Oleh Agung Setyahadi
Sebanyak 40 pria berbadan kekar berjalan tegap memasuki arena di pelataran Masjid Besar Morella diiringi teriakan penonton. Mereka bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek dan ikat kepala merah serta menggenggam seikat lidi enau.
Mereka adalah petarung yang akan menghadirkan jejak perjuangan Kapitan Telukabessy melalui atraksi pukul sapu.
Tradisi pukul sapu digelar sekali setahun pada 7 Syawal. Tahun ini digelar pada 8 Oktober. Budaya yang telah bertahan ratusan tahun ini berakar pada perjuangan Kapitan Telukabessy yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan VOC tahun 1636-1646. Setelah dikalahkan, Kapitan Telukabessy dihukum mati. Pasukannya kemudian membubarkan diri dengan acara pukul sapu.
Tradisi itu bertahan hingga kini di Desa Morella dan Mamala, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Para pemuda dan lelaki dewasa ikut dalam pukul sapu di Morella dan Mamala. Ikut pukul sapu merupakan kebanggaan dan ujian kejantanan sebagai seorang laki-laki.
Acara itu ditonton oleh ribuan warga Maluku dan beberapa wisatawan mancanegara. Peserta dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari 20 orang. Setiap petarung berdiri berhadapan dengan petarung dari kelompok lain di tengah arena seukuran lapangan bola kaki. Tiap orang memegang batang lidi enau untuk disabetkan. Lidi diganti baru jika rusak atau patah.
Kelompok yang mendapat giliran memukul, mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak sabetan lidi. Peserta dari kelompok lawan berdiri sambil mengangkat lidi di atas kepala dan membiarkan bagian tubuhnya untuk disabet lidi. Saat wasit meniup peluit, para peserta menyabetkan lidi ke tubuh lawan diiringi teriakan penggugah semangat.
Sabetan lidi meninggalkan bilur-bilur pada kulit pinggang, dada, dan punggung. Darah keluar dari kulit yang sobek. Kerenyitan menahan sakit tampak di wajah para peserta. Giliran memukul berganti setelah lawan mundur terpojok ke dekat penonton yang mengelilingi arena.
”Dalam tradisi ini tidak ada dendam, karena pukul sapu merupakan simbol persaudaraan. Para pejuang dari berbagai daerah di Maluku, Gowa (Sulawesi Selatan) dan Mataram (Jawa) pernah bersatu melawan penjajah di sini,” tutur Abdul Kadir Latukau, Raja Negeri Morella.
Luka-luka di tubuh peserta pukul sapu merupakan simbol untuk mengenang persatuan para pejuang di bawah pimpinan Kapitan Telukabessy.
Perang Kapahaha
Dalam buku acara dipaparkan, perang berawal dari pengepungan Benteng Kapahaha milik warga Maluku dan pendirian markas VOC di Teluk Sawatelu pada tahun 1636. Pada puncak perang yang terjadi tujuh hari tujuh malam, para pejuang terdesak karena diserang dari darat dan tembakan meriam kapal-kapal VOC. Benteng Kapahaha akhirnya dikuasai Belanda, tetapi Kapitan Telukabessy lolos.
Pejuang yang tertangkap ditawan di Teluk Sawatelu dan sebagian dibawa ke Batavia. Telukabessy diberi pilihan, menyerahkan diri atau para tawanan dibunuh. Pada 19 Agustus 1946, Telukabessy menyerahkan diri ke Komandan Verheijden. Ia dihukum gantung oleh Gubernur Amboina Gerard Demmer di Benteng Victoria Ambon pada 13 September 1946.
Para tawanan yang ditawan selama tiga bulan dibebaskan pada 27 Oktober 1946. Para pejuang kemudian pulang ke daerah asal masing-masing. Pada upacara pelepasan, selain tarian adat dan lagu-lagu daerah, juga dilakukan acara pukul sapu oleh para pemuda Kapahaha.
Atraksi budaya ini menarik wisatawan mancanegara. Dua wisatawan dari Inggris dan Belanda ikut dalam acara pukul sapu di Mamala. Mereka merasakan sabetan lidi enau dan diobati dengan minyak mamala.
”Rasanya tidak terlalu sakit. Ini luar biasa bisa ikut acara ini. Semoga minyak mamala bisa menyembuhkan luka-luka ini,” ujar Tom William (65) dari Inggris.
Menurut seorang pemuda Mamala, Hanfry (26), rasa sakitnya seperti terkena setrum listrik. Setelah diolesi minyak mamala, rasanya hangat walau sakitnya tetap terasa. Setelah tiga hari, luka akan kering dan sembuh.
Minyak mamala dibuat dari minyak kelapa yang diberi doa-doa secara Islam oleh para tetua adat dan pemuka agama di rumah Raja Mamala. Di Morella, luka sabetan diobati dengan getah jarak.
Tradisi pukul sapu penuh dengan petuah untuk saling menjaga persatuan dan persaudaraan. Petuah yang tercantum dalam kapata (syair) kuno di Mamala dan Morella itu diharapkan bisa menyatukan setiap anak negeri di wilayah penuh bukit itu. Kerukunan diharapkan akan memajukan daerah penghasil ikan, pala, cengkeh, cokelat, damar, rotan, dan sagu itu.
Sumber: http://cetak.kompas.com
Sebanyak 40 pria berbadan kekar berjalan tegap memasuki arena di pelataran Masjid Besar Morella diiringi teriakan penonton. Mereka bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek dan ikat kepala merah serta menggenggam seikat lidi enau.
Mereka adalah petarung yang akan menghadirkan jejak perjuangan Kapitan Telukabessy melalui atraksi pukul sapu.
Tradisi pukul sapu digelar sekali setahun pada 7 Syawal. Tahun ini digelar pada 8 Oktober. Budaya yang telah bertahan ratusan tahun ini berakar pada perjuangan Kapitan Telukabessy yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan VOC tahun 1636-1646. Setelah dikalahkan, Kapitan Telukabessy dihukum mati. Pasukannya kemudian membubarkan diri dengan acara pukul sapu.
Tradisi itu bertahan hingga kini di Desa Morella dan Mamala, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Para pemuda dan lelaki dewasa ikut dalam pukul sapu di Morella dan Mamala. Ikut pukul sapu merupakan kebanggaan dan ujian kejantanan sebagai seorang laki-laki.
Acara itu ditonton oleh ribuan warga Maluku dan beberapa wisatawan mancanegara. Peserta dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari 20 orang. Setiap petarung berdiri berhadapan dengan petarung dari kelompok lain di tengah arena seukuran lapangan bola kaki. Tiap orang memegang batang lidi enau untuk disabetkan. Lidi diganti baru jika rusak atau patah.
Kelompok yang mendapat giliran memukul, mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak sabetan lidi. Peserta dari kelompok lawan berdiri sambil mengangkat lidi di atas kepala dan membiarkan bagian tubuhnya untuk disabet lidi. Saat wasit meniup peluit, para peserta menyabetkan lidi ke tubuh lawan diiringi teriakan penggugah semangat.
Sabetan lidi meninggalkan bilur-bilur pada kulit pinggang, dada, dan punggung. Darah keluar dari kulit yang sobek. Kerenyitan menahan sakit tampak di wajah para peserta. Giliran memukul berganti setelah lawan mundur terpojok ke dekat penonton yang mengelilingi arena.
”Dalam tradisi ini tidak ada dendam, karena pukul sapu merupakan simbol persaudaraan. Para pejuang dari berbagai daerah di Maluku, Gowa (Sulawesi Selatan) dan Mataram (Jawa) pernah bersatu melawan penjajah di sini,” tutur Abdul Kadir Latukau, Raja Negeri Morella.
Luka-luka di tubuh peserta pukul sapu merupakan simbol untuk mengenang persatuan para pejuang di bawah pimpinan Kapitan Telukabessy.
Perang Kapahaha
Dalam buku acara dipaparkan, perang berawal dari pengepungan Benteng Kapahaha milik warga Maluku dan pendirian markas VOC di Teluk Sawatelu pada tahun 1636. Pada puncak perang yang terjadi tujuh hari tujuh malam, para pejuang terdesak karena diserang dari darat dan tembakan meriam kapal-kapal VOC. Benteng Kapahaha akhirnya dikuasai Belanda, tetapi Kapitan Telukabessy lolos.
Pejuang yang tertangkap ditawan di Teluk Sawatelu dan sebagian dibawa ke Batavia. Telukabessy diberi pilihan, menyerahkan diri atau para tawanan dibunuh. Pada 19 Agustus 1946, Telukabessy menyerahkan diri ke Komandan Verheijden. Ia dihukum gantung oleh Gubernur Amboina Gerard Demmer di Benteng Victoria Ambon pada 13 September 1946.
Para tawanan yang ditawan selama tiga bulan dibebaskan pada 27 Oktober 1946. Para pejuang kemudian pulang ke daerah asal masing-masing. Pada upacara pelepasan, selain tarian adat dan lagu-lagu daerah, juga dilakukan acara pukul sapu oleh para pemuda Kapahaha.
Atraksi budaya ini menarik wisatawan mancanegara. Dua wisatawan dari Inggris dan Belanda ikut dalam acara pukul sapu di Mamala. Mereka merasakan sabetan lidi enau dan diobati dengan minyak mamala.
”Rasanya tidak terlalu sakit. Ini luar biasa bisa ikut acara ini. Semoga minyak mamala bisa menyembuhkan luka-luka ini,” ujar Tom William (65) dari Inggris.
Menurut seorang pemuda Mamala, Hanfry (26), rasa sakitnya seperti terkena setrum listrik. Setelah diolesi minyak mamala, rasanya hangat walau sakitnya tetap terasa. Setelah tiga hari, luka akan kering dan sembuh.
Minyak mamala dibuat dari minyak kelapa yang diberi doa-doa secara Islam oleh para tetua adat dan pemuka agama di rumah Raja Mamala. Di Morella, luka sabetan diobati dengan getah jarak.
Tradisi pukul sapu penuh dengan petuah untuk saling menjaga persatuan dan persaudaraan. Petuah yang tercantum dalam kapata (syair) kuno di Mamala dan Morella itu diharapkan bisa menyatukan setiap anak negeri di wilayah penuh bukit itu. Kerukunan diharapkan akan memajukan daerah penghasil ikan, pala, cengkeh, cokelat, damar, rotan, dan sagu itu.
Sumber: http://cetak.kompas.com