Oleh: Irfanuddin Wahid Marzuki, S.S
Pendahuluan
Daerah Sulawesi merupakan daerah yang agak terlambat menerima perkembangan Islam di Indonesia (Ambary, 1998 : 59). Pusat penyebaran agama Islam di wilayah Indonesia Timur adalah kerajaan Ternate dan Tidore, yang pada keemasannya mempunyai wilayah sebagian Sulawesi dan Papua. Agama Islam masuk Manado, karena pengaruh dari Kerajaan Ternate. Pada mulanya penganut agama Islam di Manado merupakan pendatang dari Ternate, Tidore, makian, dan Hitu.
Menurut penuturan Prof. Hasan Jan, S.E, selaku ketua Yayasan Masjid Agung Awwal Fathul Mubien penyiar agama Islam pertama di Manado merupakan para habib yang berasal dari Hadramaut, yang sebelumnya masuk ke Ternate. Orang-orang Islam tinggal di Kampung Islam, yang terletak di sebelah utara kota Manado. Masjid pertama di Manado dibangun dengan sangat sederhana berdinding papan dan beratap rumbia pada tahun 1830. Masjid tersebut sekarang sudah dirubah menggunakan bangunan baru tidak tersisa bekas bangunan lamanya, dan menjadi masjid Agung Awwal Fathul Mubien sekarang ini. Perkampungan Islam di Manado mendapat pengaruh dari budaya lokal, dalam hal ini penataan kampung dan pembagian halaman(Graafland, 1991 : 15).
Kajian Epigrafi, selama ini belum pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi Manado, sehingga ini merupakan kajian awal yang nantinya diharapkan bisa menjadi titik awal dalam penelitian-penelitian Epigrafi, arkeologi Islam dan Kolonial di Manado. Obyek tinggalan arkeologi Islam yang berada di Kota Manado berupa makam tua yang terdapat di kompleks pekuburan Islam Tuminting. Secara umum bangunan makam memiliki tiga unsur yang menjadi kelengkapan satu dengan lainnya, yaitu.
1. Kijing (jirat), dasar yang berbentuk persegi panjang dengan berbagai bentuk variasi.
2. Nisan, berupa tanda yang terbuat dari kayu, batu atau logam yang diletakkan di atas kijing. Nisan ada yang dipasang pada bagian kepala saja, atau kepala dan kaki.
3. Cungkup, berupa bangunan pelindung beratap untuk melindungi makam dari hujan (Ambary, 1998 : 199).
Nisan adalah benda kubur yang diletakkan di bagian atas makam sebagai tanda. Bentuknya bermacam-macam sesuai dengan agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan atau sistem klasifikasi sosial yang berlaku dalam kelompok budaya masyarakat pembuatnya. Pada nisan sering dicantumkan jati diri orang yang dimakamkan, seperti nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian. Nisan dapat ditancapkan dalam posisi tegak atau diletakkan membujur di atas makam (Atmodjo, dkk, 2004 : 27).
Nisan-nisan tersebut menggunakan huruf Arab pegon dan berbahasa Melayu. Menurut Thoha Idris, huruf Arab dengan bahasa Melayu dikenal dengan tulisan Jawi (Idris, 2003 : 294). Tulisan Jawi tidak hanya ditemukan di Jawa saja, tetapi juga Semenanjung Melayu, Aceh, Sulawesi, Sumbawa dan juga Ternate.
Tulisan Jawi berkembang seiring berkembangnya agama Islam di Nusantara. Tulisan Jawi mula-mula ditemukan di Semenanjung Melayu abad 15 M, dan berkembang pesat setelah abad 15 M. Tulisan Jawi tidak hanya digunakan dalam penulisan nisan-nisan saja, namun juga meliputi naskah-naskah kuno dan surat resmi penguasa lokal kepada penguasa asing(Idris, 2003 : 295).
Irfanuddin Wahid Marzuki, S.S (Balai Arkeologi Manado)
Sumber: http://www.purbakala.net
Pendahuluan
Daerah Sulawesi merupakan daerah yang agak terlambat menerima perkembangan Islam di Indonesia (Ambary, 1998 : 59). Pusat penyebaran agama Islam di wilayah Indonesia Timur adalah kerajaan Ternate dan Tidore, yang pada keemasannya mempunyai wilayah sebagian Sulawesi dan Papua. Agama Islam masuk Manado, karena pengaruh dari Kerajaan Ternate. Pada mulanya penganut agama Islam di Manado merupakan pendatang dari Ternate, Tidore, makian, dan Hitu.
Menurut penuturan Prof. Hasan Jan, S.E, selaku ketua Yayasan Masjid Agung Awwal Fathul Mubien penyiar agama Islam pertama di Manado merupakan para habib yang berasal dari Hadramaut, yang sebelumnya masuk ke Ternate. Orang-orang Islam tinggal di Kampung Islam, yang terletak di sebelah utara kota Manado. Masjid pertama di Manado dibangun dengan sangat sederhana berdinding papan dan beratap rumbia pada tahun 1830. Masjid tersebut sekarang sudah dirubah menggunakan bangunan baru tidak tersisa bekas bangunan lamanya, dan menjadi masjid Agung Awwal Fathul Mubien sekarang ini. Perkampungan Islam di Manado mendapat pengaruh dari budaya lokal, dalam hal ini penataan kampung dan pembagian halaman(Graafland, 1991 : 15).
Kajian Epigrafi, selama ini belum pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi Manado, sehingga ini merupakan kajian awal yang nantinya diharapkan bisa menjadi titik awal dalam penelitian-penelitian Epigrafi, arkeologi Islam dan Kolonial di Manado. Obyek tinggalan arkeologi Islam yang berada di Kota Manado berupa makam tua yang terdapat di kompleks pekuburan Islam Tuminting. Secara umum bangunan makam memiliki tiga unsur yang menjadi kelengkapan satu dengan lainnya, yaitu.
1. Kijing (jirat), dasar yang berbentuk persegi panjang dengan berbagai bentuk variasi.
2. Nisan, berupa tanda yang terbuat dari kayu, batu atau logam yang diletakkan di atas kijing. Nisan ada yang dipasang pada bagian kepala saja, atau kepala dan kaki.
3. Cungkup, berupa bangunan pelindung beratap untuk melindungi makam dari hujan (Ambary, 1998 : 199).
Nisan adalah benda kubur yang diletakkan di bagian atas makam sebagai tanda. Bentuknya bermacam-macam sesuai dengan agama dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan atau sistem klasifikasi sosial yang berlaku dalam kelompok budaya masyarakat pembuatnya. Pada nisan sering dicantumkan jati diri orang yang dimakamkan, seperti nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian. Nisan dapat ditancapkan dalam posisi tegak atau diletakkan membujur di atas makam (Atmodjo, dkk, 2004 : 27).
Nisan-nisan tersebut menggunakan huruf Arab pegon dan berbahasa Melayu. Menurut Thoha Idris, huruf Arab dengan bahasa Melayu dikenal dengan tulisan Jawi (Idris, 2003 : 294). Tulisan Jawi tidak hanya ditemukan di Jawa saja, tetapi juga Semenanjung Melayu, Aceh, Sulawesi, Sumbawa dan juga Ternate.
Tulisan Jawi berkembang seiring berkembangnya agama Islam di Nusantara. Tulisan Jawi mula-mula ditemukan di Semenanjung Melayu abad 15 M, dan berkembang pesat setelah abad 15 M. Tulisan Jawi tidak hanya digunakan dalam penulisan nisan-nisan saja, namun juga meliputi naskah-naskah kuno dan surat resmi penguasa lokal kepada penguasa asing(Idris, 2003 : 295).
Irfanuddin Wahid Marzuki, S.S (Balai Arkeologi Manado)
Sumber: http://www.purbakala.net