Borobudur - Para seniman sekitar Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, melakukan pementasan bertajuk "Ritual Syawalan", Selasa (7/10), dalam rangka merayakan Hari Lebaran 2008.
Pentas ritual kontemporer itu ditandai dengan pengusungan lukisan kanvas relatif besar tentang suasana Candi Borobudur di tengah Jalan Balaputra Dewa, di depan Pendopo Pondok Tingal, sekitar 500 meter timur Candi Borobudur.
Puluhan seniman baik rupa, tari, musik, sastra, dan teater yang tergabung dalam Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) pimpinan Umar Khusaeni itu juga mengusung properti ogoh-ogoh dari ijuk, sejumlah patung manusia dari fiber, menaburkan bunga mawar, membakar dupa, dan membacakan puisi saat pentas ritual tersebut.
Atraksi mereka menjadi tontotan wisatawan dari dalam mobil dan bus wisata masing-masing yang hendak menuju Candi Borobudur yang juga peninggalan peradaban dunia itu.
Mereka kemudian membakar ogoh-ogoh sambil berjalan menuju pendopo untuk menggelar berbagai pentas seni lainnya secara spontan. Grup Musik Jimbe Borobudur pimpinan Lukman mementaskan musik kontemporer dari sejumlah alat musik, tifa, berkolaborasi dengan monolog, seniman teater, Gepeng Nugroho.
Dua seniman asal Jepang yang tinggal di Borobudur dan Yogyakarta, masing-masing Yasumi dan Sayuri menyuguhkan lagu dan gerak tarian modern gaya Jepang, sedangkan "Suara Lare Borobudur Chamber Orchestra" yang terdiri Bangkit (12), Vania (14), dan Ilga (8) menyuguhkan instrumentalia dari alat musik biola dan piano dengan lagu-lagu islami dan klasik barat.
"Seniman yang selalu berkarya secara independen tentu tetap memiliki keinginan kuat untuk berkumpul, saling menggali inspirasi, mengeratkan tali persaudaraan," katanya.
Syawalan seniman Borobudur itu, katanya, juga penting untuk mendorong setiap seniman mawas diri dan melahirkan inspirasi untuk karya-karya seni pada masa mendatang yang mendukung kekuatan pariwisata Borobudur serta pelestarian nilai-nilai peradaban yang tersimpan dalam karya nenek moyang bangsa yakni Candi Borobudur.
Pelukis Dedi Paw, mengatakan, syawalan seniman Borobudur menjadi simbol perdamaian.
"Situasi dan kondisi negara dan dunia makin jauh dari perdamaian, kita berkumpul di ajang ini simbol upaya menyatukan benang cinta, menghalau permusuhan antarwarga, antarkelompok, antarelite politik, menumbuhkan kasih sayang, semoga ini diikuti komunitas lainnya," katanya.
Budayawan Borobudur, Sumarno (71), mengatakan, berbagai nilai luhur bangsa yang tertuang dalam karya agung Candi Borobudur sebagai penyaring kuat derasnya nilai-nilai global yang tidak sesuai dengan budaya Bangsa Indonesia.
Ia juga menyatakan pentingnya manusia memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk memerbaiki kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermanfaat.
"Sebagian orang melihat kalau ada orang sibuk seakan sibuk mencari uang, padahal belum tentu itu, orang yang sibuk berarti memanfaatkan waktu dengan baik untuk merayakan kebahagiaan kelak," katanya.
Berbagai pemikiran dan jalan hidup instan, katanya, harus diubah menjadi berpikir dan menjalani kehidupan secara tekun, sabar, serta tawakal.
"Jangan instan, karena tidak akan mendatangkan kebahagiaan yang lama, kebahagiaan instan itu tidak lama, waktu sangat berharga, tidak untuk bermain, tetapi mencari arti hidup," katanya. (ANT/EH)
Sumber: www.kompas.com (7 Oktober 2008)