Oleh: Bondan Winarno
Kunjungan terakhir saya ke Samarinda membuat dendam saya sedikit terobati. Tetapi, mohon dicatat: baru sedikit. Mudah-mudahan tulisan ini akan membuat yang sedikit itu menjadi lebih banyak dan lebih banyak lagi.
Dalam kunjungan itu, saya sempat singgah ke Desa Pambang, sekitar 20 kilometer di Utara Samarinda. Desa ini merupakan tempat bermukim masyarakat Dayak Kenyah – salah satu rumpun utama Dayak yang ada di Kalimantan. Mayoritas subsuku Dayak Kenyah ini tinggal di daerah Apo Kayan, di hulu Sungai Mahakam.
Di Desa Pampang, ada sebuah rumah panjang khas Dayak Kenyah yang menjadi pusat kehidupan dan budaya masyarakat di desa itu. Bangunannya megah dan terawat rapi, berdiri anggun di sebuah tanah lapang yang luas. Tiap hari Minggu, masyarakat menyuguhkan atraksi kesenian. Banyak warga Samarinda dan wisatawan yang datang untuk melihat suguhan budaya ini.
Di sepanjang jalan utama desa juga terlihat beberapa toko dan gerai koperasi yang menawarkan berbagai barang kerajinan dan cendera mata khas Dayak Kenyah. Silakan mampir, pemirsa! He he he, jangan lupa, gadis-gadis Dayak cantik-cantik, lho. Dengan kulit mereka yang bening cerah, tentulah akan banyak pemuda kota yang bakal kecantol.
Kualitas maupun harga cendera mata yang dijual di Desa Pampang pun sudah memenuhi syarat untuk dapat dikembangkan ke tingkat yang lebih komersial. Singkatnya, saya berpendapat bahwa penampilan Desa Pampang ini justru jauh lebih efektif daripada upaya seperti yang dilakukan Pemda Kalimantan Barat dengan membuat replika rumah bentang di Pontianak sana. Di Pampang, kita melihatnya secara lebih asli sebagai ampu’ sakampongan (lembaga adat) yang membumi.
Padahal, di Pontianak setiap tahun ada penyelenggaraan Gawai Dayak yang merupakan festival budaya Dayak. Mungkin karena “sentuhan” Pemda agak terlalu kelihatan, maka festival budaya semacam itu menjadi semacam kehilangan greget.
Hal-hal seperti itulah yang membuat saya terpaksa kembali ke soal dendam yang saya tulis pada awal tulisan ini. Saya telah beberapa kali berkunjung ke Sarawak Cultural Village (SCV) di Kuching, Malaysia. SCV merupakan etalase alias show window terbaik di dunia bagi seni dan budaya Dayak. Mereka bahkan menyebutnya secara telak: the living museum for Dayak culture. Kok adanya di Malaysia, sih?
Kita boleh saja berbeda pendapat tentang komersialisme yang menjadi dasar hidup SCV. Tetapi, jujur saja, apa sih saat ini yang dapat dipelihara tanpa dana yang cukup? SCV adalah sebuah usaha alias bisnis yang mampu mengedepankan budaya Dayak dengan sangat baik.
SCV adalah sebuah lahan alam berbukit di luar Kuching yang diubah menjadi taman budaya. Di sana dibangun lima rumah adat Dayak, masing-masing dari rumpun: Iban, Melanau, Bidayuh, Punan, dan Orang Ulu. Mungkin mereka malah mencontoh dari Taman Mini Indonesia Indah, namun berhasil menampilkannya secara lebih istimewa. Di samping rumah-rumah adat Dayak, juga ada rumah adat orang Melayu dan kaum peranakan Tionghoa.
Di setiap rumah adat, kita dapat melihat berbagai aspek kehidupan, seni, dan budaya masing-masing rumpun. Kita bisa melihat bagaimana mereka menenun dan memasak. Kita bahkan bisa mencicipi jajanan yang sedang dibuat. Setiap hari, di panggung utama disajikan dua kali pertunjukan kesenian yang tampil secara profesional.
Dengan kekayaan yang dimiliki Pemerintah Daerah Kalimantan Timur, membuat Dayak Cultural Village yang lebih bagus daripada SCV hanyalah soal political will.
Di Samarinda, sejak enam bulan yang lalu, untuk pertama kalinya telah hadir sebuah rumah makan yang menyajikan masakan Dayak dari subrumpun Lundayeh. Selama ini yang saya dengar hanyalah tentang enam rumpun Dayak mainstream, yaitu: Kenyah-Kayan-Bahau, Iban, Ot Danum, Murut, Klemantan, dan Punan. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam sekitar 400 sub-rumpun. Jangan heran bila mendengar nama-nama sub-rumpun yang sebelumnya tidak pernah Anda ketahui, seperti: Bidayuh, Kanayatn, Orang Ulu, Melanau, dan lain-lain.
Kaum Dayak memiliki palasar palaya’ (tanah ulayat) di seluas Kalimantan, termasuk: Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Sebagian kecil juga dapat dijumpai di Sarawak, Malaysia. Dalam literatur penjajah Hindia-Belanda bahkan dikenal atau diakui adanya Afdeeling Dajaklanden yang merupakan tanah ulayat rumpun Dayak Ngaju. Lokasinya sekarang berada di Kalimantan Tengah – sebuah provinsi yang telah beberapa kali berhasil dipimpin oleh putra Dayak sebagai gubernur.
Lundayeh adalah satu subrumpun yang memang tidak seberapa besar. Mereka bermukim di sekitar Kerayan dan Malinau di Kalimantan Timur. Warung Lundayeh ini menyajikan hidangan khas Dayak, khususnya dari subsuku Lundayeh sendiri. Tetapi, mungkin karena belum banyak yang mengenal kuliner Dayak, maka warung ini juga menyediakan berbagai menu yang lebih akrab bagi orang awam, seperti masakan rica-rica dan bakar-bakaran.
Tentu saja saya tidak ingin kehilangan kesempatan mengenali kuliner Dayak dalam kesempatan kunjungan pertama ke sana. Yang saya pesan adalah luba’ laya’, biter sayur, daun ubi tumbuk, dan ikan mas rebus.
Dalam bahasa Dayak, luba’ berarti nasi, dan laya’ berarti empuk atau lembek. Nasinya terus-menerus diaduk selama proses memasak, sehingga hasilnya adalah setengah bubur setengah nasi. Bubur padat yang masih panas ini kemudian dibungkus dengan daun pisang, sehingga aroma daun membuat nasinya harum.
Luba’ laya’ biasanya disantap dengan biter sayur, yaitu semacam sayur bening yang dibuat dari daun bayam dan daun gedi (daun yang banyak dipakai dalam pembuatan tinutu’an atau bubur manado). Biter sayur ini hanya dibumbui sedikit garam – tanpa kencur maupun bawang merah seperti bila membuat sayur bening. Warna daunnya hijau cantik karena memang hanya direbus sebentar. Daun gedi membuat kuahnya sedikit kental berlendir. Minimalis, tetapi segar.
Selain biter sayur, jenis sayuran lain yang disukai orang-orang Dayak Lundayeh adalah daun ubi tumbuk. Teman-teman dari Sumatra Utara jangan dulu bersorak. Sayur daun ubi tumbuk khas Dayak ini sangat berbeda penampilannya karena tidak disajikan berkuah. Daun singkong ditumbuk, direbus sebentar dengan garam dan bawang merah, dicampur dengan tetelan sapi yang sudah dicincang. Saya duga, di pedalaman sana campurannya adalah lemak babi.
Secara tekstur, baik biter sayur maupun sayur daun ubu tumbuk sangat padan untuk mendampingi luba’ laya’. Karakter lunak merupakan ciri penting dalam kuliner Dayak.
Proteinnya pun disajikan dalam tekstur lembek pula. Ikan sungai yang mereka sukai adalah ikan mas, patin, dan nila. Ikannya direbus utuh dengan bumbu minimalis pula. Rasanya maupun penampilannya sangat mirip dengan kuah asam di Sulawesi Utara. Juga dengan daun kemangi yang membuat masakannya harum.
Kuliner Dayak yang diwakili “Warung Lundayeh” ini memang menegaskan kultur terestrial orang Dayak. Protein mereka dapati dari ikan dan udang dari sungai serta binatang buruan. Orang Dayak pada umumnya tidak mengenal ikan laut dalam tata boga mereka, karena mereka kebanyakan hidup di pedalaman. Sayangnya, di warung ini tidak tersedia sayur dari rotan muda yang merupakan salah satu masakan Dayak populer.
Di Samarinda, Swiss-Belhotel Borneo belum lama ini menyelenggarakan Dayak Cuisine Journey (Wisata Kuliner Dayak) untuk memeringati Proklamasi Kemerdekaan kita. Karena agak sulit mencari rotan sebagai bahan makanan, mereka menggantikannya secara kreatif dengan singkong.
Sungguh, langkah yang terpuji, mengingat kuliner Dayak masih jauh dari popularitas. Di Pontianak belum pernah saya temukan adanya warung Dayak. Di kota-kota besar Kalimantan lainnya pun situasinya sami mawon.
Sayangnya, saya belum pernah berkunjung ke Palangkaraya. Menurut kabar, di Palangkaraya terdapat beberapa rumah makan yang menyajikan masakan Dayak. Namun, karena orang Dayak suka makan babi, warung dan rumah makan Dayak di Palangkaraya dihindari kaum Muslim, sehingga kuliner Dayak semakin tidak dikenal secara umum.
Gubernur Teras Narang, kapan dong bikin festival makanan Dayak di Jakarta? Apa kami perlu mengirim totok bakakak (kode, sandi) berupa sirih pinang ke Palangkaraya dulu? Kami bantu, deh!
Sumber: http://travel.kompas.com
Kunjungan terakhir saya ke Samarinda membuat dendam saya sedikit terobati. Tetapi, mohon dicatat: baru sedikit. Mudah-mudahan tulisan ini akan membuat yang sedikit itu menjadi lebih banyak dan lebih banyak lagi.
Dalam kunjungan itu, saya sempat singgah ke Desa Pambang, sekitar 20 kilometer di Utara Samarinda. Desa ini merupakan tempat bermukim masyarakat Dayak Kenyah – salah satu rumpun utama Dayak yang ada di Kalimantan. Mayoritas subsuku Dayak Kenyah ini tinggal di daerah Apo Kayan, di hulu Sungai Mahakam.
Di Desa Pampang, ada sebuah rumah panjang khas Dayak Kenyah yang menjadi pusat kehidupan dan budaya masyarakat di desa itu. Bangunannya megah dan terawat rapi, berdiri anggun di sebuah tanah lapang yang luas. Tiap hari Minggu, masyarakat menyuguhkan atraksi kesenian. Banyak warga Samarinda dan wisatawan yang datang untuk melihat suguhan budaya ini.
Di sepanjang jalan utama desa juga terlihat beberapa toko dan gerai koperasi yang menawarkan berbagai barang kerajinan dan cendera mata khas Dayak Kenyah. Silakan mampir, pemirsa! He he he, jangan lupa, gadis-gadis Dayak cantik-cantik, lho. Dengan kulit mereka yang bening cerah, tentulah akan banyak pemuda kota yang bakal kecantol.
Kualitas maupun harga cendera mata yang dijual di Desa Pampang pun sudah memenuhi syarat untuk dapat dikembangkan ke tingkat yang lebih komersial. Singkatnya, saya berpendapat bahwa penampilan Desa Pampang ini justru jauh lebih efektif daripada upaya seperti yang dilakukan Pemda Kalimantan Barat dengan membuat replika rumah bentang di Pontianak sana. Di Pampang, kita melihatnya secara lebih asli sebagai ampu’ sakampongan (lembaga adat) yang membumi.
Padahal, di Pontianak setiap tahun ada penyelenggaraan Gawai Dayak yang merupakan festival budaya Dayak. Mungkin karena “sentuhan” Pemda agak terlalu kelihatan, maka festival budaya semacam itu menjadi semacam kehilangan greget.
Hal-hal seperti itulah yang membuat saya terpaksa kembali ke soal dendam yang saya tulis pada awal tulisan ini. Saya telah beberapa kali berkunjung ke Sarawak Cultural Village (SCV) di Kuching, Malaysia. SCV merupakan etalase alias show window terbaik di dunia bagi seni dan budaya Dayak. Mereka bahkan menyebutnya secara telak: the living museum for Dayak culture. Kok adanya di Malaysia, sih?
Kita boleh saja berbeda pendapat tentang komersialisme yang menjadi dasar hidup SCV. Tetapi, jujur saja, apa sih saat ini yang dapat dipelihara tanpa dana yang cukup? SCV adalah sebuah usaha alias bisnis yang mampu mengedepankan budaya Dayak dengan sangat baik.
SCV adalah sebuah lahan alam berbukit di luar Kuching yang diubah menjadi taman budaya. Di sana dibangun lima rumah adat Dayak, masing-masing dari rumpun: Iban, Melanau, Bidayuh, Punan, dan Orang Ulu. Mungkin mereka malah mencontoh dari Taman Mini Indonesia Indah, namun berhasil menampilkannya secara lebih istimewa. Di samping rumah-rumah adat Dayak, juga ada rumah adat orang Melayu dan kaum peranakan Tionghoa.
Di setiap rumah adat, kita dapat melihat berbagai aspek kehidupan, seni, dan budaya masing-masing rumpun. Kita bisa melihat bagaimana mereka menenun dan memasak. Kita bahkan bisa mencicipi jajanan yang sedang dibuat. Setiap hari, di panggung utama disajikan dua kali pertunjukan kesenian yang tampil secara profesional.
Dengan kekayaan yang dimiliki Pemerintah Daerah Kalimantan Timur, membuat Dayak Cultural Village yang lebih bagus daripada SCV hanyalah soal political will.
Di Samarinda, sejak enam bulan yang lalu, untuk pertama kalinya telah hadir sebuah rumah makan yang menyajikan masakan Dayak dari subrumpun Lundayeh. Selama ini yang saya dengar hanyalah tentang enam rumpun Dayak mainstream, yaitu: Kenyah-Kayan-Bahau, Iban, Ot Danum, Murut, Klemantan, dan Punan. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam sekitar 400 sub-rumpun. Jangan heran bila mendengar nama-nama sub-rumpun yang sebelumnya tidak pernah Anda ketahui, seperti: Bidayuh, Kanayatn, Orang Ulu, Melanau, dan lain-lain.
Kaum Dayak memiliki palasar palaya’ (tanah ulayat) di seluas Kalimantan, termasuk: Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Sebagian kecil juga dapat dijumpai di Sarawak, Malaysia. Dalam literatur penjajah Hindia-Belanda bahkan dikenal atau diakui adanya Afdeeling Dajaklanden yang merupakan tanah ulayat rumpun Dayak Ngaju. Lokasinya sekarang berada di Kalimantan Tengah – sebuah provinsi yang telah beberapa kali berhasil dipimpin oleh putra Dayak sebagai gubernur.
Lundayeh adalah satu subrumpun yang memang tidak seberapa besar. Mereka bermukim di sekitar Kerayan dan Malinau di Kalimantan Timur. Warung Lundayeh ini menyajikan hidangan khas Dayak, khususnya dari subsuku Lundayeh sendiri. Tetapi, mungkin karena belum banyak yang mengenal kuliner Dayak, maka warung ini juga menyediakan berbagai menu yang lebih akrab bagi orang awam, seperti masakan rica-rica dan bakar-bakaran.
Tentu saja saya tidak ingin kehilangan kesempatan mengenali kuliner Dayak dalam kesempatan kunjungan pertama ke sana. Yang saya pesan adalah luba’ laya’, biter sayur, daun ubi tumbuk, dan ikan mas rebus.
Dalam bahasa Dayak, luba’ berarti nasi, dan laya’ berarti empuk atau lembek. Nasinya terus-menerus diaduk selama proses memasak, sehingga hasilnya adalah setengah bubur setengah nasi. Bubur padat yang masih panas ini kemudian dibungkus dengan daun pisang, sehingga aroma daun membuat nasinya harum.
Luba’ laya’ biasanya disantap dengan biter sayur, yaitu semacam sayur bening yang dibuat dari daun bayam dan daun gedi (daun yang banyak dipakai dalam pembuatan tinutu’an atau bubur manado). Biter sayur ini hanya dibumbui sedikit garam – tanpa kencur maupun bawang merah seperti bila membuat sayur bening. Warna daunnya hijau cantik karena memang hanya direbus sebentar. Daun gedi membuat kuahnya sedikit kental berlendir. Minimalis, tetapi segar.
Selain biter sayur, jenis sayuran lain yang disukai orang-orang Dayak Lundayeh adalah daun ubi tumbuk. Teman-teman dari Sumatra Utara jangan dulu bersorak. Sayur daun ubi tumbuk khas Dayak ini sangat berbeda penampilannya karena tidak disajikan berkuah. Daun singkong ditumbuk, direbus sebentar dengan garam dan bawang merah, dicampur dengan tetelan sapi yang sudah dicincang. Saya duga, di pedalaman sana campurannya adalah lemak babi.
Secara tekstur, baik biter sayur maupun sayur daun ubu tumbuk sangat padan untuk mendampingi luba’ laya’. Karakter lunak merupakan ciri penting dalam kuliner Dayak.
Proteinnya pun disajikan dalam tekstur lembek pula. Ikan sungai yang mereka sukai adalah ikan mas, patin, dan nila. Ikannya direbus utuh dengan bumbu minimalis pula. Rasanya maupun penampilannya sangat mirip dengan kuah asam di Sulawesi Utara. Juga dengan daun kemangi yang membuat masakannya harum.
Kuliner Dayak yang diwakili “Warung Lundayeh” ini memang menegaskan kultur terestrial orang Dayak. Protein mereka dapati dari ikan dan udang dari sungai serta binatang buruan. Orang Dayak pada umumnya tidak mengenal ikan laut dalam tata boga mereka, karena mereka kebanyakan hidup di pedalaman. Sayangnya, di warung ini tidak tersedia sayur dari rotan muda yang merupakan salah satu masakan Dayak populer.
Di Samarinda, Swiss-Belhotel Borneo belum lama ini menyelenggarakan Dayak Cuisine Journey (Wisata Kuliner Dayak) untuk memeringati Proklamasi Kemerdekaan kita. Karena agak sulit mencari rotan sebagai bahan makanan, mereka menggantikannya secara kreatif dengan singkong.
Sungguh, langkah yang terpuji, mengingat kuliner Dayak masih jauh dari popularitas. Di Pontianak belum pernah saya temukan adanya warung Dayak. Di kota-kota besar Kalimantan lainnya pun situasinya sami mawon.
Sayangnya, saya belum pernah berkunjung ke Palangkaraya. Menurut kabar, di Palangkaraya terdapat beberapa rumah makan yang menyajikan masakan Dayak. Namun, karena orang Dayak suka makan babi, warung dan rumah makan Dayak di Palangkaraya dihindari kaum Muslim, sehingga kuliner Dayak semakin tidak dikenal secara umum.
Gubernur Teras Narang, kapan dong bikin festival makanan Dayak di Jakarta? Apa kami perlu mengirim totok bakakak (kode, sandi) berupa sirih pinang ke Palangkaraya dulu? Kami bantu, deh!
Sumber: http://travel.kompas.com