih tersisa di Papuma. Kijang dan beberapa satwa dilindungi ini, berasal dari Gunung Watangan. Mereka kadang-kadang turun mencari air di saat matahari mulai terbenam. (republika.co.id)
Sumber: http://www.tanjungpapuma.com