Oleh: Ferry Santoso
PADA malam hari, sinar lampu gedung-gedung tinggi menghiasi langit Singapura. Itu terlihat dari Pulau Belakang Padang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Singapura menjadi terang benderang antara lain karena adanya pasokan gas dari Natuna.
Selain itu, sinar lampu kapal-kapal ukuran raksasa dari sejumlah negara yang berlalu lalang di Selat Philips juga memantulkan cahaya di permukaan air laut yang gelap. Kondisi itu menggambarkan kemajuan Negeri Singa dengan berbagai keunggulan, seperti sumber daya manusia, ekonomi, dan teknologi.
Di belahan lain di wilayah perairan Kepulauan Riau (Kepri), Indonesia, terlihat pulau-pulau terbentang luas. Sebutlah seperti pulau-pulau di sekitar Batam, Bintan, dan Karimun.
Rumah dengan fondasi kayu dan penerangan dari genset dengan kapasitas terbatas, atau bahkan lampu teplok, masih menghiasi pinggiran pulau-pulau yang berpenghuni. Masyarakat pesisir yang sebagian besar nelayan tradisional hidup sederhana dengan segala keterbatasan.
Berbagai masalah dihadapi. Dari sarana dan fasilitas bagi nelayan tradisional yang minim, area tangkapan ikan dan budidaya ikan yang semakin sempit akibat pencemaran laut, infrastruktur dasar, pendidikan, hingga akses pekerjaan bagi anak- anak pulau di masa mendatang.
Masyarakat pesisir di wilayah Kepri—berbatasan dengan Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand—tersebar di ratusan pulau yang berpenghuni. Dari catatan yang ada, Provinsi Kepri— dengan luas laut 242.497 kilometer persegi (95 persen) dan luas darat 10.104 kilometer persegi (5 persen)—memiliki 2.408 pulau. Dari jumlah itu, hanya 366 pulau yang berpenghuni. Sebanyak 19 pulau merupakan pulau terluar.
Menunggu bantuan
Mencari hasil laut, seperti ikan dan kepiting, menjadi andalan mata pencarian masyarakat yang hidup di sejumlah pulau tersebut. Mobilitas masyarakat di pulau- pulau ini sangat mengandalkan transportasi perahu kecil (pancung) atau kapal kayu.
Alim (38) bersama rekannya yang tinggal di Pulau Siali, Batam, siang itu mengaku baru saja menangkap ikan dan kepiting di Pulau Labun dengan menggunakan perahu pancung. "Ikan baru diambil. Sudah dua hari saya pasang bubu (alat tangkap)," kata Alim.
Hasil tangkapan mereka kemudian dijual kepada pengusaha ikan, Kamin (53). Dari hasil penjualan ikan itu, Alim mendapat selembar uang 50 dollar Singapura, dua lembar 10 dollar Singapura, dan selembar uang Rp 50.000.
Namun, Alim sendiri hanya mendapat bagian dari hasil penjualan ikan sebesar 38 dollar Singapura atau Rp 266.000. Sisanya untuk bagian rekannya yang lain.
Uang sebesar itu tak bisa membuat Alim merasa senang. Pendapatannya hari itu belum cukup untuk menutup modal pembelian solar. "Sekali berangkat memasang bubu, saya perlu modal Rp 500.000. Solar saja sudah Rp 360.000," kata Alim. Namun, ia masih berharap dapat menjual ikan atau kepiting lagi karena masih ada bubu yang dipasang, tetapi belum diambil.
Ada ribuan penduduk pesisir di Kepri yang berprofesi sebagai nelayan tradisional seperti Alim. Namun, sejauh mana perhatian riil pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, terhadap masyarakat pesisir seperti Alim masih jadi tanda tanya besar.
Meskipun kecewa dan terasing dari bantuan dan perhatian pemerintah, Alim tak patah arang. Ia tetap bersemangat mencari ikan dan kepiting. Bahkan, kecintaan Alim terhadap bangsa dan negara tidak luntur. Semangat keindonesiaannya belum luntur. "Saya masih cinta Indonesia-lah. Tapi, pemerintah, tolong bantulah nelayan," katanya.
Akan tetapi, bantuan pemerintah terhadap masyarakat pesisir masih jauh dari harapan. Bantuan yang diperoleh nelayan justru berasal dari sesama nelayan atau pengusaha ikan. Seperti peralatan penangkap ikan yang kini ia miliki didapat dari utang kepada Kamin.
"Kalau tak dibantu Pak Kamin, mana sanggup saya beli bubu Rp 850.000," ungkap Alim.
Ironis, memang! Selama ini pemerintah selalu menggembar- gemborkan pentingnya pemberdayaan masyarakat pesisir. Namun, kebijakan dan implementasi sering kali tidak sesuai dengan kenyataan.
Bahkan, orang seperti Kamin yang sukses menjadi pengusaha ikan di sana justru dapat bantuan modal dari orang asing. "Tahun 1995 saya diberi modal oleh Amen, orang Singapura. Semua dikasih. Dari mesin kapal, jaring, hingga uang," katanya.
Dengan bantuan itu, Kamin dapat mencari ikan, menampung ikan-ikan dari nelayan lokal, dan menjual kepada Ameng di Singapura. Saat ini Kamin menjual ikan kepada pengusaha lain karena Ameng sudah meninggal dunia.
Terpinggirkan
Mencari ikan bagi nelayan lokal di perairan pulau-pulau di Kepri kini kian sulit. Wilayah penangkapan ikan semakin terbatas. Air laut semakin tercemar oleh kapal tanker, kapal minyak, dan pengembangan industri galangan kapal.
Juga akibat pembangunan dermaga-dermaga tambang bauksit di pinggir pantai hutan bakau di wilayah ini. Taruhlah seperti yang banyak terlihat di wilayah Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan.
Area tambang bauksit tumbuh secara sporadis. Tongkang-tongkang pengangkut bauksit berlalu lalang di selat-selat kecil yang menjadi tempat penangkapan ikan.
Akibatnya, usaha tambak ikan kerapu banyak yang gulung tikar. "Sudah banyak tambak yang kosong. Ikan banyak mati," kata Benny yang memiliki 74 petak tambak ikan kerapu di perairan Los, Senggarang, masih di wilayah Kota Tanjung Pinang.
Jika pemerintah daerah maupun pemerintah pusat fokus dalam kebijakan pemberdayaan masyarakat pesisir, usaha budidaya tambak ikan kerapu yang berorientasi ekspor itu justru seharusnya digalakkan. Dengan demikian, masyarakat pesisir memperoleh penghasilan lebih baik dan negara memperoleh devisa.
Akan tetapi, dengan maraknya eksploitasi tambang bauksit, masyarakat pesisir semakin terpinggirkan. Masyarakat pesisir atau petambak harus mencari area perairan yang lebih aman atau lebih jauh dari lokasi dermaga atau tambang bauksit.
Pencemaran air laut dari kegiatan tambang bauksit kini menjadi "momok". "Katanya ini daerah maritim, namun sektor perikanan tidak diperhatikan. Air laut pun tercemar," kata Hendra, seorang pembudidaya ikan kerapu.
Tanpa ada kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir di wilayah perbatasan, masyarakat pesisir akan semakin terasing di daerahnya sendiri. Masyarakat pesisir sudah sulit mengandalkan laut sebagai ladang mata pencarian.
Dampaknya, masyarakat pesisir akan beralih mencari penghidupan di sektor industri, perdagangan, dan jasa. Namun, persaingan bekerja di ketiga sektor itu pun semakin ketat. Apalagi, suka atau tidak suka, kualitas pendidikan di pulau-pulau masih kurang.
Musa Jantan, Penasihat Ketua Lembaga Adat Melayu Batam, mengakui bahwa pendidikan anak-anak di pulau-pulau masih rendah. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak di pulau-pulau di kawasan ini.
"Kalau dulu, mereka masih bisa menangkap ikan di laut. Tapi sekarang, menangkap ikan sulit karena area tangkapan terbatas," katanya.
Peningkatan kualitas pendidikan anak-anak pulau memang diperlukan agar anak-anak pulau pun dapat bersaing. Jika tidak, masyarakat pesisir akan semakin teralienasi. Mencari ikan di laut semakin sulit. Mencari pekerjaan di sektor industri, perdagangan, dan jasa pun sulit.
Dampaknya, masyarakat pesisir akan tetap miskin. Sebagai gambaran, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri, jumlah penduduk miskin di Kepri pada Maret 2009 tercatat 128.210 orang (8,27 persen).
Jumlah penduduk miskin di Kepri pada Maret 2008 sebanyak 136.360 orang (9,18 persen). Itu berarti, jumlah penduduk miskin turun sebesar 8.150 orang atau 0,91 persen.
Penurunan jumlah kemiskinan itu memang tidak terlalu signifikan. Itu pun masih banyak pihak yang meragukan data tersebut.
Lepas dari itu semua, sesungguhnya kemiskinan akan jauh menurun jika masyarakat pesisir mampu meningkatkan pendapatan dari sektor kelautan dan perikanan. Bukankah itulah yang menjadi potensi dan sumber daya alam yang seharusnya lebih digarap di daerah yang sebagian besar wilayahnya adalah laut?
Kompas: Jumat, 14 Agustus 2009
Sumber: http://www.pda-id.org