Oleh: Egita Pauline
Sudah lama saya mendengar kecantikan Pulau Penang, Malaysia, terutama dalam hal kekayaan warisan arsitekturnya. Namun, baru pada liburan Lebaran lalu, akhir September silam, saya berkesempatan menengok pulau yang dikenal sebagai Mutiara Timur itu.
Berkunjung ke Pulau Penang--juga kerap disebut Pinang--seorang diri tidaklah serumit yang saya bayangkan sebelumnya. Transportasi umum cukup gampang ditemukan. Dari Bandar Udara Bayan, saya menggunakan transportasi umum semacam busway, Rapid Penang Nomor 402. Yang membuat saya terkesan, moda ini memanjakan penumpang dengan free wi-fi. Sayangnya, saya tidak sempat menggunakan fasilitas ini karena angkutan itu sangat padat. Sebab, sebagian orang Indonesia menghabiskan libur Idul Fitri di pulau itu.
Selama sekitar 45 menit, sampai di pusat Kota Penang, saya menuju hostel kelas backpacker di Jalan Love Lane, George Town, yang sudah saya booking sebelumnya. Saya menempati kamar tipe dormitory dengan kapasitas dua tempat tidur bertingkat, yang dihuni empat perempuan.
George Town adalah kota di Pulau Penang yang terpilih sebagai salah satu kota terbaik di Asia versi majalah Asia Week pada 1998 dan 2000. Selain itu, kota ini mendapat pengakuan resmi dari UNESCO sebagai kota yang memiliki arsitektur unik. George Town telah melalui perkembangan amat pesat sejak dua abad lalu. Awalnya kota ini adalah sebuah rawa, yang akhirnya bertransformasi menjadi sebuah kota perdagangan yang penuh kesibukan.
Hari pertama, sebenarnya saya ingin mengunjungi mal terbesar di pulau itu, yaitu Prangin Mall. Dari sana, saya akan mencoba menaiki free shuttle bus menuju tempat-tempat wisata. Tapi rencana tinggallah rencana. Ketika menaiki Rapid Penang 302 dari depan penginapan, saya menukar tujuan setelah mendengar dari seorang pria bule bahwa bus ini akan menuju Kek Lok Si Temple, kuil yang merupakan salah satu landmark Kota Penang. Kuil yang dibangun pada sekitar 1886 ini merupakan salah satu kuil Buddha terbesar di Asia Tenggara, yang memadukan kebudayaan Cina, Thailand, dan Burma. Di area ini terdapat pagoda berukuran 30 meter dan patung Dewi Kuan Yin, yang pada saat saya berkunjung dalam tahap perbaikan.
Untuk menuju Kek Lok Si, pengunjung harus melewati puluhan anak tangga, yang di kanan dan kiri tangganya terdapat lapak-lapak suvenir. Sementara itu, untuk memasuki area pagoda, pengunjung dikenai tiket masuk 2 ringgit, dan untuk menuju Dewi Kuan Yin dikenai tiket 4 ringgit. Yang unik, untuk menuju Dewi Kuan Yin, para pengunjung harus antre naik sebuah lift yang tidak bergerak ke atas secara tegak lurus, melainkan bergerak ke atas dengan kemiringan lebih-kurang 45 derajat. Saya memperhatikan banyak pengunjung yang menahan napas ketika memasuki lift, termasuk saya.
Begitu tiba di area patung Dewi Kuan Yin, kita dapat menyaksikan patung yang sedang direnovasi dan tentunya bisa menatap keseluruhan Pulau Penang dari ketinggian ini.
Setelah dari Kek Lok Si, saya meneruskan perjalanan ke Penang Hill dengan menaiki Rapid Penang 204 dengan tarif 1,40 ringgit (kurs saat itu 1 ringgit = Rp 2.800). Penang Hill atau juga dikenal dengan Bukit Bendera berada pada ketinggian 830 meter di atas permukaan laut, di tengah hutan yang sejuk. Dari sana, kita akan melihat pemandangan lain dari Kota Penang. Sayangnya, tiket yang dijual untuk kunjungan pukul 20.00 terlalu larut bagi saya. Jadi saya memutuskan kembali ke George Town.
Jam saya sudah menunjukkan pukul 19.30, tapi belum ada tanda-tanda matahari akan menghilang dari langit George Town. Maka saya memutuskan bersantai sejenak di Guerney Mall dan menyaksikan kemeriahan tepi laut. Sayang, ketika saya datang, air laut surut dan kotor.
Hari kedua, teman sekamar saya, Shanti, menawarkan jasa untuk menjadi pemandu gratis bagi saya sebelum ia mengajar anak-anak di sebuah sekolah dasar. Perjalanan mengelilingi George Town pun kami lakukan dengan berjalan kaki. Kami mengawali perjalanan menuju Lebuh Leith, ke sebuah rumah berwarna biru bernama Cheong Fatt Tze Mansion. Rumah ini pernah menerima penghargaan dari UNESCO pada 2000. Cheong Fatt Tze Mansion adalah tempat tinggal seorang taipan Cina yang sempat merajai perdagangan pada 1880-an. Rumah ini terkenal dengan keanggunan dan keunikan arsitektur Anglo-sino, perpaduan Timur dan Barat.
Untuk mengunjungi rumah ini, pengunjung harus ikut dalam tur yang sudah dijadwalkan, yaitu pada pukul 11.00 dan 15.00, dengan tiket masuk berharga 12 ringgit. Satu hal yang mungkin sangat mengganggu para pelancong adalah mereka tidak diizinkan memotret di bagian dalam rumah.
Beranjak beberapa blok dari Leubuh Leith, kami melangkahkan kaki menuju Lebuh Farquhar. Nah, di sini terdapat Cathedral of the Assumption, gereja yang seumur dengan Pulau Penang, yang sampai sekarang tetap terjaga dan terawat baik. Melewati Jalan Lebuh Farquhar seakan kembali ke masa silam. Pengaruh arsitektur Inggris begitu kental, terlihat pada bangunan katedral dan bangunan museum yang berada persis di samping gereja.
Yang menarik, persis di sudut Jalan Masjid Kapitan Keling, berdiri megah Gereja St. George. Ini sebuah gereja Anglican yang dibangun pada 1818, berarsitektur Neo-Palladian Georgian. Keberadaan gereja yang masih terawat dan asri ini menjadi simbol keharmonisan beragama di Pulau Penang. Di kompleks gereja ini berdiri megah sebuah kubah berpilar putih, yang merupakan monumen Francis Light Memorial yang dibangun pada 1886 untuk memperingati 100 tahun berdirinya koloni Inggris di Penang, yang dipimpin oleh Captain Francis Light.
Berjalan sedikit, saya mengarahkan tujuan ke Jalan Padang Kota Lama. Namun, sebelumnya saya melewati Lebuh Light, yang di sana berdiri megah sebuah bangunan kuning dengan tulisan Town Hall di atasnya. Menurut cerita, bangunan yang dibangun pada 1880 oleh Gov. Sir Fedderick Weld ini sempat menjadi sebuah tempat berkumpulnya para bangsawan dan orang-orang terkemuka. Dengan desain arsitektur bergaya Victoria, Town Hall pernah juga digunakan sebagai tempat persembahan teater, upacara gereja, dan acara ulang tahun kerajaan.
Menyusuri George Town memang tidak serumit yang saya bayangkan sebelumnya. Saya berada persis di depan sebuah bangunan putih bergaya arsitektur Neo-Palladian yang dikenal dengan nama City Hall. Terletak di Jalan Padang Kota Lama, City Hall dibangun pada 1903, dan merupakan pusat persidangan kerajaan negeri Kota Pinang.
Setelah menikmati City Hall, saya beristirahat sejenak di esplanade. Jangan berpikir esplanade ini adalah bangunan berbentuk durian seperti yang ada di Singapura. Esplanade di George Town adalah sebuah area terbuka persis di pinggir laut berdekatan dengan City Hall. Tempat ini ramai pengunjung sejak sore hari hingga malam tiba. Dari esplanade ini, kita akan melihat sebuah benteng bertulisan "Kota Fort Conwilis". Dengan membayar tiket masuk sebesar 3 ringgit, di area ini kita bisa melihat-lihat monumen Sir Francis Light, kapel tempat Francis Light melangsungkan pernikahan, bangunan bekas penjara, bangunan bekas tempat penyimpanan bubuk mesiu, dan sisa-sisa meriam yang pernah digunakan pada masanya.
Selain wisata sejarah, George Town menjadi surga bagi mereka yang ingin berwisata rohani. Lihat saja setiap sudut Jalan George Town, pasti ditemukan tempat ibadah, entah kuil Cina yang berumur ratusan tahun, kuil India yang letaknya berseberangan dengan kuil Cina, masjid tua, serta gereja dengan ciri khas tersendiri. Semua berdiri megah di kota ini. Sungguh pemandangan yang menyejukkan hati--pluralitas yang terjaga dengan baik.
Sebelum keluar dari George Town, saya sempatkan pula mampir ke The Pinang Peranakan Mansion, dengan merogoh kocek 10 ringgit. Di mansion ini, para pengunjung akan ditemani seorang pemandu, yang akan bercerita asal-muasal rumah ini.
Tak lupa, saya pun mendatangi perkampungan air (Clan Jettis). Perkampungan terapung yang dihuni oleh etnis Cina ini sudah ada sejak abad ke-19. Para penghuni adalah pendatang dari negeri Cina yang hidup bersama sejarah, geografi, dan asal-usul yang berbeda. Berada di perkampungan ini, saya merasakan sesuatu yang berbeda--melihat ke sebuah kehidupan yang mungkin tidak akan pernah ditemukan di perjalanan mana pun.
Setelah makan siang nasi lemak khas Penang, ditemani gerimis hujan, saya menuju sebuah kuil Thailand, Wat Chayamangkalaram. Di kuil ini terdapat patung Buddha, yang katanya merupakan salah satu patung Buddha terbesar di Asia Tenggara. Saya melihat begitu banyak orang Indonesia di kuil itu. Keluar dari kuil ini, persis di depannya, terdapat kuil Burma, Dharmikarana Burmese Temple. Kuil ini lebih sepi daripada kuil Thailand.
Egita Pauline, Penikmat Perjalanan, Tinggal di Jakarta
Sumber: http://www.tempointeraktif.com
Sudah lama saya mendengar kecantikan Pulau Penang, Malaysia, terutama dalam hal kekayaan warisan arsitekturnya. Namun, baru pada liburan Lebaran lalu, akhir September silam, saya berkesempatan menengok pulau yang dikenal sebagai Mutiara Timur itu.
Berkunjung ke Pulau Penang--juga kerap disebut Pinang--seorang diri tidaklah serumit yang saya bayangkan sebelumnya. Transportasi umum cukup gampang ditemukan. Dari Bandar Udara Bayan, saya menggunakan transportasi umum semacam busway, Rapid Penang Nomor 402. Yang membuat saya terkesan, moda ini memanjakan penumpang dengan free wi-fi. Sayangnya, saya tidak sempat menggunakan fasilitas ini karena angkutan itu sangat padat. Sebab, sebagian orang Indonesia menghabiskan libur Idul Fitri di pulau itu.
Selama sekitar 45 menit, sampai di pusat Kota Penang, saya menuju hostel kelas backpacker di Jalan Love Lane, George Town, yang sudah saya booking sebelumnya. Saya menempati kamar tipe dormitory dengan kapasitas dua tempat tidur bertingkat, yang dihuni empat perempuan.
George Town adalah kota di Pulau Penang yang terpilih sebagai salah satu kota terbaik di Asia versi majalah Asia Week pada 1998 dan 2000. Selain itu, kota ini mendapat pengakuan resmi dari UNESCO sebagai kota yang memiliki arsitektur unik. George Town telah melalui perkembangan amat pesat sejak dua abad lalu. Awalnya kota ini adalah sebuah rawa, yang akhirnya bertransformasi menjadi sebuah kota perdagangan yang penuh kesibukan.
Hari pertama, sebenarnya saya ingin mengunjungi mal terbesar di pulau itu, yaitu Prangin Mall. Dari sana, saya akan mencoba menaiki free shuttle bus menuju tempat-tempat wisata. Tapi rencana tinggallah rencana. Ketika menaiki Rapid Penang 302 dari depan penginapan, saya menukar tujuan setelah mendengar dari seorang pria bule bahwa bus ini akan menuju Kek Lok Si Temple, kuil yang merupakan salah satu landmark Kota Penang. Kuil yang dibangun pada sekitar 1886 ini merupakan salah satu kuil Buddha terbesar di Asia Tenggara, yang memadukan kebudayaan Cina, Thailand, dan Burma. Di area ini terdapat pagoda berukuran 30 meter dan patung Dewi Kuan Yin, yang pada saat saya berkunjung dalam tahap perbaikan.
Untuk menuju Kek Lok Si, pengunjung harus melewati puluhan anak tangga, yang di kanan dan kiri tangganya terdapat lapak-lapak suvenir. Sementara itu, untuk memasuki area pagoda, pengunjung dikenai tiket masuk 2 ringgit, dan untuk menuju Dewi Kuan Yin dikenai tiket 4 ringgit. Yang unik, untuk menuju Dewi Kuan Yin, para pengunjung harus antre naik sebuah lift yang tidak bergerak ke atas secara tegak lurus, melainkan bergerak ke atas dengan kemiringan lebih-kurang 45 derajat. Saya memperhatikan banyak pengunjung yang menahan napas ketika memasuki lift, termasuk saya.
Begitu tiba di area patung Dewi Kuan Yin, kita dapat menyaksikan patung yang sedang direnovasi dan tentunya bisa menatap keseluruhan Pulau Penang dari ketinggian ini.
Setelah dari Kek Lok Si, saya meneruskan perjalanan ke Penang Hill dengan menaiki Rapid Penang 204 dengan tarif 1,40 ringgit (kurs saat itu 1 ringgit = Rp 2.800). Penang Hill atau juga dikenal dengan Bukit Bendera berada pada ketinggian 830 meter di atas permukaan laut, di tengah hutan yang sejuk. Dari sana, kita akan melihat pemandangan lain dari Kota Penang. Sayangnya, tiket yang dijual untuk kunjungan pukul 20.00 terlalu larut bagi saya. Jadi saya memutuskan kembali ke George Town.
Jam saya sudah menunjukkan pukul 19.30, tapi belum ada tanda-tanda matahari akan menghilang dari langit George Town. Maka saya memutuskan bersantai sejenak di Guerney Mall dan menyaksikan kemeriahan tepi laut. Sayang, ketika saya datang, air laut surut dan kotor.
Hari kedua, teman sekamar saya, Shanti, menawarkan jasa untuk menjadi pemandu gratis bagi saya sebelum ia mengajar anak-anak di sebuah sekolah dasar. Perjalanan mengelilingi George Town pun kami lakukan dengan berjalan kaki. Kami mengawali perjalanan menuju Lebuh Leith, ke sebuah rumah berwarna biru bernama Cheong Fatt Tze Mansion. Rumah ini pernah menerima penghargaan dari UNESCO pada 2000. Cheong Fatt Tze Mansion adalah tempat tinggal seorang taipan Cina yang sempat merajai perdagangan pada 1880-an. Rumah ini terkenal dengan keanggunan dan keunikan arsitektur Anglo-sino, perpaduan Timur dan Barat.
Untuk mengunjungi rumah ini, pengunjung harus ikut dalam tur yang sudah dijadwalkan, yaitu pada pukul 11.00 dan 15.00, dengan tiket masuk berharga 12 ringgit. Satu hal yang mungkin sangat mengganggu para pelancong adalah mereka tidak diizinkan memotret di bagian dalam rumah.
Beranjak beberapa blok dari Leubuh Leith, kami melangkahkan kaki menuju Lebuh Farquhar. Nah, di sini terdapat Cathedral of the Assumption, gereja yang seumur dengan Pulau Penang, yang sampai sekarang tetap terjaga dan terawat baik. Melewati Jalan Lebuh Farquhar seakan kembali ke masa silam. Pengaruh arsitektur Inggris begitu kental, terlihat pada bangunan katedral dan bangunan museum yang berada persis di samping gereja.
Yang menarik, persis di sudut Jalan Masjid Kapitan Keling, berdiri megah Gereja St. George. Ini sebuah gereja Anglican yang dibangun pada 1818, berarsitektur Neo-Palladian Georgian. Keberadaan gereja yang masih terawat dan asri ini menjadi simbol keharmonisan beragama di Pulau Penang. Di kompleks gereja ini berdiri megah sebuah kubah berpilar putih, yang merupakan monumen Francis Light Memorial yang dibangun pada 1886 untuk memperingati 100 tahun berdirinya koloni Inggris di Penang, yang dipimpin oleh Captain Francis Light.
Berjalan sedikit, saya mengarahkan tujuan ke Jalan Padang Kota Lama. Namun, sebelumnya saya melewati Lebuh Light, yang di sana berdiri megah sebuah bangunan kuning dengan tulisan Town Hall di atasnya. Menurut cerita, bangunan yang dibangun pada 1880 oleh Gov. Sir Fedderick Weld ini sempat menjadi sebuah tempat berkumpulnya para bangsawan dan orang-orang terkemuka. Dengan desain arsitektur bergaya Victoria, Town Hall pernah juga digunakan sebagai tempat persembahan teater, upacara gereja, dan acara ulang tahun kerajaan.
Menyusuri George Town memang tidak serumit yang saya bayangkan sebelumnya. Saya berada persis di depan sebuah bangunan putih bergaya arsitektur Neo-Palladian yang dikenal dengan nama City Hall. Terletak di Jalan Padang Kota Lama, City Hall dibangun pada 1903, dan merupakan pusat persidangan kerajaan negeri Kota Pinang.
Setelah menikmati City Hall, saya beristirahat sejenak di esplanade. Jangan berpikir esplanade ini adalah bangunan berbentuk durian seperti yang ada di Singapura. Esplanade di George Town adalah sebuah area terbuka persis di pinggir laut berdekatan dengan City Hall. Tempat ini ramai pengunjung sejak sore hari hingga malam tiba. Dari esplanade ini, kita akan melihat sebuah benteng bertulisan "Kota Fort Conwilis". Dengan membayar tiket masuk sebesar 3 ringgit, di area ini kita bisa melihat-lihat monumen Sir Francis Light, kapel tempat Francis Light melangsungkan pernikahan, bangunan bekas penjara, bangunan bekas tempat penyimpanan bubuk mesiu, dan sisa-sisa meriam yang pernah digunakan pada masanya.
Selain wisata sejarah, George Town menjadi surga bagi mereka yang ingin berwisata rohani. Lihat saja setiap sudut Jalan George Town, pasti ditemukan tempat ibadah, entah kuil Cina yang berumur ratusan tahun, kuil India yang letaknya berseberangan dengan kuil Cina, masjid tua, serta gereja dengan ciri khas tersendiri. Semua berdiri megah di kota ini. Sungguh pemandangan yang menyejukkan hati--pluralitas yang terjaga dengan baik.
Sebelum keluar dari George Town, saya sempatkan pula mampir ke The Pinang Peranakan Mansion, dengan merogoh kocek 10 ringgit. Di mansion ini, para pengunjung akan ditemani seorang pemandu, yang akan bercerita asal-muasal rumah ini.
Tak lupa, saya pun mendatangi perkampungan air (Clan Jettis). Perkampungan terapung yang dihuni oleh etnis Cina ini sudah ada sejak abad ke-19. Para penghuni adalah pendatang dari negeri Cina yang hidup bersama sejarah, geografi, dan asal-usul yang berbeda. Berada di perkampungan ini, saya merasakan sesuatu yang berbeda--melihat ke sebuah kehidupan yang mungkin tidak akan pernah ditemukan di perjalanan mana pun.
Setelah makan siang nasi lemak khas Penang, ditemani gerimis hujan, saya menuju sebuah kuil Thailand, Wat Chayamangkalaram. Di kuil ini terdapat patung Buddha, yang katanya merupakan salah satu patung Buddha terbesar di Asia Tenggara. Saya melihat begitu banyak orang Indonesia di kuil itu. Keluar dari kuil ini, persis di depannya, terdapat kuil Burma, Dharmikarana Burmese Temple. Kuil ini lebih sepi daripada kuil Thailand.
Egita Pauline, Penikmat Perjalanan, Tinggal di Jakarta
Sumber: http://www.tempointeraktif.com