Situs Kerajaan Koto Alang ini telah sangat lama terlupakan. Hanya beberapa Tokoh adat yang tetap menjaganya. Walau dijaga, tetap saja tak lepas dari tangan jahil yang suka memperjual belikan Benda Cagar Budaya (BCB) yang terdapat di lokasi Situs Kerajaan Koto Alang ini. Pemerintah setempat nyaris tidak mengetahui keberadaannya (atau pura-pura tidak tahu). Hati terasa perih ketika Situs Kerajaan Koto Alang terabaikan begitu saja. Maka saya mencoba menelusurinya. Sobat netter mau tau cerita petualangan saya menelusuri Situs Kerajaan Koto Alang ini? Silakan lanjutkan baca cerita selengkapnya.
Penelusuran di Dusun Botuang
Saya menelusurinya bersama seorang teman dari Koran Kampus “Bahana Mahasiswa” Universitas Riau. Dari Pekanbaru menempuh perjalanan darat menuju Kota Taluk Kuantan ibu kota Kabupaten Kuantan Singingi (Kab. Kuansing), pada minggu ketiga dan hari ketiga di bulan Oktober 2008, ujan rintik-rintik menemani perjalanan kami. Tujuannya adalah Kecamatan Kuantan Mudik, disitulah terdapat Dusun Botuang di Desa Sangau.
Untuk mencapai Dusun Botuang ini dibutuhkan waktu sekitar setengah jam dari pusat Kota Taluk Kuantan, Situs Kerajaan Koto Alang itu berada disini, dinamakan Padang Candi karena diduga kuat disitu terdapat sebuah candi yang telah sangat lama tebenam. Untuk sampai kelokasi Padang Candi ini kami melewati sebuah sungai kecil bernama Sungai Salo dan dilintasi dengan jembatan gantung yang terbuat dari kayu, bagi orang yang tidak terbiasa melewatinya akan merasa gamang karena sewaktu dilewati ia bergoyang-goyang.
Kerajaan Koto AlangDusun Botuang ini banyak menyimpan Benda Cagar Budaya (BCB) yang sering ditemukan penduduk setempat secara tak sengaja, sewaktu menggali tanah untuk berkebun dan atau hanya sekedar menata halaman rumah, seperti perhiasan yang terbuat dari emas: cincin, kalung, gelang, juga jarum penjahit dan mata kail. Menurut cerita penduduk setempat, Herlita menceritakan awal temuan ini, ketika salah seorang penduduk bermimpi didatangi orang tak dikenal untuk menggali sebuah guci yang berisikan perhiasan, setelah digali ditempat yang ditunjukkan orang tak dikenal dalam mimpim itu. Namun sayang guci itu kembali membenamkan diri, karena “Sewaktu bermimpi guci itu minta didarahi dengan darah Kambing Hitam, karena sulit didapat diganti dengan darah Anjing Hitam, makanya dia kembali tenggelam kedalam tanah,” terang Herlita.
Hal ini dibenarkan oleh Rabu Jailani Kepala Dusun Botuang, “semenjak itu banyak masyarakat yang mengambil tanah disekitar bekas penggalian guci itu untuk didulang di Sungai Salo, dan menemukan emas, malahan ada yang telah berbentuk cincin, gelang, mata kail dan jarum penjahit, kejadiannya sekitar tahun tujuh puluhan,” kata Rabu Jailani. Karena suatu hal penggalian dibekas ditemukannya guci itu dihentikan atas kesepakatan tokoh-tokoh adat Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal.
Selain perhiasan yang terbuat dari emas yang paling sering ditemukan penduduk setempat adalah batu bata kuno, berukuran sekitar satu jengkal kali dua jengkal persegi—jengkal orang dewasa. “Kalau kita gali dengan kedalaman sekitar satu meter saja, kita bisa menemukan batu bata kuno ini masih tersusun rapi didalam tanah,” kata Rabu Jailani. Dari ditemukannya batu bata kuno tersebut banyak dilakukan penelitian-penelitian dan penggalian-penggalian. Pada tahun 1955 M pernah dilakukan penggalian dan menemukan Arca sebesar botol, dan Arca tersebut sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya.
”Dulu masyarakat setempat tidak mengenal nilai dari arca tersebut sebagai benda cagar budaya yang tak ternilai harganya sebagai situs suatu peradaban kuno, akhirnya masyarakat menjualnya,” ungkap Yasir Kepala Desa Sangau. ”Sangat disayangkan,” sesalnya. Pada penggalian terakhir yang diketahui pada tahun 2007 dilakukan oleh Badan Purbakala Batu Sangkar bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Propinsi Riau tanpa sepengatahuan Pemangku Adat dan Pemerintah Daerah.
Pada penggalian sebelumnya mereka menemukan mantra berbahasa sangskerta yang ditulis pada kepingan emas yang saat ini tidak diketahui keberadaannya. ”Kita kecolongan waktu itu,” terang Suhernita Kepala Seksi (Kasi) Pengkajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional, Dinas Budaya Kesenian dan Pariwisata (Disbudsianipar) Kabupaten Kuantan Singingi (Kab. Kuansing), Suhernita menambahkan, adanya kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan saat ini Disbudsianipar Kab. Kuansing fokus pada pembangunan fisik, “Untuk tahun ini kita fokus pada pembangunan fisik untuk objek parawisata Air Terjun Guruh Gemurai yang ada di Desa Kasang, Kecamatan Kuantan Mudik,” terangnya.
Hal ini dibenarkan oleh Drs. Syafrinal, M.Si kepala Disbudsianipar, yang baru menjabat sekitar enam bulan yang lalu, “Banyaknya kelemahan yang kita alami dalam perawatan objek pariwisata dan situs-situs bersejarah sangatlah merugikan kita.” Ungkap Syafrinal sewaktu kami jumpai di ruang kerjanya Komplek Perkantoran Pemerintah Daerah (Pemda) Kab. Kuansing, Kamis (23/10) lalu.
Untuk mengantisipasi kejadian serupa, Syafrinal telah berusaha semaksimal mungkin, “Kita telah membentuk tim pengumpul data objek pariwisata dan situs sejarah disetiap kecamatan,” selain itu Syafrinal mengharapkan sumbangsi kita bersama, dan pihak swasta yang mau menanamkan modalnya untuk pengembangan objek pariwisata dan situs bersejarah yang ada di Kab. Kuansing. “Saya bangga dengan yang dilakukan pemuda saat ini yang merawat seni, budaya dan parawisata Kuansing melalui media internet, salah satunya sungaikuantan.com yang saya lihat serius dalam hal ini,” ungkap Syafrinal.
Kerajaan Koto Alang
Kerajaan Koto Alang apakah di Dusun Botuang?
Banyaknya ditemukan Benda Cagar Budaya (BCB) di Dusun Botuang, diduga kuat di sini berdiri kerajaan Hindu dengan nama Kerajaan Koto Alang, walau belum ada penelitian secara ilmiah yang mengungkapkannya. Mahmud Sulaiman (68)—Bergelar Datuk Tomo, seorang tokoh adat Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, adalah keturunan Raja Kerajaan Koto Alang. Padang Candi yang terdapat di Dusun Botuang ada dibawah pengawasannya sebagai tokoh adat.
Kalau ada orang atau peneliti yang ingin tahu cerita detail tentang Padang Candi maka masyarakat Dusun Botuang merekomendasikan Datuk Tomo kepada peneliti tersebut, “Kami disini tidak tahu banyak tentang sejarah Padang Candi, yang mengetahuinya ya yang mengawasi Padang Candi, yaitu Datuk Tomo,” terang Rabu Jailani Kepala Dusun Botuang. Hal ini di benarkan pula oleh Yasir Kepala Desa Sangau, “Kalau sejarah Padang Candi kami serahkan kepada tokoh adat yang berwenang terhadap Padang Candi, dia Datuk Tomo,” kata Yasir, “Semua perangkat desa tidak ada yang mengetahuinya secara detail,” tambah pria tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) ini, sewaktu kami temui di ruang kerjanya Kamis (23/10) lalu.
Sehingga kami penasaran dan langsung menelusurinya, lalu tim kami berkunjung kekediaman Datuk Tomo yang berada di Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, dan ia menceritaka tentang Padang Candi kepada tim BM dari petikan Tambo Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal. Tambo tersebut telah hancur dimakan zaman, sekarang Datuk Tomo kembali berusaha membukukannya dari hasil ingatannya, dan dari hasil penelitian tim Penelusuran Kerajaan Kandis, di Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal.
Tim ini di koordinatori oleh Pebri Mahmud Al-Hamidi, beranggotakan Drs. H. Syafri Yoes, Triwan Hardi, SH., Agusrisal SR, Hardimansyah, Jhon Herizon Patra, Raja Bastian, SE., Drs. H. Mukhlis MR., MSi., Ikatan Keluarga Kuantan Mudik (IKKM) Pekanbaru, dan Himpunan Pelajar Mahasiswa Kuantan Mudik (HPMKM) Pekanbaru. Yang diarahkan oleh Penghulu Pucuk Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal (Mahmud Sulaiman Dt. Tomo dan Syamsinar Dt. Rajo Suaro) beserta seluruh Pemangku Adat dalam Wilayah Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal. “Setelah bahan-bahan telah terkumpul semua dan dapat dipertanggung jawabkan akan segera diterbitkan dalam bentuk buku,” ucap Datuk Tomo.
Berdasarkan Tambo tersebut kerajaan Koto Alang adalah pengembangan dari Kerajaan Kandis, “Pada masa jayanya Kerajaan Kandis banyak terjadi perebutan kekuasaan dari orang-orang yang merasa mampu, mereka ingin merebut kekuasaan dan akhirnya memisahkan diri dari Kerajaan Kandis,” kata Datuk Tomo. Maka berdirilah Kerajan Koto Alang pada tahun ke 2 M, Rajanya bergelar Aur Kuning, ia mempunyai Patih (Wakil Raja) dan Temenggung (Penasehat Raja).
“Berdirinya Kerajaan Koto Alang maka terjadilah perebutan kekuasaan antar kerajaan,” Maka pada tahun 6 M Kerajaan Kandis menyerang Kerajaan Koto Alang. Dimenangkan Kerajaan Kandis. Raja Aur Kuning melarikan diri ke Jambi, ”Itulah asal usul nama Sungai Salo yang berarti Raja bukak selo—buka sila, di Dusun Botuang.” Karena tidak mau tunduk dibawah pemerintahan Kerajaan Kandis, Patih dan Temenggung melarikan diri ke arah Barat menuju Gunung Merapi (Sumatra Barat) dan mereka berganti nama, Patih menjadi Datuk Perpatih nan Sebatang dan Temenggung menjadi Datuk Ketemenggungan, ”Kedua tokoh inilah yang menjadi tokoh adat legendaris Minangkabau.” ungkap Datuk Tomo.
Peninggalan Raja Aur Kuning saat ini masi bisa ditemukan yaitu berupa Mustika Gajah sebesar bola pingpong, yang ditemukan Raja Aur Kuning didalam kepala Gajah Tunggal sewaktu Raja Aur Kuning mengalahkan Gajah Tunggal—karena mempunyai satu gading, dibunuh dengan menggunakan Lembing Sogar Jantan. ”Tempat Raja Aur Kuning membunuh Gajah Tunggal itu kini bernama Lopak Gajah Mati yang terdapat disebelah selatan Pasar Lubuk Jambi, Mustika Gajah dan Gading Tunggal, masih saya simpan, kecuali Gading Tunggal yang telah dijual salah seorang keluarga saya, ketika saya tidak berda dikampung pada tahun 1976, sangat disayangkan,” kata Datuk berjanggut ini. Sungai yang mengalir disamping Lopak Gajah Mati tersebut dinamakan dengan Batang Simujur, yang berarti mujur/beruntung membunuh gajah tersebut.
Prof. Suwardi. MS, seorang sejarawan Riau, pernah malakukan penelusuran dengan Datuk Tomo tentang Kerajaan Kandis dan Kerajaan Koto Alang, dan terhenti karena sesuatu hal, ”Kerajaan Kandis memang ada diceritakan sekilas didalam Kitab Negara Kertagama, Kerajaan Kandis itu berada di Rantau Kuantan, penelusuran ini terhenti dengan kendala SDM dan dana,” terang Suwardi. Sampai tulisan ini terbit belum ada pembenahan terhadap situs bersejarah yang terdapat di Dusun Botuang, Desa Sangau, Kec. Kuantan Mudik, Kab. Kuansing, Propinsi Riau tersebut.
Sumber: http://sosbud.kompasiana.com
Penelusuran di Dusun Botuang
Saya menelusurinya bersama seorang teman dari Koran Kampus “Bahana Mahasiswa” Universitas Riau. Dari Pekanbaru menempuh perjalanan darat menuju Kota Taluk Kuantan ibu kota Kabupaten Kuantan Singingi (Kab. Kuansing), pada minggu ketiga dan hari ketiga di bulan Oktober 2008, ujan rintik-rintik menemani perjalanan kami. Tujuannya adalah Kecamatan Kuantan Mudik, disitulah terdapat Dusun Botuang di Desa Sangau.
Untuk mencapai Dusun Botuang ini dibutuhkan waktu sekitar setengah jam dari pusat Kota Taluk Kuantan, Situs Kerajaan Koto Alang itu berada disini, dinamakan Padang Candi karena diduga kuat disitu terdapat sebuah candi yang telah sangat lama tebenam. Untuk sampai kelokasi Padang Candi ini kami melewati sebuah sungai kecil bernama Sungai Salo dan dilintasi dengan jembatan gantung yang terbuat dari kayu, bagi orang yang tidak terbiasa melewatinya akan merasa gamang karena sewaktu dilewati ia bergoyang-goyang.
Kerajaan Koto AlangDusun Botuang ini banyak menyimpan Benda Cagar Budaya (BCB) yang sering ditemukan penduduk setempat secara tak sengaja, sewaktu menggali tanah untuk berkebun dan atau hanya sekedar menata halaman rumah, seperti perhiasan yang terbuat dari emas: cincin, kalung, gelang, juga jarum penjahit dan mata kail. Menurut cerita penduduk setempat, Herlita menceritakan awal temuan ini, ketika salah seorang penduduk bermimpi didatangi orang tak dikenal untuk menggali sebuah guci yang berisikan perhiasan, setelah digali ditempat yang ditunjukkan orang tak dikenal dalam mimpim itu. Namun sayang guci itu kembali membenamkan diri, karena “Sewaktu bermimpi guci itu minta didarahi dengan darah Kambing Hitam, karena sulit didapat diganti dengan darah Anjing Hitam, makanya dia kembali tenggelam kedalam tanah,” terang Herlita.
Hal ini dibenarkan oleh Rabu Jailani Kepala Dusun Botuang, “semenjak itu banyak masyarakat yang mengambil tanah disekitar bekas penggalian guci itu untuk didulang di Sungai Salo, dan menemukan emas, malahan ada yang telah berbentuk cincin, gelang, mata kail dan jarum penjahit, kejadiannya sekitar tahun tujuh puluhan,” kata Rabu Jailani. Karena suatu hal penggalian dibekas ditemukannya guci itu dihentikan atas kesepakatan tokoh-tokoh adat Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal.
Selain perhiasan yang terbuat dari emas yang paling sering ditemukan penduduk setempat adalah batu bata kuno, berukuran sekitar satu jengkal kali dua jengkal persegi—jengkal orang dewasa. “Kalau kita gali dengan kedalaman sekitar satu meter saja, kita bisa menemukan batu bata kuno ini masih tersusun rapi didalam tanah,” kata Rabu Jailani. Dari ditemukannya batu bata kuno tersebut banyak dilakukan penelitian-penelitian dan penggalian-penggalian. Pada tahun 1955 M pernah dilakukan penggalian dan menemukan Arca sebesar botol, dan Arca tersebut sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya.
”Dulu masyarakat setempat tidak mengenal nilai dari arca tersebut sebagai benda cagar budaya yang tak ternilai harganya sebagai situs suatu peradaban kuno, akhirnya masyarakat menjualnya,” ungkap Yasir Kepala Desa Sangau. ”Sangat disayangkan,” sesalnya. Pada penggalian terakhir yang diketahui pada tahun 2007 dilakukan oleh Badan Purbakala Batu Sangkar bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Propinsi Riau tanpa sepengatahuan Pemangku Adat dan Pemerintah Daerah.
Pada penggalian sebelumnya mereka menemukan mantra berbahasa sangskerta yang ditulis pada kepingan emas yang saat ini tidak diketahui keberadaannya. ”Kita kecolongan waktu itu,” terang Suhernita Kepala Seksi (Kasi) Pengkajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional, Dinas Budaya Kesenian dan Pariwisata (Disbudsianipar) Kabupaten Kuantan Singingi (Kab. Kuansing), Suhernita menambahkan, adanya kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan saat ini Disbudsianipar Kab. Kuansing fokus pada pembangunan fisik, “Untuk tahun ini kita fokus pada pembangunan fisik untuk objek parawisata Air Terjun Guruh Gemurai yang ada di Desa Kasang, Kecamatan Kuantan Mudik,” terangnya.
Hal ini dibenarkan oleh Drs. Syafrinal, M.Si kepala Disbudsianipar, yang baru menjabat sekitar enam bulan yang lalu, “Banyaknya kelemahan yang kita alami dalam perawatan objek pariwisata dan situs-situs bersejarah sangatlah merugikan kita.” Ungkap Syafrinal sewaktu kami jumpai di ruang kerjanya Komplek Perkantoran Pemerintah Daerah (Pemda) Kab. Kuansing, Kamis (23/10) lalu.
Untuk mengantisipasi kejadian serupa, Syafrinal telah berusaha semaksimal mungkin, “Kita telah membentuk tim pengumpul data objek pariwisata dan situs sejarah disetiap kecamatan,” selain itu Syafrinal mengharapkan sumbangsi kita bersama, dan pihak swasta yang mau menanamkan modalnya untuk pengembangan objek pariwisata dan situs bersejarah yang ada di Kab. Kuansing. “Saya bangga dengan yang dilakukan pemuda saat ini yang merawat seni, budaya dan parawisata Kuansing melalui media internet, salah satunya sungaikuantan.com yang saya lihat serius dalam hal ini,” ungkap Syafrinal.
Kerajaan Koto Alang
Kerajaan Koto Alang apakah di Dusun Botuang?
Banyaknya ditemukan Benda Cagar Budaya (BCB) di Dusun Botuang, diduga kuat di sini berdiri kerajaan Hindu dengan nama Kerajaan Koto Alang, walau belum ada penelitian secara ilmiah yang mengungkapkannya. Mahmud Sulaiman (68)—Bergelar Datuk Tomo, seorang tokoh adat Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, adalah keturunan Raja Kerajaan Koto Alang. Padang Candi yang terdapat di Dusun Botuang ada dibawah pengawasannya sebagai tokoh adat.
Kalau ada orang atau peneliti yang ingin tahu cerita detail tentang Padang Candi maka masyarakat Dusun Botuang merekomendasikan Datuk Tomo kepada peneliti tersebut, “Kami disini tidak tahu banyak tentang sejarah Padang Candi, yang mengetahuinya ya yang mengawasi Padang Candi, yaitu Datuk Tomo,” terang Rabu Jailani Kepala Dusun Botuang. Hal ini di benarkan pula oleh Yasir Kepala Desa Sangau, “Kalau sejarah Padang Candi kami serahkan kepada tokoh adat yang berwenang terhadap Padang Candi, dia Datuk Tomo,” kata Yasir, “Semua perangkat desa tidak ada yang mengetahuinya secara detail,” tambah pria tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) ini, sewaktu kami temui di ruang kerjanya Kamis (23/10) lalu.
Sehingga kami penasaran dan langsung menelusurinya, lalu tim kami berkunjung kekediaman Datuk Tomo yang berada di Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, dan ia menceritaka tentang Padang Candi kepada tim BM dari petikan Tambo Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal. Tambo tersebut telah hancur dimakan zaman, sekarang Datuk Tomo kembali berusaha membukukannya dari hasil ingatannya, dan dari hasil penelitian tim Penelusuran Kerajaan Kandis, di Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal.
Tim ini di koordinatori oleh Pebri Mahmud Al-Hamidi, beranggotakan Drs. H. Syafri Yoes, Triwan Hardi, SH., Agusrisal SR, Hardimansyah, Jhon Herizon Patra, Raja Bastian, SE., Drs. H. Mukhlis MR., MSi., Ikatan Keluarga Kuantan Mudik (IKKM) Pekanbaru, dan Himpunan Pelajar Mahasiswa Kuantan Mudik (HPMKM) Pekanbaru. Yang diarahkan oleh Penghulu Pucuk Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal (Mahmud Sulaiman Dt. Tomo dan Syamsinar Dt. Rajo Suaro) beserta seluruh Pemangku Adat dalam Wilayah Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal. “Setelah bahan-bahan telah terkumpul semua dan dapat dipertanggung jawabkan akan segera diterbitkan dalam bentuk buku,” ucap Datuk Tomo.
Berdasarkan Tambo tersebut kerajaan Koto Alang adalah pengembangan dari Kerajaan Kandis, “Pada masa jayanya Kerajaan Kandis banyak terjadi perebutan kekuasaan dari orang-orang yang merasa mampu, mereka ingin merebut kekuasaan dan akhirnya memisahkan diri dari Kerajaan Kandis,” kata Datuk Tomo. Maka berdirilah Kerajan Koto Alang pada tahun ke 2 M, Rajanya bergelar Aur Kuning, ia mempunyai Patih (Wakil Raja) dan Temenggung (Penasehat Raja).
“Berdirinya Kerajaan Koto Alang maka terjadilah perebutan kekuasaan antar kerajaan,” Maka pada tahun 6 M Kerajaan Kandis menyerang Kerajaan Koto Alang. Dimenangkan Kerajaan Kandis. Raja Aur Kuning melarikan diri ke Jambi, ”Itulah asal usul nama Sungai Salo yang berarti Raja bukak selo—buka sila, di Dusun Botuang.” Karena tidak mau tunduk dibawah pemerintahan Kerajaan Kandis, Patih dan Temenggung melarikan diri ke arah Barat menuju Gunung Merapi (Sumatra Barat) dan mereka berganti nama, Patih menjadi Datuk Perpatih nan Sebatang dan Temenggung menjadi Datuk Ketemenggungan, ”Kedua tokoh inilah yang menjadi tokoh adat legendaris Minangkabau.” ungkap Datuk Tomo.
Peninggalan Raja Aur Kuning saat ini masi bisa ditemukan yaitu berupa Mustika Gajah sebesar bola pingpong, yang ditemukan Raja Aur Kuning didalam kepala Gajah Tunggal sewaktu Raja Aur Kuning mengalahkan Gajah Tunggal—karena mempunyai satu gading, dibunuh dengan menggunakan Lembing Sogar Jantan. ”Tempat Raja Aur Kuning membunuh Gajah Tunggal itu kini bernama Lopak Gajah Mati yang terdapat disebelah selatan Pasar Lubuk Jambi, Mustika Gajah dan Gading Tunggal, masih saya simpan, kecuali Gading Tunggal yang telah dijual salah seorang keluarga saya, ketika saya tidak berda dikampung pada tahun 1976, sangat disayangkan,” kata Datuk berjanggut ini. Sungai yang mengalir disamping Lopak Gajah Mati tersebut dinamakan dengan Batang Simujur, yang berarti mujur/beruntung membunuh gajah tersebut.
Prof. Suwardi. MS, seorang sejarawan Riau, pernah malakukan penelusuran dengan Datuk Tomo tentang Kerajaan Kandis dan Kerajaan Koto Alang, dan terhenti karena sesuatu hal, ”Kerajaan Kandis memang ada diceritakan sekilas didalam Kitab Negara Kertagama, Kerajaan Kandis itu berada di Rantau Kuantan, penelusuran ini terhenti dengan kendala SDM dan dana,” terang Suwardi. Sampai tulisan ini terbit belum ada pembenahan terhadap situs bersejarah yang terdapat di Dusun Botuang, Desa Sangau, Kec. Kuantan Mudik, Kab. Kuansing, Propinsi Riau tersebut.
Sumber: http://sosbud.kompasiana.com