Oleh: Bondan Winarno
Ada satu lagi yang baru di Makassar. Bandaranya baru. Bahkan belum diresmikan. Arsitekturnya lumayan bagus. Tetapi, di balik kemegahan itu sudah terlihat berbagai ketidaksempurnaan. Semua mata yang terlatih menilai kualitas bangunan akan segera melihat betapa kasarnya pengerjaan finishing bangunan megah itu.
Tentu saja saya langsung meng-inspeksi toiletnya yang baru. Ampyuuuun! Toiletnya sangat kotor. Petugas kebersihan bukannya membersihkan lantai, melainkan malah meratakan kotoran ke seluruh permukaan lantai. Ketika saya katakan kepadanya bahwa toilet ini sangat kotor, ia malah tertawa. Mungkin ia tidak pernah dilatih untuk membedakan mana yang bersih dan mana yang kotor.
Jalan tol baru dari bandara ke kota pun menunjukkan bopeng-bopeng ketidaksempurnaan. Tetapi, yang paling saya sesali adalah hilangnya beberapa penjual dange pulubollong yang semula berjajar-jajar di sepanjang lintasan itu. Di ruas jalan itu kini hanya dapat dijumpai dua orang penjual jajanan khas Bugis itu. Entah berapa lama lagi mereka dapat bertahan menyajikan dange. Satu lagi tanda-tanda kepunahan pusaka kuliner kita?
Dange dibuat dari tepung ketan hitam, parutan kelapa, sedikit garam, dan gula merah. Tepung ketan hitam dan parutan kelapa dikukus, kemudian dicampur dengan sedikit garam. Pengukusan tepung ketan hitam dan parutan kelapa dilakukan untuk memercepat proses pemasakan kue dan menjaganya agar tidak mudah basi. Campuran dimasukkan ke dalam cetakan dari tanah liat yang sebelumnya dibakar sampai membara. Gula merah dimasukkan ke dalam setiap ceruk kue.
Cetakan panas membara itu secara efektif memasak adonan yang dimasukkan ke sana. Dalam waktu sekitar tiga menit saja, dange sudah matang di dalam cetakan membara itu. Bentuknya seperti kue pukis atau sagu rangi. Rasanya gurih-gurih manis. Legit! Dengan citarasa ketan hitam yang menonjol.
Dange pulubollong memang makin langka saat ini. Bahkan, jajanan Bugis yang dulu banyak dijumpai di Pangkajene ini, kini pun tak banyak lagi dapat dijumpai di sana. Tampaknya masyarakat Bugis dan Makassar pun adem-adem saja menanggapi pertanda kelangkaan ini. Maklum, kini sudah hadir begitu banyak jajanan lain yang lebih “modern” – seperti singkong keju, dan lain-lain.
Orang Bugis juga mengenal makanan lain dengan nama yang mirip, yaitu dangke. Dangke adalah susu kerbau yang dikentalkan (koagulasi) sehingga berbentuk padat seperti tahu. Bisa digoreng ataupun dibakar, dangke disantap sebagai lauk bersama sambal. Dangke sangat mirip dengan dali ni horbo yang populer di Tapanuli. Bedanya, dali ni horbo biasa dimasak lagi dengan kuah kuning yang gurih. Sedangkan dangke diperlakukan sebagaimana layaknya tahu goreng.
Dalam kunjungan ini saya pun sempat mencicipi cucur bayao yang ternyata sangat berbeda dari kue cucur yang selama ini kita kenal. Bayao dalam bahasa Bugis berarti telur. Pembuatannya, bentuknya, dan citarasanya sangat mirip dengan srikaya palembang. Bedanya, orang Palembang merasa lebih mantap bila dibuat dari telur bebek. Bedanya lagi, bila srikaya beraroma pandan dan berwarna kehijauan, cucur bayao berwarna kuning seperti telur, dan diberi tambahan kenari sehingga rasanya lebih gurih. Kerenyahan kenari juga memberi tekstur yang kontras terhadap cucur bayao yang lembut dan mulus.
Tentu saja, kunjungan ke Makassar tidak lengkap tanpa makang ikang alias makan ikan. Dalam tulisan sebelumnya tentang Makassar saya pernah mencatat betapa orang-orang Jakarta yang datang ke Makassar terheran-heran melihat jumlah yang dipesan oleh penduduk lokal. Kalau orang Jakarta memesan satu ekor ikan untuk 2-4 orang, orang Makassar selalu memesan satu ekor ikan untuk setiap orang. Itu belum termasuk tambahan udang dan cumi-cumi. Meja makan orang Makassar selalu penuh dengan piring-piring ikan.
Beberapa tahun yang lalu, seorang teman Jalansutra – Rapiali Zainuddin – pernah mengirim ikan kudu-kudu beku dari Makassar. “Kalau ikan ini menabrak kapal selam, justru kapal selamnya yang bocor, Mas,” kata Pak Zain bergurau. Bentuk ikannya memang aneh. Penampang melintangnya berbentuk segi empat. Seluruh permukaan kulitnya keras seperti tulang. Biasanya orang Jakarta menyebut ikan kudu-kudu ini sebagai ikan helikopter.
Ketika itu, saya tidak berhasil mengolah daging ikan kudu-kudu itu menjadi hidangan lezat. Karena itu, ketika menemukan ikan kudu-kudu di RM “Apong”, Makassar, saya langsung memesannya. Ternyata, daging ikannya hanya dibumbui secara minimalis dan kemudian digoreng tanpa tepung. Dagingnya lembut, mirip ikan sunu atau kerapu. Rasanya juga gurih.
Bila Anda mengingini berbagai jenis ikan unik yang jarang dijumpai di rumah makan lain di Makassar, mungkin RM “Apong” inilah yang Anda perlukan. Di sini saya juga menemukan udang kipas yang kulit kerasnya sangat mirip lobster, namun lebih kecil. Ekorya melipat ke dalam, sehingga sekilas udang kipas ini bentuknya seperti bola. Ternyata, seperti juga ikan kudu-kudu yang berkulit keras, daging udang kipas ini pun sangat lembut. Hanya dibakar dan dioles dengan sedikit mayones, daging udang kipas ini sungguh mak nyuss!
Di RM “Bahari”, saya menemukan seekor lain yang unik. Dalam bahasa setempat, ikan ini disebut su’kang. Tampangnya buruk, bertotol-totol, tipis gepeng, berkepala besar, tetapi mulutnya kecil. Secara anatomis, semua bentuknya seperti tidak proporsional. Kulitnya tebal dan keras. Jurumasak yang ahli dapat menguliti “jaket” ikan ini dengan sekali tarik saja. Sama seperti ikan kudu-kudu, daging ikan su’kang ini juga mulus dan lembut, cocok untuk dikukus.
Mungkin sekarang Anda sudah mengenali bahwa orang Makassar jago membakar ikan dan udang. Kendali apinya luar biasa. Mereka mampu memanggang berbagai jenis seafood tanpa hangus. Bahkan, sekilas kelihatan seperti digoreng. Udang bakar dan baronang bakar Makassar selalu tampil cantik minus gosong.
Berbeda dengan rumah makan yang berjualan ikan bakar a la Makassar di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, di Makassar semua restoran yang memasang papan nama seafood selalu menyajikan menu komplet – tidak sekadar ikan bakar.
Salah satu yang tidak boleh dilewatkan bila sedang berada di Makassar adalah acar telur ikan tuing-tuing. Telur ikan terbang yang kecil-kecil direndam semalaman, lalu direbus. Kemudian dicampurkan ke dalam acar timun dan bawang merah. Segar dan krenyes-krenyes! Dijamin ketagihan.
Telur ikan kakap juga disajikan dalam bentuk masakan. Salah satu favorit saya adalah di RM “Istana Laut” yang menyajikan tumis telur ikan kakap dengan kacang mede. Penampilan dan citarasanya mirip sekali dengan chicken kungpao di restoran-restoran Hong Kong. Telur ikan kakap yang berukuran besar dipotong-potong, kemudian digoreng sampai kering di luarnya. Kemudian ditumis bersama kacang mede dan daun bawang dengan bumbu pedas-gurih-manis.
RM “Istana Laut” juga menyajikan masakan khas Makassar yang disebut lawara. Sangat mirip dengan lawar bali, tetapi tidak memakai parutan kelapa. Bahannya adalah jantung pisang kukus, dirajang, dicampur dengan daging ikan tenggiri yang dihaluskan dengan berbagai bumbu. Bila jantung pisang tidak tersedia, penggantinya yang tepat adalah pakis atau paku.
Makanan seafood khas Makassar lainnya adalah paria kampu atau pare isi. Bentuknya mirip siomay bandung, tapi isinya adalah daging ikan yang dilembutkan dicampur dengan parutan kelapa, lalu dimasak dalam kuah kuning asam gurih. Rasa asamnya didapat dari blimbing wuluh atau blimbing sayur.
Hmm, soal seafood, Makassar emang nggak ada matinye!
Sumber: http://travel.kompas.com
Ada satu lagi yang baru di Makassar. Bandaranya baru. Bahkan belum diresmikan. Arsitekturnya lumayan bagus. Tetapi, di balik kemegahan itu sudah terlihat berbagai ketidaksempurnaan. Semua mata yang terlatih menilai kualitas bangunan akan segera melihat betapa kasarnya pengerjaan finishing bangunan megah itu.
Tentu saja saya langsung meng-inspeksi toiletnya yang baru. Ampyuuuun! Toiletnya sangat kotor. Petugas kebersihan bukannya membersihkan lantai, melainkan malah meratakan kotoran ke seluruh permukaan lantai. Ketika saya katakan kepadanya bahwa toilet ini sangat kotor, ia malah tertawa. Mungkin ia tidak pernah dilatih untuk membedakan mana yang bersih dan mana yang kotor.
Jalan tol baru dari bandara ke kota pun menunjukkan bopeng-bopeng ketidaksempurnaan. Tetapi, yang paling saya sesali adalah hilangnya beberapa penjual dange pulubollong yang semula berjajar-jajar di sepanjang lintasan itu. Di ruas jalan itu kini hanya dapat dijumpai dua orang penjual jajanan khas Bugis itu. Entah berapa lama lagi mereka dapat bertahan menyajikan dange. Satu lagi tanda-tanda kepunahan pusaka kuliner kita?
Dange dibuat dari tepung ketan hitam, parutan kelapa, sedikit garam, dan gula merah. Tepung ketan hitam dan parutan kelapa dikukus, kemudian dicampur dengan sedikit garam. Pengukusan tepung ketan hitam dan parutan kelapa dilakukan untuk memercepat proses pemasakan kue dan menjaganya agar tidak mudah basi. Campuran dimasukkan ke dalam cetakan dari tanah liat yang sebelumnya dibakar sampai membara. Gula merah dimasukkan ke dalam setiap ceruk kue.
Cetakan panas membara itu secara efektif memasak adonan yang dimasukkan ke sana. Dalam waktu sekitar tiga menit saja, dange sudah matang di dalam cetakan membara itu. Bentuknya seperti kue pukis atau sagu rangi. Rasanya gurih-gurih manis. Legit! Dengan citarasa ketan hitam yang menonjol.
Dange pulubollong memang makin langka saat ini. Bahkan, jajanan Bugis yang dulu banyak dijumpai di Pangkajene ini, kini pun tak banyak lagi dapat dijumpai di sana. Tampaknya masyarakat Bugis dan Makassar pun adem-adem saja menanggapi pertanda kelangkaan ini. Maklum, kini sudah hadir begitu banyak jajanan lain yang lebih “modern” – seperti singkong keju, dan lain-lain.
Orang Bugis juga mengenal makanan lain dengan nama yang mirip, yaitu dangke. Dangke adalah susu kerbau yang dikentalkan (koagulasi) sehingga berbentuk padat seperti tahu. Bisa digoreng ataupun dibakar, dangke disantap sebagai lauk bersama sambal. Dangke sangat mirip dengan dali ni horbo yang populer di Tapanuli. Bedanya, dali ni horbo biasa dimasak lagi dengan kuah kuning yang gurih. Sedangkan dangke diperlakukan sebagaimana layaknya tahu goreng.
Dalam kunjungan ini saya pun sempat mencicipi cucur bayao yang ternyata sangat berbeda dari kue cucur yang selama ini kita kenal. Bayao dalam bahasa Bugis berarti telur. Pembuatannya, bentuknya, dan citarasanya sangat mirip dengan srikaya palembang. Bedanya, orang Palembang merasa lebih mantap bila dibuat dari telur bebek. Bedanya lagi, bila srikaya beraroma pandan dan berwarna kehijauan, cucur bayao berwarna kuning seperti telur, dan diberi tambahan kenari sehingga rasanya lebih gurih. Kerenyahan kenari juga memberi tekstur yang kontras terhadap cucur bayao yang lembut dan mulus.
Tentu saja, kunjungan ke Makassar tidak lengkap tanpa makang ikang alias makan ikan. Dalam tulisan sebelumnya tentang Makassar saya pernah mencatat betapa orang-orang Jakarta yang datang ke Makassar terheran-heran melihat jumlah yang dipesan oleh penduduk lokal. Kalau orang Jakarta memesan satu ekor ikan untuk 2-4 orang, orang Makassar selalu memesan satu ekor ikan untuk setiap orang. Itu belum termasuk tambahan udang dan cumi-cumi. Meja makan orang Makassar selalu penuh dengan piring-piring ikan.
Beberapa tahun yang lalu, seorang teman Jalansutra – Rapiali Zainuddin – pernah mengirim ikan kudu-kudu beku dari Makassar. “Kalau ikan ini menabrak kapal selam, justru kapal selamnya yang bocor, Mas,” kata Pak Zain bergurau. Bentuk ikannya memang aneh. Penampang melintangnya berbentuk segi empat. Seluruh permukaan kulitnya keras seperti tulang. Biasanya orang Jakarta menyebut ikan kudu-kudu ini sebagai ikan helikopter.
Ketika itu, saya tidak berhasil mengolah daging ikan kudu-kudu itu menjadi hidangan lezat. Karena itu, ketika menemukan ikan kudu-kudu di RM “Apong”, Makassar, saya langsung memesannya. Ternyata, daging ikannya hanya dibumbui secara minimalis dan kemudian digoreng tanpa tepung. Dagingnya lembut, mirip ikan sunu atau kerapu. Rasanya juga gurih.
Bila Anda mengingini berbagai jenis ikan unik yang jarang dijumpai di rumah makan lain di Makassar, mungkin RM “Apong” inilah yang Anda perlukan. Di sini saya juga menemukan udang kipas yang kulit kerasnya sangat mirip lobster, namun lebih kecil. Ekorya melipat ke dalam, sehingga sekilas udang kipas ini bentuknya seperti bola. Ternyata, seperti juga ikan kudu-kudu yang berkulit keras, daging udang kipas ini pun sangat lembut. Hanya dibakar dan dioles dengan sedikit mayones, daging udang kipas ini sungguh mak nyuss!
Di RM “Bahari”, saya menemukan seekor lain yang unik. Dalam bahasa setempat, ikan ini disebut su’kang. Tampangnya buruk, bertotol-totol, tipis gepeng, berkepala besar, tetapi mulutnya kecil. Secara anatomis, semua bentuknya seperti tidak proporsional. Kulitnya tebal dan keras. Jurumasak yang ahli dapat menguliti “jaket” ikan ini dengan sekali tarik saja. Sama seperti ikan kudu-kudu, daging ikan su’kang ini juga mulus dan lembut, cocok untuk dikukus.
Mungkin sekarang Anda sudah mengenali bahwa orang Makassar jago membakar ikan dan udang. Kendali apinya luar biasa. Mereka mampu memanggang berbagai jenis seafood tanpa hangus. Bahkan, sekilas kelihatan seperti digoreng. Udang bakar dan baronang bakar Makassar selalu tampil cantik minus gosong.
Berbeda dengan rumah makan yang berjualan ikan bakar a la Makassar di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, di Makassar semua restoran yang memasang papan nama seafood selalu menyajikan menu komplet – tidak sekadar ikan bakar.
Salah satu yang tidak boleh dilewatkan bila sedang berada di Makassar adalah acar telur ikan tuing-tuing. Telur ikan terbang yang kecil-kecil direndam semalaman, lalu direbus. Kemudian dicampurkan ke dalam acar timun dan bawang merah. Segar dan krenyes-krenyes! Dijamin ketagihan.
Telur ikan kakap juga disajikan dalam bentuk masakan. Salah satu favorit saya adalah di RM “Istana Laut” yang menyajikan tumis telur ikan kakap dengan kacang mede. Penampilan dan citarasanya mirip sekali dengan chicken kungpao di restoran-restoran Hong Kong. Telur ikan kakap yang berukuran besar dipotong-potong, kemudian digoreng sampai kering di luarnya. Kemudian ditumis bersama kacang mede dan daun bawang dengan bumbu pedas-gurih-manis.
RM “Istana Laut” juga menyajikan masakan khas Makassar yang disebut lawara. Sangat mirip dengan lawar bali, tetapi tidak memakai parutan kelapa. Bahannya adalah jantung pisang kukus, dirajang, dicampur dengan daging ikan tenggiri yang dihaluskan dengan berbagai bumbu. Bila jantung pisang tidak tersedia, penggantinya yang tepat adalah pakis atau paku.
Makanan seafood khas Makassar lainnya adalah paria kampu atau pare isi. Bentuknya mirip siomay bandung, tapi isinya adalah daging ikan yang dilembutkan dicampur dengan parutan kelapa, lalu dimasak dalam kuah kuning asam gurih. Rasa asamnya didapat dari blimbing wuluh atau blimbing sayur.
Hmm, soal seafood, Makassar emang nggak ada matinye!
Sumber: http://travel.kompas.com