Oleh: Adiana Ahmad
Bangunan rumahnya berbentuk panggung dan model atapnya berbentuk joglo. Sama dengan rumah adat Sumba yang lain. Rumah ini dibangun khusus untuk menyimpan mayat (jenazah).
Rumah hanya terdiri dari satu ruangan los, tanpa sekat. Hanya di bagian dekat pintu masuk dibagi dua untuk memisahkan tempat mayat dengan tempat tidur papanggang (penjaga mayat).
Selama jenazah disemayamkan, papanggang yang berjumlah enam orang akan berada di tempat itu, Mereka tidak ke mana-mana. Makan minum juga di dalam ruangan itu.
Rumah mayat atau rumah besar, ditopang empat tiang induk di bagian tengah. Satu tiang diantaranya merupakan tempat hamayang. Di antara empat tiang itu ada dapur tanah. Di atas dapur ada para-para dua susun. Para-para ini yang dipakai untuk menyimpan berbagai kebutuhan papanggang. Dapur yang ada berfungsi sebagai tempat memasak makan para papanggang.
Selain empat tiang itu, ada dua tiang lainnya yang berada di samping kiri dari empat tiang utama. Satu dari dua tiang tersebut merupakan tiang penyandar mayat.
Dua tiang ini yang memisahkan ruang utama dengan ruang tempat gong dan pemukul gong. Tempat pemukul gong letaknya lebih tinggi sekitar 10 cm dari ruang utama. Sementara tempat para papanggang berada di dekat pintu masuk.
Para papanggang ini adalah hamba atau orang dalam rumah dari para bangsawan atau keturunan raja di kampung itu. Papanggang terdiri dari enam orang, tiga perempuan dan tiga laki-laki.
Selain menjaga mayat selama disemayamkan di rumah besar, para papanggang ini mempunyai tugas tertentu saat penguburan, dimana mereka bertugas sebagai pengantar arwah dengan kostum yang disesuaikan dengan tugas masing-masing. Tiga papanggang laki-laki masing-masing bertugas sebagai penunggang kuda atau yang disebut kaliti njara, satu orang bertugas menggendong ayam atau lunggu manu, satu orang lainnya membawa siri pinang arwah atau halili kalumbut.
Sedangkan tiga orang perempuan bertugas untuk membawa siri pinang tetapi peruntukannya berbeda-beda. Satu perempuan sebagai tidung tubuk, yakni perempuan yang memakai topi daun dibalut kain merah.
Perempuan ini membawa sirih pinang untuk arwah yang meninggal mendampingi laki-laki halili kalumbut. Satu perempuan lagi bertugas membawa siri pinang di tempat yang ditenteng atau disebut yutu kapu, dan satu orang lainnya membawa siri pinang di dulang atau yang disebut tema kaba. Perempuan kedua dan ketiga ini membawa siri pinang untuk para pelayat.
Tata cara ini, menurut Umbu Mbani, yang akan dilakukan ketika penguburan jenazah almarhum Bupati Mehang Kunda.
Kampung Praiawang Rende terdiri dari delapan rumah tinggal, satu rumah besar dan satu rumah para dewa (uma ndewa) sebagai tempat sembahyang penganut kepercayaan Marapu.
Gong di rumah ini baru dibunyikan ketika minggu terakhir atau delapan hari terakhir menjelang penguburan jenazah yang ada di rumah besar.
Delapan rumah tinggal ini, kata Umbu Mbani, merupakan rumah delapan istri dari Raja Praiawang Rende. Almarhum Umbu Mehang Kunda, katanya, merupakan turunan dari istri pertama Raja Praiawang Rende. Karena itu rumah tinggalnya di kampung itu disebut Uma Jangga. (Pos Kupang/adiana ahmad)
Sumber: Banjarmasin Post
Bangunan rumahnya berbentuk panggung dan model atapnya berbentuk joglo. Sama dengan rumah adat Sumba yang lain. Rumah ini dibangun khusus untuk menyimpan mayat (jenazah).
Rumah hanya terdiri dari satu ruangan los, tanpa sekat. Hanya di bagian dekat pintu masuk dibagi dua untuk memisahkan tempat mayat dengan tempat tidur papanggang (penjaga mayat).
Selama jenazah disemayamkan, papanggang yang berjumlah enam orang akan berada di tempat itu, Mereka tidak ke mana-mana. Makan minum juga di dalam ruangan itu.
Rumah mayat atau rumah besar, ditopang empat tiang induk di bagian tengah. Satu tiang diantaranya merupakan tempat hamayang. Di antara empat tiang itu ada dapur tanah. Di atas dapur ada para-para dua susun. Para-para ini yang dipakai untuk menyimpan berbagai kebutuhan papanggang. Dapur yang ada berfungsi sebagai tempat memasak makan para papanggang.
Selain empat tiang itu, ada dua tiang lainnya yang berada di samping kiri dari empat tiang utama. Satu dari dua tiang tersebut merupakan tiang penyandar mayat.
Dua tiang ini yang memisahkan ruang utama dengan ruang tempat gong dan pemukul gong. Tempat pemukul gong letaknya lebih tinggi sekitar 10 cm dari ruang utama. Sementara tempat para papanggang berada di dekat pintu masuk.
Para papanggang ini adalah hamba atau orang dalam rumah dari para bangsawan atau keturunan raja di kampung itu. Papanggang terdiri dari enam orang, tiga perempuan dan tiga laki-laki.
Selain menjaga mayat selama disemayamkan di rumah besar, para papanggang ini mempunyai tugas tertentu saat penguburan, dimana mereka bertugas sebagai pengantar arwah dengan kostum yang disesuaikan dengan tugas masing-masing. Tiga papanggang laki-laki masing-masing bertugas sebagai penunggang kuda atau yang disebut kaliti njara, satu orang bertugas menggendong ayam atau lunggu manu, satu orang lainnya membawa siri pinang arwah atau halili kalumbut.
Sedangkan tiga orang perempuan bertugas untuk membawa siri pinang tetapi peruntukannya berbeda-beda. Satu perempuan sebagai tidung tubuk, yakni perempuan yang memakai topi daun dibalut kain merah.
Perempuan ini membawa sirih pinang untuk arwah yang meninggal mendampingi laki-laki halili kalumbut. Satu perempuan lagi bertugas membawa siri pinang di tempat yang ditenteng atau disebut yutu kapu, dan satu orang lainnya membawa siri pinang di dulang atau yang disebut tema kaba. Perempuan kedua dan ketiga ini membawa siri pinang untuk para pelayat.
Tata cara ini, menurut Umbu Mbani, yang akan dilakukan ketika penguburan jenazah almarhum Bupati Mehang Kunda.
Kampung Praiawang Rende terdiri dari delapan rumah tinggal, satu rumah besar dan satu rumah para dewa (uma ndewa) sebagai tempat sembahyang penganut kepercayaan Marapu.
Gong di rumah ini baru dibunyikan ketika minggu terakhir atau delapan hari terakhir menjelang penguburan jenazah yang ada di rumah besar.
Delapan rumah tinggal ini, kata Umbu Mbani, merupakan rumah delapan istri dari Raja Praiawang Rende. Almarhum Umbu Mehang Kunda, katanya, merupakan turunan dari istri pertama Raja Praiawang Rende. Karena itu rumah tinggalnya di kampung itu disebut Uma Jangga. (Pos Kupang/adiana ahmad)
Sumber: Banjarmasin Post