Oleh : Putri Novita Taniardi
Bila kita tengah melintas di Jalan H.O.S Cokroaminoto Yogyakarta, terlihat keramaian di ujung selatannya, tepatnya di utara perempatan Wirobrajan. Itulah Pasar klithikan Pakuncen. Pasar Klithikan Pakuncen merupakan pasar tempat jual beli barang-barang bekas. Di Pasar Klithikan Pakuncen (PKP) ini kita dapat menjumpai barang-barang kuno yang sudah jarang dijumpai di sekitar kita. Misalnya saja aneka uang kuno, lampu-lampu kuno, dan pernik-pernik lainnya. Pengunjung PKP pun beragam. Ada yang hanya sekadar mellihat-lihat, namun ada juga yang memang berniat untuk menambah koleksi barang-barang kuno miliknya.
Pasar Klithikan Pakuncen merupakan pasar yang dikelola oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Tujuan dibentuknya paar ini adalah untuk memberikan wadah bagi para pedagang klithikan yang awalnya berjualan di Jalan Mangkubumi, Asem Gede, Alun-Alun Selatan, dan pasar klithikan lain di kota Yogyakarta. Jumlah pedagang terbesar berasal dari pedagang yang awalnya berdagang di Jalan P. Mangkubumi, sebelah selatan Tugu Yogyakarta. Banyaknya pedagang klithikan, baik di Jalan P. Mangkubumi maupun di tempat-tempat lain merupakan potensi pariwisata yang mulai dilirik Pemkot Yogyakarta.
Nama klithikan sendiri sudah mulai dikenal sejak tahun 1960-an dan kembali marak sejak terjadi krisis tahun 1998. Prawiroatmojo (1993:256) menyebutkan bahwa kata “klithik” berarti giring-giring kecil, seperti misalnya suara uang logam jatuh, atau barang-barang yang terbuat dari logam tapi berukuran kecil yang jatuh dan menimbulkan suara “klithik.” Berangkat dari arti kata “klithik” tersebut, dapat diasumsikan bahwa barang dagangan di pasar klithikan berukuran kecil. Sementara, Partaatmadja (1992:112) memaknai Klithik dari asal kata klithih, yaitu mencari sesuatu hingga ke mana-mana. Pemaknaannya kemudian, mencari barang berukuran kecil hingga ke mana-mana, berujung ke pasar klithikan (Handayaningsih, 2007).
Terkait dengan pelesir kita ke PKP, saya ingin mencoba mengaitkan antara barang-barang kuno yang dijumpai di PKP dengan dunia arkeologi. Barang-barang kuno di PKP mencerminkan adanya ketertarikan pada beberapa orang akan benda-benda dari masa lampau tersebut. Bukan hanya untuk memanfaatkan fungsi dari benda tersebut, tetapi juga menyimpan benda-benda tersebut sebagai koleksi.
Untuk menjembatani hal tersebut, saya ingin menyebut, barang-barang kuno yang ada di PKP sebagai tinggalan budaya. Istilah tinggalan budaya biasa digunakan oleh arkeolog untuk menyebut artefak atau monumen yang ditinggalkan oleh manusia, baik individu ataupun komunitas, dari masa lalu, bisa dalam hitungan puluhan hingga ribuan tahun silam. Tinggalan budaya dalam kacamata arkeolog menunjuk pada budaya materi (material culture) hasil karya manusia, sehingga bersifat konkrit dan dapat diraba. Merujuk pernyataan tersebut, saya ingin memasukkan benda-benda kuno yang ada di PKP sebagai tinggalan budaya. Benda-benda kuno seperti misalnya seterika arang, dulu difungsikan sebagai seterika seperti halnya seterika masa listrik masa sekarang. Baik fungsi maupun cara penggunaannya tidak jauh berbeda. Hanya sumber energinya saja yang sudah mengalami transformasi. Masyarakat yang menggunakan seterika arang perlahan meninggalkan benda tersebut setelah dikenal adanya seterika listrik. Kondisi ini lantas memunculkan adanya perbedaan pemberian makna terhadap seterika arang. Ketika seterika arang menjadi primadona pada masa sebelum digunakannya listrik, fungsinya sebagai penghalus pakaian belum tergantikan. Akan tetapi, setelah fungsinya tergantikan, fungsinya berubah menjadi benda koleksi. Dalam bahasa Jawa biasa dikenal dengan istilah klangenan.
Benda-benda kuno semacam seterika arang tersebuut, ada yang bertahan karena terus disimpan hingga sampai ke tangan generasi berikutnya. Ketika budaya bendawi yang telah ditinggalkan manusia masa lalu itu dimiliki oleh generasi sekarang, maka pemaknaannya pun mengalami perubahan sesuai konteks sosialnya.[i] Di sinilah terjadi proses transformasi. Budaya bendawi hasil karya manusia yang sudah mengarungi jaman, pada akhirnya berubah sesuai konteks sosialnya. Pada masa masih digunakan sebagai benda sesuai fungsinya, benda tersebut berada dalam konteks sosial yang “asli.” Sedangkan sekarang, benda tersebut dapat dikatakan sebagai benda kuno dan berada dalam konteks sosial yang berbeda. Bukan berada di tengah-tengah masyarakat yang menggunakan sesuai fungsinya, tetapi menikmati kekunoannya.
Perjalanan benda tersebut menembus jaman dan generasi kemudian dikenal dengan istilah cultural heritage (warisan budaya). Warisan budaya memiliki nilai sejarah dan kultural yang melekat pada dirinya, ia juga selalu dimaknai berbeda dari generasi ke generasi. Sebuah benda akan memiliki makna yang berbeda ketika masyarakat pendukungnya juga sudah mengalami perubahan. Pemberian makna pada benda tersebut dapat dikaitkan juga dengan material symbolisation. Menurut Ian Hodder, material symbolisation is not a passive process, because objects and activities actively represent and act upon society. Pada akhirnya benda-benda kuno yang ada di PKP tersebut mengalami proses simbolisasi, tidak hanya dimaknai sebatas benda mati, tetapi juga menyimbolkan perilaku masyarakat pendukungnya.
Kegairahan masyarakat untuk mengumpulkan benda-benda kuno bertajuk tinggalan budaya tersebut di sisi lain dapat mempermudah kerja arkeologi, terkait dengan arkeologi publik. Merujuk pada pernyataan Karolyn E. Smardz, to make archaelogy is viable, integral part of ongoing cultural and educational activities, the dicipline needs to be marketed aggressively to an increasingly knowledgeable and demanding public.Pasar sudah ada, bahkan pelakunya pun sudah tersedia. Ada baiknya kalangan arkeologi melirik potensi serupa pasar klithikan ini. PKP berpotensi dikembangkan sebagai community based heritage management system.
Catatan: tulisan ini pernah didiskusikan secara terbatas oleh beberapa peneliti di Balai Arkeologi Yogyakarta tanggal 5 Juni 2009
Sumber: http://arkeologijawa.com
Bila kita tengah melintas di Jalan H.O.S Cokroaminoto Yogyakarta, terlihat keramaian di ujung selatannya, tepatnya di utara perempatan Wirobrajan. Itulah Pasar klithikan Pakuncen. Pasar Klithikan Pakuncen merupakan pasar tempat jual beli barang-barang bekas. Di Pasar Klithikan Pakuncen (PKP) ini kita dapat menjumpai barang-barang kuno yang sudah jarang dijumpai di sekitar kita. Misalnya saja aneka uang kuno, lampu-lampu kuno, dan pernik-pernik lainnya. Pengunjung PKP pun beragam. Ada yang hanya sekadar mellihat-lihat, namun ada juga yang memang berniat untuk menambah koleksi barang-barang kuno miliknya.
Pasar Klithikan Pakuncen merupakan pasar yang dikelola oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Tujuan dibentuknya paar ini adalah untuk memberikan wadah bagi para pedagang klithikan yang awalnya berjualan di Jalan Mangkubumi, Asem Gede, Alun-Alun Selatan, dan pasar klithikan lain di kota Yogyakarta. Jumlah pedagang terbesar berasal dari pedagang yang awalnya berdagang di Jalan P. Mangkubumi, sebelah selatan Tugu Yogyakarta. Banyaknya pedagang klithikan, baik di Jalan P. Mangkubumi maupun di tempat-tempat lain merupakan potensi pariwisata yang mulai dilirik Pemkot Yogyakarta.
Nama klithikan sendiri sudah mulai dikenal sejak tahun 1960-an dan kembali marak sejak terjadi krisis tahun 1998. Prawiroatmojo (1993:256) menyebutkan bahwa kata “klithik” berarti giring-giring kecil, seperti misalnya suara uang logam jatuh, atau barang-barang yang terbuat dari logam tapi berukuran kecil yang jatuh dan menimbulkan suara “klithik.” Berangkat dari arti kata “klithik” tersebut, dapat diasumsikan bahwa barang dagangan di pasar klithikan berukuran kecil. Sementara, Partaatmadja (1992:112) memaknai Klithik dari asal kata klithih, yaitu mencari sesuatu hingga ke mana-mana. Pemaknaannya kemudian, mencari barang berukuran kecil hingga ke mana-mana, berujung ke pasar klithikan (Handayaningsih, 2007).
Terkait dengan pelesir kita ke PKP, saya ingin mencoba mengaitkan antara barang-barang kuno yang dijumpai di PKP dengan dunia arkeologi. Barang-barang kuno di PKP mencerminkan adanya ketertarikan pada beberapa orang akan benda-benda dari masa lampau tersebut. Bukan hanya untuk memanfaatkan fungsi dari benda tersebut, tetapi juga menyimpan benda-benda tersebut sebagai koleksi.
Untuk menjembatani hal tersebut, saya ingin menyebut, barang-barang kuno yang ada di PKP sebagai tinggalan budaya. Istilah tinggalan budaya biasa digunakan oleh arkeolog untuk menyebut artefak atau monumen yang ditinggalkan oleh manusia, baik individu ataupun komunitas, dari masa lalu, bisa dalam hitungan puluhan hingga ribuan tahun silam. Tinggalan budaya dalam kacamata arkeolog menunjuk pada budaya materi (material culture) hasil karya manusia, sehingga bersifat konkrit dan dapat diraba. Merujuk pernyataan tersebut, saya ingin memasukkan benda-benda kuno yang ada di PKP sebagai tinggalan budaya. Benda-benda kuno seperti misalnya seterika arang, dulu difungsikan sebagai seterika seperti halnya seterika masa listrik masa sekarang. Baik fungsi maupun cara penggunaannya tidak jauh berbeda. Hanya sumber energinya saja yang sudah mengalami transformasi. Masyarakat yang menggunakan seterika arang perlahan meninggalkan benda tersebut setelah dikenal adanya seterika listrik. Kondisi ini lantas memunculkan adanya perbedaan pemberian makna terhadap seterika arang. Ketika seterika arang menjadi primadona pada masa sebelum digunakannya listrik, fungsinya sebagai penghalus pakaian belum tergantikan. Akan tetapi, setelah fungsinya tergantikan, fungsinya berubah menjadi benda koleksi. Dalam bahasa Jawa biasa dikenal dengan istilah klangenan.
Benda-benda kuno semacam seterika arang tersebuut, ada yang bertahan karena terus disimpan hingga sampai ke tangan generasi berikutnya. Ketika budaya bendawi yang telah ditinggalkan manusia masa lalu itu dimiliki oleh generasi sekarang, maka pemaknaannya pun mengalami perubahan sesuai konteks sosialnya.[i] Di sinilah terjadi proses transformasi. Budaya bendawi hasil karya manusia yang sudah mengarungi jaman, pada akhirnya berubah sesuai konteks sosialnya. Pada masa masih digunakan sebagai benda sesuai fungsinya, benda tersebut berada dalam konteks sosial yang “asli.” Sedangkan sekarang, benda tersebut dapat dikatakan sebagai benda kuno dan berada dalam konteks sosial yang berbeda. Bukan berada di tengah-tengah masyarakat yang menggunakan sesuai fungsinya, tetapi menikmati kekunoannya.
Perjalanan benda tersebut menembus jaman dan generasi kemudian dikenal dengan istilah cultural heritage (warisan budaya). Warisan budaya memiliki nilai sejarah dan kultural yang melekat pada dirinya, ia juga selalu dimaknai berbeda dari generasi ke generasi. Sebuah benda akan memiliki makna yang berbeda ketika masyarakat pendukungnya juga sudah mengalami perubahan. Pemberian makna pada benda tersebut dapat dikaitkan juga dengan material symbolisation. Menurut Ian Hodder, material symbolisation is not a passive process, because objects and activities actively represent and act upon society. Pada akhirnya benda-benda kuno yang ada di PKP tersebut mengalami proses simbolisasi, tidak hanya dimaknai sebatas benda mati, tetapi juga menyimbolkan perilaku masyarakat pendukungnya.
Kegairahan masyarakat untuk mengumpulkan benda-benda kuno bertajuk tinggalan budaya tersebut di sisi lain dapat mempermudah kerja arkeologi, terkait dengan arkeologi publik. Merujuk pada pernyataan Karolyn E. Smardz, to make archaelogy is viable, integral part of ongoing cultural and educational activities, the dicipline needs to be marketed aggressively to an increasingly knowledgeable and demanding public.Pasar sudah ada, bahkan pelakunya pun sudah tersedia. Ada baiknya kalangan arkeologi melirik potensi serupa pasar klithikan ini. PKP berpotensi dikembangkan sebagai community based heritage management system.
Catatan: tulisan ini pernah didiskusikan secara terbatas oleh beberapa peneliti di Balai Arkeologi Yogyakarta tanggal 5 Juni 2009
Sumber: http://arkeologijawa.com