Yogyakarta- Seniman yang terbiasa bekerja soliter mencoba membangun keguyuban dalam perayaan pergantian tahun di Taman Budaya Yogyakarta. Momentum itu menjadi ajang bagi seniman untuk mencoba keluar dari tempurung egoisme.
Pasar seni lukis di Yogyakarta dalam dua tahun terakhir turut terkena imbas tingginya harga seni lukis. Perupa muda yang sebelumnya tidak diperhitungkan dalam pasar seni rupa mulai dicari orang dengan harga lukisan tembus sembilan digit. Sayangnya, hal tersebut hanya dinikmati oleh segelintir seniman.
Sesuai dengan gaya keseharian hidup dari para seniman, rangkaian acara perayaan Tahun Baru yang tercipta mengalir dengan santai. Para seniman berbincang, bercanda, sekaligus menyuguhkan proses berkarya kepada khalayak umum. Mereka menuangkan kebersamaan, antara lain dengan melukis dalam satu kanvas.
Dalam acara itu, jarak antarseniman yang sempat tercipta akibat melangitnya harga karya seni rupa yang hanya dinikmati oleh segelintir pelukis seakan luluh dalam kebersamaan. Sejak Rabu (31/12) sore hingga Kamis (1/1) dini hari, belasan pelukis duduk beralas lantai sembari melukis. Bayu Wardhana (43) mengaku tidak begitu menikmati booming seni rupa. Meski selama tahun 2008 dia hanya mendapat penghasilan dari menjual lukisan sebesar Rp 300 juta, Bayu merasakan ada kebersamaan yang terbangun dengan menikmati perayaan Tahun Baru dalam kesatuan seni.
Para seniman rela bantingan uang demi pendanaan acara. Bayu, misalnya, meminjamkan sound system panggung miliknya, Universitas Sanata Dharma menyumbang empat kanvas, sedangkan pelukis Nasirun menyumbang 20 kanvas dan uang Rp 1 juta.
Hasil penjualan lukisan yang rencananya akan dipamerkan pada awal tahun ini akan disumbangkan untuk perupa tua.
Ketua panitia Yuswantoro Adi mengatakan, perayaan Tahun Baru seniman yang bertajuk ”Seniku Tak Berhenti Lama” ini baru pertama kali digelar. Rangkaian acara juga diwarnai dengan orasi budaya oleh sutradara Garin Nugroho dan pesta kembang api. Menurut Yuswantoro, acara tersebut digelar untuk memberi ruang bagi para seniman dan masyarakat untuk bertemu dan berbagi solidaritas.
Seniman Arahmaiani menilai, dunia modern cenderung melupakan ranah kebersamaan dan hanya mengenal dua ranah, yaitu ranah individual serta ranah publik. Masyarakat Indonesia yang masih komunal, menurut dia, dikarbit untuk meninggalkan ranah kebersamaan.
Booming seni lukis dalam dua tahun terakhir, lanjut Arahmaiani, merupakan fenomena yang mengandung risiko besar. Tiap seniman dipacu untuk menjadi bintang di pasar dengan mengorbankan kebersamaan. Dari 30 bintang pasar seni rupa di Asia Tenggara, 17 orang di antaranya berasal dari Indonesia. Padahal, jumlah seniman lukis di Indonesia ribuan orang.
Dentuman besar di pasar seni rupa juga membuat seniman hanya menilai keberhasilan karya dari nilai ekonomi. ”Berkesenian pada dasarnya bukan untuk mencari uang. Kalau dibatasi hanya nilai nominal, maka telah terjadi kemunduran,” kata Arahmaiani.
Belum adanya dukungan dari pemerintah terkait pemasaran, maka seniman membutuhkan pasar yang sportif yang membawa ukuran atau nilai-nilai pasti tentang karya yang disebut bermutu. Sejauh ini, masyarakat cenderung menilai bagus atau tidaknya karya dari harga yang mahal. Karya seniman dihargai sangat tinggi tanpa tahu penyebabnya.
Mengawali tahun dalam solidaritas kebersamaan, para seniman sekaligus diingatkan pada sejarah seni kerakyatan di Yogyakarta yang dulu sangat kuat.
DI Yogyakarta selama ini dikenal karena memiliki seni yang berkesadaran sosial. Tanpa keguyuban, daya tawar seniman akan semakin lemah. Booming seni lukis dikhawatirkan hanya sesaat tanpa memberi makna pada konstelasi seni rupa Tanah Air. (WKM)
Sumber : http://cetak.kompas.com/ (2 Januari 2008)