Surakarta, Jawa Tengah - Laweyan mulai tumbuh sebagai pusat perdagangan Kerajaan Pajang pada 1500-an, dengan sandang sebagai komoditas utamanya. Sebutan Laweyan berasal dari kata ”lawe”, yang artinya benang dari pilinan kapas. Saat itu, lawe banyak dihasilkan petani di daerah Pedan, Juwiring, dan Gawok. Daerah-daerah itu terletak di selatan Kerajaan Pajang. Lahirnya Laweyan juga tidak lepas dari peran seorang tokoh bernama Ki Ageng Henis. Tak hanya mengajarkan ilmu agama, dia juga mengajarkan seni batik kepada santri-santrinya. Perkembangan daerah Laweyan saat itu juga didukung keberadaan Bandar Kabaran, yang berada di Sungai Jenes. Sungai Jenes terhubung dengan Sungai Bengawan Solo yang bermuara di pantai utara Jawa, sehingga menjadikannya sebagai jalur strategis untuk perdagangan pada masa itu.
Demikian petikan sejarah singkat Laweyan yang tertulis di sebuah spanduk berukuran 2 meter x 3 meter, melengkapi peta wisata Kampoeng Batik Laweyan, yang terpasang di perempatan Jalan Sidoluhur, Laweyan, Solo, Jawa Tengah. Peta itu menjadi petunjuk wisatawan yang masuk Laweyan. Selain menunjuk lokasi-lokasi perajin batik, peta itu pun memberi petunjuk tempat-tempat bersejarah di Laweyan, seperti Masjid Laweyan, Makam Ki Ageng Henis dan Ki Ageng Beluk, Situs Rumah KH Samanhudi, makam KH Samanhudi, Langgar Merdeka, Situs Bandar Kabaranan, dan Museum KH Samanhudi.
Peta wisata beserta katalog Tour de Laweyan diluncurkan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) Unit 94 Tahun 2009 dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Minggu (23/8). ”Bagi wisatawan yang bepergian tanpa pemandu, dan baru pertama kali mendatangi daerah wisata, peta merupakan petunjuk yang paling bermanfaat untuk memandu diri sendiri,” ujar Dewangga Satria Prayudha, salah satu mahasiswa KKN.
Akan lebih membantu lagi, lanjut Dewangga, jika sang wisatawan mendapat informasi latar belakang daerah yang dikunjunginya saat menginjak kaki di tempat wisata tersebut. Saat memulai KKN awal Juli 2009, mahasiswa melihat banyak wisatawan yang masuk Kampung Laweyan, tetapi hanya terkonsentrasi di satu jalan dan umumnya hanya untuk berbelanja batik. Padahal, di kampung itu ada sejumlah tempat bersejarah yang bisa dikunjungi.
Gagasan untuk membuat peta wisata dan sejarah pun muncul. Bekerja sama dengan Kelurahan Laweyan dan Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), para mahasiswa KKN-PPM merealisasikan ide mereka. Setelah observasi dan mengumpulkan informasi tentang sejarah Laweyan, disusunlah sebuah peta wisata, lengkap dengan plakat sejarah dan katalog Tour de Laweyan. Peta wisata kemudian dicetak seperti spanduk dengan bahan flexy vynil berukuran 2 meter x 3 meter. Peta wisata dan plakat sejarah dipasang di lima titik di Kampoeng Batik Laweyan.
Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, Alpha Febela Priyatmono, dan Lurah Laweyan Suyono, menyatakan terima kasih kepada mahasiswa atas karya tersebut. ”Ke depan, kami berencana di semua perempatan jalan ada informasi itu sehingga dapat memandu wisatawan yang masuk ke Laweyan,” ujar Priyatmono. (sonya hellen sinombor)
Sumber: http://koran.kompas.com