Oleh Fathor Rahman MD
Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto belakangan ini sedang menggelisahkan ketahanan status Kota Yogyakarta sebagai kota toleran, city of tolerance. Sehingga, ia mulai melempar wacana pembentukan ruang publik. Bahkan, Pemerintah Kota Yogyakarta akan mengajukan permohonan dana untuk membeli empat lahan senilai sekitar Rp 1,67 miliar.
Permintaan itu sudah dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2008 untuk membangun ruang publik. Ruang publik itu dimaksudkan untuk menciptakan ruang interaksi sosial.
Kegelisahan tersebut sepertinya memerlukan apresiasi dari banyak pihak dan seluruh masyarakat yang tinggal di Yogyakarta. Selama ini, kota ini masih diakui mampu mempertahankan dan menjaga interaksi sosial yang ramah, sekalipun pembangunan kota banyak memakan lahan. Belum lagi dihadapkan dengan realitas beragamnya etnis, agama, dan budaya yang datang dari berbagai daerah ternyata tidak mengumbar perseteruan atau konflik sosial dalam persinggungannya. Ini sebuah prestasi berharga yang perlu dilestarikan oleh Kota Yogyakarta. Maka, tidak salah jika banyak pengamat budaya dan kaum intelektual menyebut Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia dan city of tolerance.
Namun, sangat memungkinkan city of tolerance yang diselendangkan bagi Kota Yogyakarta ke depan akan menjadi status kosong yang jauh dari obyektivitas fakta. Ini karena sempitnya ruang publik serta percepatan urbanisasi dari berbagai daerah bila disandingkan dengan perkembangan industrialisasi dan modernisasi budaya akan menjadi kekuatan mahadahsyat menghancurkan nilai-nilai tersebut. Konstruksi modernitas budaya dan industrialisasi memiliki pengaruh besar menciptakan pribadi-pribadi individualistis serta mengundang kecemburuan sosial yang akut. Sistem sosial yang berlangsung di Yogyakarta akan berubah menjadi "mekanistik".
Kurangnya ruang publik dalam jangka panjang akan menjadi bom waktu bagi kondisi psikis warganya. Minimnya ruang publik akan membuat warga lebih banyak melakukan aktivitas yang menyenangkan diri sendiri ketimbang bersosialisasi atau interaksi dengan lingkungan di sekitarnya. Sedikitnya ruang publik membuat warga menjadi sedemikian autistiknya, terperangkap dalam dunianya sendiri. Remaja lebih banyak mencari kepuasan dengan bermain games dan komputer sepanjang hari, mendengar i-pod tanpa peduli keadaan. Budaya individualis akan tertanam sedikit demi sedikit di dalam diri anak di kota ini seiring waktu. Tentunya hal ini tidak baik bagi perkembangan diri mereka karena budaya individualis itu lekat dengan budaya hostile-mudah berkonfrontasi dengan orang lain.
Salah satu contoh terjadi di daerah Seturan. Dalam kurun waktu lebih kurang dari 10 tahun yang lalu, wilayah Seturan, Depok, Sleman, yang dulu didominasi areal persawahan dan perkebunan kini ramai dipadati gemerlap sajian yang ditawarkan kultur industri, seiring berdirinya perguruan tinggi di sana. Meskipun mendatangkan berkah secara ekonomi, perkembangan Seturan yang demikian pesat mendatangkan persoalan sosial. Penduduk setempat mengalami kerugian berupa hilangnya tata krama, kebiasaan tegur sapa, dan kultur sosial lainnya akibat kuatnya pengaruh yang dibawa warga pendatang.
Bila diamati, di Seturan kini telah terjadi pertemuan budaya yang sukar dikompromikan. Seturan kini sudah banyak diwarnai aktivitas mahasiswa yang tidak berkontribusi terhadap terjaganya kultur sosial masyarakat setempat, bahkan akan mengalahkan dan mempersempit aktivitas masyarakat Seturan itu sendiri. Hal ini karena mahasiswa bersifat nothing to lose sehingga tidak mungkin membangun kerja sama untuk mempertahankan dan melestarikan budaya. Semakin lumpuh
Selain mahasiswa, pertemuan kultur dan tradisi yang berbeda juga dibawa oleh para pekerja dan pebisnis. Dari sini, kemudian, Yogyakarta memungkinkan untuk menjadi kota "angkuh", seperti halnya Kota Jakarta yang mendapat singgungan banyak orang, "ibu kota lebih kejam dari ibu tiri". Itu artinya, kegelisahan wali kota memiliki landasan moral sosial ketimuran yang konon masyarakat sangat ramah.
Menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, AAGN Ari Dwipayana, dalam kesempatan diskusi yang diadakan lembaga multikulturalisme Impulse beberapa waktu lalu, selama ini di Yogyakarta sebenarnya sudah memiliki banyak ruang publik, namun ruang publik itu tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Ari mencontohkan, seniman hanya berkumpul dengan seniman, mahasiswa hanya berkumpul dengan mahasiswa, bertemu dalam ruang publik masing-masing. Jika persinggungan banyak kultur, etnis, agama di Yogyakarta tidak mendapat perhatian, meniscayakan akan terciptanya Kota Yogyakarta yang "angkuh".
Selain itu, hal tersebut akan rentan terjadinya kecemburuan sosial. Apalagi, menurut Herry Zudianto dalam bukunya yang berjudul Kekuasaan sebagai Wakaf Politik, Manajemen Yogyakarta Kota, ketahanan Kota Yogyakarta dalam menjaga pluralisme sosial selama ini lebih dikarenakan kemampuan masyarakat dominan (warga Yogyakarta) menerima perbedaan budaya dan etnis yang datang. Jika nantinya masyarakat Yogyakarta semakin kehilangan lahan dan ruang publik, ketika disandingkan dengan semakin meningkatnya jumlah urban dari daerah akan terus memperburuk kultur sosial masyarakat Kota Yogyakarta sendiri.
Terbukti meledaknya peristiwa Sampit, Kalimantan, berdarah tahun 1999 bisa dijadikan cerminan awal bahwa ketika masyarakat Yogyakarta nantinya kehilangan lahan dan sumber perekonomiannya menurun karena tidak mampu bersaing dengan para urban, kemungkinan besar solidaritas masyarakat akan semakin lumpuh dan cenderung mengundang kecemburuan sosial akut yang membibiti konflik fisik di berbagai tempat.
Inisiatif pemerintah kota untuk menciptakan ruang publik merupakan solusi tepat untuk mempertahankan nilai-nilai kultur Yogyakarta serta untuk menjaga pluralisme dan harmoni sosial. Di negara-negara tetangga, ruang publik benar-benar dipandang penting. Di China nyaris di setiap depan rumah susun di sana memiliki taman rindang dan cukup luas. Taman itu setiap pagi dan malam dipenuhi komunitas lansia yang aktif berolahraga ringan semacam tai chi, senam, catur, mahyong atau sekadar bermain alat musik tradisional. Akhir kata, semoga apa yang diagendakan pemerintah kota benar-benar menjadi kenyataan.
Fathor Rahman MD Peneliti Institute for Humankind and Political Studies (Inhups) Yogyakarta
Sumber: http://cetak.kompas.com
Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto belakangan ini sedang menggelisahkan ketahanan status Kota Yogyakarta sebagai kota toleran, city of tolerance. Sehingga, ia mulai melempar wacana pembentukan ruang publik. Bahkan, Pemerintah Kota Yogyakarta akan mengajukan permohonan dana untuk membeli empat lahan senilai sekitar Rp 1,67 miliar.
Permintaan itu sudah dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2008 untuk membangun ruang publik. Ruang publik itu dimaksudkan untuk menciptakan ruang interaksi sosial.
Kegelisahan tersebut sepertinya memerlukan apresiasi dari banyak pihak dan seluruh masyarakat yang tinggal di Yogyakarta. Selama ini, kota ini masih diakui mampu mempertahankan dan menjaga interaksi sosial yang ramah, sekalipun pembangunan kota banyak memakan lahan. Belum lagi dihadapkan dengan realitas beragamnya etnis, agama, dan budaya yang datang dari berbagai daerah ternyata tidak mengumbar perseteruan atau konflik sosial dalam persinggungannya. Ini sebuah prestasi berharga yang perlu dilestarikan oleh Kota Yogyakarta. Maka, tidak salah jika banyak pengamat budaya dan kaum intelektual menyebut Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia dan city of tolerance.
Namun, sangat memungkinkan city of tolerance yang diselendangkan bagi Kota Yogyakarta ke depan akan menjadi status kosong yang jauh dari obyektivitas fakta. Ini karena sempitnya ruang publik serta percepatan urbanisasi dari berbagai daerah bila disandingkan dengan perkembangan industrialisasi dan modernisasi budaya akan menjadi kekuatan mahadahsyat menghancurkan nilai-nilai tersebut. Konstruksi modernitas budaya dan industrialisasi memiliki pengaruh besar menciptakan pribadi-pribadi individualistis serta mengundang kecemburuan sosial yang akut. Sistem sosial yang berlangsung di Yogyakarta akan berubah menjadi "mekanistik".
Kurangnya ruang publik dalam jangka panjang akan menjadi bom waktu bagi kondisi psikis warganya. Minimnya ruang publik akan membuat warga lebih banyak melakukan aktivitas yang menyenangkan diri sendiri ketimbang bersosialisasi atau interaksi dengan lingkungan di sekitarnya. Sedikitnya ruang publik membuat warga menjadi sedemikian autistiknya, terperangkap dalam dunianya sendiri. Remaja lebih banyak mencari kepuasan dengan bermain games dan komputer sepanjang hari, mendengar i-pod tanpa peduli keadaan. Budaya individualis akan tertanam sedikit demi sedikit di dalam diri anak di kota ini seiring waktu. Tentunya hal ini tidak baik bagi perkembangan diri mereka karena budaya individualis itu lekat dengan budaya hostile-mudah berkonfrontasi dengan orang lain.
Salah satu contoh terjadi di daerah Seturan. Dalam kurun waktu lebih kurang dari 10 tahun yang lalu, wilayah Seturan, Depok, Sleman, yang dulu didominasi areal persawahan dan perkebunan kini ramai dipadati gemerlap sajian yang ditawarkan kultur industri, seiring berdirinya perguruan tinggi di sana. Meskipun mendatangkan berkah secara ekonomi, perkembangan Seturan yang demikian pesat mendatangkan persoalan sosial. Penduduk setempat mengalami kerugian berupa hilangnya tata krama, kebiasaan tegur sapa, dan kultur sosial lainnya akibat kuatnya pengaruh yang dibawa warga pendatang.
Bila diamati, di Seturan kini telah terjadi pertemuan budaya yang sukar dikompromikan. Seturan kini sudah banyak diwarnai aktivitas mahasiswa yang tidak berkontribusi terhadap terjaganya kultur sosial masyarakat setempat, bahkan akan mengalahkan dan mempersempit aktivitas masyarakat Seturan itu sendiri. Hal ini karena mahasiswa bersifat nothing to lose sehingga tidak mungkin membangun kerja sama untuk mempertahankan dan melestarikan budaya. Semakin lumpuh
Selain mahasiswa, pertemuan kultur dan tradisi yang berbeda juga dibawa oleh para pekerja dan pebisnis. Dari sini, kemudian, Yogyakarta memungkinkan untuk menjadi kota "angkuh", seperti halnya Kota Jakarta yang mendapat singgungan banyak orang, "ibu kota lebih kejam dari ibu tiri". Itu artinya, kegelisahan wali kota memiliki landasan moral sosial ketimuran yang konon masyarakat sangat ramah.
Menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, AAGN Ari Dwipayana, dalam kesempatan diskusi yang diadakan lembaga multikulturalisme Impulse beberapa waktu lalu, selama ini di Yogyakarta sebenarnya sudah memiliki banyak ruang publik, namun ruang publik itu tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Ari mencontohkan, seniman hanya berkumpul dengan seniman, mahasiswa hanya berkumpul dengan mahasiswa, bertemu dalam ruang publik masing-masing. Jika persinggungan banyak kultur, etnis, agama di Yogyakarta tidak mendapat perhatian, meniscayakan akan terciptanya Kota Yogyakarta yang "angkuh".
Selain itu, hal tersebut akan rentan terjadinya kecemburuan sosial. Apalagi, menurut Herry Zudianto dalam bukunya yang berjudul Kekuasaan sebagai Wakaf Politik, Manajemen Yogyakarta Kota, ketahanan Kota Yogyakarta dalam menjaga pluralisme sosial selama ini lebih dikarenakan kemampuan masyarakat dominan (warga Yogyakarta) menerima perbedaan budaya dan etnis yang datang. Jika nantinya masyarakat Yogyakarta semakin kehilangan lahan dan ruang publik, ketika disandingkan dengan semakin meningkatnya jumlah urban dari daerah akan terus memperburuk kultur sosial masyarakat Kota Yogyakarta sendiri.
Terbukti meledaknya peristiwa Sampit, Kalimantan, berdarah tahun 1999 bisa dijadikan cerminan awal bahwa ketika masyarakat Yogyakarta nantinya kehilangan lahan dan sumber perekonomiannya menurun karena tidak mampu bersaing dengan para urban, kemungkinan besar solidaritas masyarakat akan semakin lumpuh dan cenderung mengundang kecemburuan sosial akut yang membibiti konflik fisik di berbagai tempat.
Inisiatif pemerintah kota untuk menciptakan ruang publik merupakan solusi tepat untuk mempertahankan nilai-nilai kultur Yogyakarta serta untuk menjaga pluralisme dan harmoni sosial. Di negara-negara tetangga, ruang publik benar-benar dipandang penting. Di China nyaris di setiap depan rumah susun di sana memiliki taman rindang dan cukup luas. Taman itu setiap pagi dan malam dipenuhi komunitas lansia yang aktif berolahraga ringan semacam tai chi, senam, catur, mahyong atau sekadar bermain alat musik tradisional. Akhir kata, semoga apa yang diagendakan pemerintah kota benar-benar menjadi kenyataan.
Fathor Rahman MD Peneliti Institute for Humankind and Political Studies (Inhups) Yogyakarta
Sumber: http://cetak.kompas.com